MASYARAKAT yang sering menonton film atau sinetron Indonesia tentu tidak asing dengan kehadiran pemain yang menggambarkan sosok orang Jawa – Banyumas. Sosok tersebut biasanya digambarkan sebagai orang yang menggunakan bahasa Jawa dengan logat Banyumasan. Bahasa tersebut sering disebut bahasa Ngapak yang membedakan dengan bahasa Jawa logat daerah Yogya, Solo, maupun Surabaya.
Bahasa Banyumasan juga sering dijadikan bahan pancingan tawa para komedian di televisi. Masyarakat Banyumas mungkin merasa bangga, lantaran dialek atau logat Banyumasan menjadi populer di media massa. Namun jika dicermati, tampilan logat Banyumasan itu selalu merepresentasikan sosok kaum marginal di tengah gemerlap kota Jakarta.
Logat Banyumasan selalu dikaitkan dengan sosok pembantu rumah tangga, pedagang kaki lima, sopir, kuli bangunan, dan stereotip kelompok marginal lain. Seolah logat, dialek, bahasa, atau pun budaya Banyumasan di mata industri media dan pusat kekuasaan Jakarta, adalah konstruksi budaya orang pinggiran dan budaya yang terpinggirkan.
Ketika para selebriti menikmati popularitasnya lewat peran yang mengharuskan dia membawakan logat Banyumasan, justru di daerah asalnya sendiri, Banyumas, budaya tutur Ngapak itu mulai memasuki tahap kritis. Entah karena stigma dan konstruksi media yang menganggap budaya Banyumas milik kaum pinggiran, atau pemilik sah budaya itu sendiri yang mulai enggan menggunakannya.
Logat dan budaya Banyumasan kian kurang digandrungi, kecuali dalam rembug masyarakat desa atau ritual adat. Selebihnya, etnis atau wong Banyumas merasa bangga dan lebih percaya diri jika bertutur dengan bahasa Indonesia dalam interaksi sosialnya. Pedagang dan pembeli di pasar tradisional tak urung mulai ada yang melakukan transaksi dengan menggunakan bahasa Indonesia.
Persoalannya memang bukan sekadar logat atau bahasa. Keterpinggiran budaya Banyumas merupakan masalah “ideologis” yang harus dituntaskan. Stigma budaya Banyumas dan kaum marginal di Ibukota serta konstruksi media tentang etnis Banyumas perlu dijawab oleh pemangku budaya, yaitu masyarakat Banyumas itu sendiri. Jika tidak, maka wong Banyumas akan selalu merasa dan dicitrakan perannya sebagai wong cilik di tengah polah pongah wong gedean, menjadi ikan teri tercengkeram gurita di samudera raya.
Sosial Geografis
Kabupaten Banyumas terletak di sebelah Utara kaki Gunung Slamet, Jawa Tengah. Udaranya terasa sejuk. Potensi wisata dan seni budaya lokal cukup banyak. Salah satu kuliner khas Banyumas adalah Tempe Mendoan, yaitu tempe yang digoreng setengah matang menggunakan tepung.
Bahasa Banyumasan yang lebih dikenal dengan bahasa Ngapak, digunakan oleh masyarakat di kabupaten sekitarnya yang dikenal sebagai Eks Karesidenan Banyumas, yaitu Cilacap, Purbalingga, Banjarnegara, dan Kebumen. Pengucapan bahasa Banyumasan biasanya dengan intonasi dalam dan keras. Hal itu disebabkan bahasa Banyumasan yang bersifat egaliter. Apalagi masyarakat Banyumas secara struktural juga tidak mengenal kasta sosial.
Konstruksi media tentang etnis Banyumas sesungguhnya tidak seluruhnya benar. Bahwa ada etnis Banyumas yang merantau ke Jakarta dan menjadi pembantu rumah tangga adalah benar. Orang Banyumas di Jakarta juga banyak yang menjalani profesi sopir angkutan umum, pedagang kaki lima, tukang kebun, dan pekerja bangunan. Meski demikian, generalisasi peran sebagai kelompok marginal di Ibukota tentulah sebuah konstruksi media yang berlebihan.
Banyumas juga memiliki andil besar dalam kancah sosial, ekonomi, politik, dan budaya nasional. Banyak “orang besar” dan tokoh nasional yang berasal dari Eks Karesidenan Banyumas. Sebut saja, Bapak Tentara Nasional Indonesia, Panglima Besar Jenderal Soedirman adalah kelahiran Purbalingga, yang berada di wilayah eks Karesidenan Banyumas.
Pahlawan Nasional, Jenderal Gatot Subroto juga berasal dari Banyumas. Begitu pula Jenderal Soesilo Soedarman, mantan Menkopolhukam dan Menparpostel di era Orde Baru berasal dari Cilacap. Banyak lagi petinggi TNI dan Polri yang berasal dari daerah yang berbahasa Banyumasan.
Banyumas mempunyai tokoh yang berkecimpung di bidang sosial budaya. Penyair dan novelis Ahmad Tohari berasal dari Banyumas. Artis Panky Suwito dan Mayangsari juga berasal dari Banyumas. Selain itu banyak pula pengusaha sukses di kancah nasional yang berasal dari Banyumas.
Konstruksi media atas etnis Banyumas oleh karenanya perlu dipertanyakan. Mengapa media selalu menempatkan etnis Banyumas dalam peran kaum marginal. Dan kenapa pula orang Banyumas menikmati saja konstruksi media itu.
Revolusi Budaya
Bahasa Banyumasan sesungguhnya representasi dari budaya Banyumas yang egaliter dan apa adanya. Namun sebagaimana budaya daerah lain, budaya Banyumas juga sedang berhadapan dengan dan tertindas oleh gurita-gurita budaya, baik yang datang dari Amerika, Eropa, Timur Tengah, maupun gurita budaya Asia, seperti Jepang, China, dan Korea.
Penindasan oleh gurita budaya itu berjalan begitu halus dan santun, sehingga masyarakat Banyumas merasa tetap bebas merdeka dan pasrah pada beragam budaya kapitalis itu. Memang, penindasan acapkali menghasilkan kepatuhan yang tidak disadari. Sama seperti tatkala bangsa Indonesia di era penjajahan harus menyanyikan lagu Wilhelmus van Nassouwe dan Kimigayo.
Suatu ketika masyarakat Banyumas pun akan merasa malu dan takut disebut ketinggalan jaman dan kampungan bila harus minum badheg (air nira kelapa yang difermentasi), dan makan gethuk, karena soft drink, es krim, burger, dan pizza nyaris tersedia di setiap super market dan mall.
Karenanya, langkah progresif yang perlu dilakukan oleh masyarakat Banyumas adalah dengan revolusi budaya. Revolusi bukan berarti menumbangkan rejim gurita budaya atau mengharamkan budaya entah- berantah itu. Revolusi budaya adalah upaya untuk memperkuat dan mempertegas jati diri budaya Banyumas agar mampu bersaing dalam hiruk pikuk globalisasi.
Revolusi budaya dapat dilakukan dengan pemanfaatan media komunikasi tradisional dan media massa untuk menggelorakan semangat cinta budaya Banyumas. Oleh sebab itu perlu ada koeksistensi antara media komunikasi tradisional dan media massa.
Persoalannya memang tidak mudah. Media massa adalah industri yang berwatak kapitalis. Sepanjang tidak mendatangkan profit bagi pemilik modal dan organisasi media, maka budaya Banyumas hanya menjadi juru kunci yang akan muncul jika dibutuhkan saja.
Revolusi budaya dengan memanfaatkan media massa dapat dilakukan melalui radio, televisi, film, maupun media sosial. Banyak contoh budaya daerah yang nyaris mati suri dan kembali bangkit lantaran koeksistensi antarmedia. Kelompok kesenian Srimulat, ketoprak, dan wayang kulit pernah kembali bergairah ketika diberi ruang dalam pertunjukan televisi.
Kesenian Drama Gong, Bondres, dan Arja di Bali juga mengalami kejayaan kembali saat stasiun TV lokal memberi kesempatan tampil. Namun sekali lagi, media massa adalah industri yang padat modal. Sehingga, diperlukan kesadaran ideologis dari pemilik media untuk melestarikan dan mengembangkan budaya daerah.
Revolusi, pengembangan, maupun kebijakan politik terkait budaya Banyumas semata-mata bertujuan untuk menyelamatkan generasi yang beradab dan berkepribadian di kemudian hari. Bukan untuk meniadakan budaya lain. Bukan pula untuk membangkitkan etnosentrisme, pengentalan etnis, atau menjadikan masyarakat Banyumas menjadi rasis.[T]
- BACA artikel lain dari penulisCHUSMERU