KARYA Agung Danu Kerthi bukanlah rutinitas agama yang hanya menyoal ritual dan spiritual. Senyatanya, upacara ini menjadi media pergulatan dan pewarisan kebudaayaan dalam arti yang luas. Danu kerthi memberi gambaranbagaimana pranata masyarakat Bali—khususnya masyarakat agraris terbentuk; bagaimana manusia dan sumber daya alam Bali dikelola; serta bagaimana pulau ini dipandang sebagai satu-kesatuan ekosistem utuh.
Perekat Krama Adat
Hampir setiap hari ribuan orang lalu-lalang di Pura Ulun Danu Batur dan Pura Segara Ulun Danu Batur-Pura Jati selama danu kerthi dilaksanakan. Tensi kesibukan itu kian tampak ketika krama (warga masyarakat) Desa Adat Batur ngaturang ayah dan canang sari ke pura.
Ngaturang canang sari adalah aktivitas masyarakat mempersembahkan beras dan dana punia ke pura ketika ritual-ritual besar diselenggarakan. Selain beras dan uang, kadang kala masyarakat juga mempersembahkan dupa, kain, air mineral, atau hasil panen berupa sayuran, rempah-rempah, atau buah-buahan. Tidak ada patokan jenis dan jumlah barang yang dipersembahkan krama adat ketika ngaturang canang sari. Semua dikembalikan pada kesadaran dan kemauan setiap krama adat. Aktivitas ini murni bentuk kegotongroyongan. Krama adat yang tengah panen cabai atau bawang bisa mempersembah cabainya dan bawangnya, sementara mereka yang bekerja di sektor perkantoran bisa mempersembahkan air mineral atau kain sebagai bentuk partisipan.
Pelaksanaan ngaturang canang sari dijadwal menurut banjar adat. Ada 24 banjar adat dan dua pasukadukaan (Suka Duka Batur-Denpasar dan Suka Duka Batur-Singaraja) di Desa Adat Batur. Pada Karya Agung Danu Kerthi 2023, canang sari krama adat Batur terkumpul sebanyak 5.558 kilogram beras dan dana punia sejumlah Rp 49.388.000. Selain itu turut diterima ratusan bungkus dupa, sejumlah sayuran, bumbu-bumbu dapur, buah-buahan, beberapa gulung kain, dan ratusan dus air mineral.
Bentang wilayah adat Batur memang relatif luas. Desa Batur membentang dari Banjar Toya Bungkah di tepi Danau Batur hingga Banjar Toya Mampeh di sebelah barat Gunung Batur serta dari Banjar Tandang di barat laut Kaldera I Batur hingga ke Banjar Petung di tenggara Penelokan. Krama Desa Adat Batur—per Sasih Karo 2023 berjumlah sekitar 12 ribu jiwa—juga banyak yang berkarier dan tinggal di luar desa, bahkan bermukim di luar negeri. Denpasar dan Singaraja adalah dua kota terbanyak yang menjadi tempat krama adat berkarier.
Bentang kawasan desa yang luas itu menjadi salah satu penyebab terbatasnya interaksi secara menyeluruh antar-krama adat Batur, utamanya bagi warga banjar yang tidak berada di pusat desa. Tradisi ngaturang canang sari punhadir dan mengambil peran penting dalam membangun interaksi antarwarga masyarakat. Pada momentum ini krama adat dari berbagai penjuru bertemu di pura dan saling bercengkrama.
Ngayah memang bukan hal tabu bagi krama adat Batur. Sebelas dari 12 bulan dalam satu siklus tahun Saka adalah pelaksanaan ritual yang semarak dilakoni masyarakat Batur. Krama adat selalu terlibat pada setiap ritual itu. Namun, ngayah menyambut siklus ritual secara tradisi hanya melibatkan anggota tempekan.
Tempekan merupakan organisasi adat tradisional yang sah di Desa Adat Batur. Desa Adat Batur dapat dikatakan digerakkan oleh tempekan, bukan banjar sebagaimana desa adat di Bali pada umumnya. Masyarakat Batur yang telah menikah wajib masuk tempekan melalui ritual matakaturun di hadapan Ida Ratu Gde Makulem. Setelah masuk tempekan, barulah suatu keluarga dianggap sah sebagai krama adat bersama dengan hak dan kewajiban yang melekat di pundaknya. Krama adat baru akan purnabakti dari tempekan jika telah makumpi (memiliki cicit), bercerai, suami atau istrinya meninggal (kacipakan), atau kondisi-kondisi lain yang dibijaksanai oleh pemimpin (kelihan) tempekan dan diizinkan oleh pemimpin adat.
Ada enam tempekan utama di Batur yang dibagi menurut spesifikasi profesionalitas. Keenamnya yakni Tempek Jero Undagi, Tempek Jero Gambel, Tempek Jero Baris, Tempek Jero Batu Dangin Rurung, Tempek Jero Batu Dauh Rurung, serta Tempek Pecalang. Selain itu juga ada Tempek Pengampel bagi masyarakat yang tinggal di luar desa, Tempek Jada untuk kalangan wreda (manula), Tempek Roban untuk pemuda adat, dan Tempek Daha Bunga untuk pemudi adat.
Tiap tempekan memiliki pekerjaan, hak, dan tanggung jawab yang berbeda. Tugas utama Tempek Undagi melakukan pekerjaan yang berkelindan dengan bangunan dan pertukangan. Tempek Jero Gambel bertugas menabuh gong sakral. Tempek Jero Baris bertugas menarikan tari baris sakral. Tempek Jero Batu bertindak sebagai pembantu umum, khususnya menyiapkan hidangan pada setiap upacara. Tempek Pecalang bertindak sebagai satuan pengamanan. Tiap tempek tidak boleh mengambil tugas tempek yang lain, pun misalnya paham dan mampu. Anggota Tempek Jero Gambel tidak dibenarkan menari baris yang merupakan tugas Tempek Jero Baris. Anggota Tempek Jero Batu yang tidak dibenarkan menabuh gong sakral.
Pranata adat berbasis tempekan menyebabkan tidak semua krama adat dapat saling bertemu dalam setiap pelaksanaan ngayah. Lebih-lebih bagi perempuan, karena keanggotaan tempekan berpusat pada laki-laki sebagai kepala keluarga. Pola ngayah berbasis tempekan berbeda dengan ngayah berbasis banjar adat yang menggerakkan suami-istri secara bersamaan. Hal inilah yang menyebabkan ngayah berbasis banjar adat akan selalu lebih ramai dan membuka ruang interaksi lebih luas dibanding ngayah berbasis tempeken.
Ketika beberapa manusia berkumpul, informasi akan menjalar dari satu kepala ke kepala yang lain. Saudara atau teman yang tinggal berjauhan bisa bertemu dan ngobrol hebat saat ngayah di pura. Percakapan ringan semacam dinamika harga panen kopi atau jeruk di pasar hingga sengkarut sosial-politik bisa dibicarakan di halaman pura, di balai-balai, atau di perantenan. Koneksi antar-krama adat tumbuh dan terpelihara bersamaan dengan piranti upacara yang rampung.
Aliansi Batun Sendi
Puncak Karya Agung Danu Kerthi 2023, 14 Oktober 2023 menjadi aktivitas yang begitu sibuk. Pakelem dilaksanakan di tiga titik, yakni Pucak Kanginan Gunung Batur, Pucak Kawanan Gunung Batur, dan Danau Batur(Pura Segara Ulun Danu Batur-Pura Jati). Desa Adat Batur menyadari pekerjaan itu tidak akan mampu diselesaikan sendiri. Saat itulah Batun Sendi Batur hadir dan mengambil peran krusial dalam menyukseskan yadnya.
Batun Sendi Batur—kadangkala disebut Batun Sendi Ida Bhatari Sakti—adalah desa-desa aliansi “ring satu” Batur. Konsep batun sendri mirip dengan konsep banua yang eksis di lingkar federasi penyokong Pura Tegeh/Puncak Penulisan. Desa-desa yang masuk sebagai Batun Sendi Batur terhubung oleh bentang sejarah dan ritual yang kompleks dengan Desa Batur. Kekerabatannya begitu dekat, bagaikan saudara sendiri. Desa-desa Batun Sendi Batur itu adalah Desa Bayung Gede, Buahan, Selulung, Sekardadi, Bonyoh, dan Sribatu.
Batun sendi secara harfiah dapat diartikan sebagai “batu tumpuan tiang”. Frasa tersebut memendam makna mendalam yang diwariskan leluhur kami untuk menjaga kekerabatan. Seandainya Batur sebuah balai, maka enam desa batun sendi itulah yang menyokong tiang-tiangnya agar tetap tegak berdiri dan terhindar dari pelapukan.
Batur dan keenam desa batun sendi diikat oleh sejumlah ritus dan situs. Kekerabatan Batur dengan Buahan tertanam dalam dan kokoh pada dasar Palinggih Ida Ratu Gde Gunung Agung di Pura Jati. Kala Ngusaba Kadasa, Buahan akan mempersembahkan bukakak ke hadapan Ida Bhatari Sakti. Kekerabatan Batur dengan Selulung dan Bonyoh menyiku pada tugeh Gedong Pusehdi Pura Puseh Batur. Selulung atau Petak Cemeng adalah salah satu desa yang bertugas mempersembahkan kijang untuk ritual di Batur. Sementara itu, kekerabatan Batur dengan Sribatu dihubungkan oleh puluhan penek dan dangsil yang saban Ngusaba Kadasa mereka persembahkan dan ditempatkan di Jero Agung. Konon, salah satu Bhatara Hyang—sebutan terhormat untuk Jero Gede yang telah meninggal dan disucikan—sempat pula tinggal di desa ini.
Kekerabatan Batur dengan Bayung Gede jauh lebih intim. Padi gaga yang ditanam masyarakat Bayung Gede konon terkait erat dengan ritus di Batur. Bayung Gede pulalah yang memberi halaman dan membuka pintu rumah mereka kala leluhur kami harus mengungsi akibat erupsi Gunung Batur pada bulan Agustus 1926. Sebagai tanda pengikat dan pengingat kekerabatan itu, sampai saat ini warga Batur dan Bayung Gede berikrar untuk tidak saling kawin-mengawini. Kekerabatan Batur-Bayung Gede itu pun menurun pada Sekardadi yang merupakan desa turunan Bayung Gede.
Kekerabatan Batur dengan Batun Sendi Ida Bhatari dalam praktik sehari-hari ditandai dengan budaya saling mengunjungi ketika salah satu aliansi memiliki suatu hajatan. Batur selalu hadir saat pujawali atau pelaksanaan yadnya di desa-desa batun sendi, terlebih dalam pujawali di Pura Bale Agung atau pura penting di desa-desa aliansi. Hal yang sama juga dilakukan Batur yang selalu mengundang desa-desa tersebut pada suatu pelaksanaan upacara penting.
Secara tekstual, Rajapurana Pura Ulun Danu Batur menyuratkan bahwa ketika Ida Bhatari Sakti Batur malelungan (bepergian) ke luar desa, beberapa anggota Batun Sendi Batur wajib mengutus wakilnya untuk turut serta mengiringi perjalanan. Praktik ini dirawat dengan baik pada pelaksanaan Karya Agung Danu Kerthi 2023. Perwakilan dari desa itu diundang dan hadir dalam proses melasti di Segara Watuklotok pada 11 Oktober 2023.
Pada puncak Karya Agung Danu Kerthi secara khusus Desa Buahan dan Sekardadi masing-masing memberi bantuan melaksanakan pakelem di Pucak Kawanan dan Pucak Kanginan Gunung Batur. Lima tahun lalu pakelem di Pucak Kanginan Gunung Batur dibantu oleh Bayung Gede. Namun, karena tahun ini desa tersebut tengah melaksanakan brata desa, maka Sekardadilah yang turun tangan menggantikan.
Kerja sama yang terjalin antara Batur dan Batun Sendi Ida Bhatari menjadi cermin bagaimana kebersamaan komunitas masyarakat di hulu Pulau Bali melintasi dinamika sosial budaya, termasuk bersama-sama menjaga lingkungan sebagai wujud fisik lingga Ida Bhatari. Soliditas ini pun masih tergambar jelas dalam pelaksanaan Karya Agung Danu Kerthi 2023.
Kebersamaan antardesa di pegunungan Bali adalah modal budaya yang kuat. Ke depan spirit soliditas antara desa-desa pegunungan Bali, baik dalam konsep banua maupun batun sendi, perlu terus diwariskan, dikuatkan, dan dirayakan. Desa-desa di hulu Bali perlu bergerak bersama mempertahankan, melindungi, mengembangkan, dan memajukan kebudayaannya yang khas, sehingga dapat “melawan” upaya generalisasi dan peminggiran kebudayaan Bali pegunungan di tengah arus besar kebudayaan Bali.
Saya jadi ingat pada suatu diskusi di rumah adat Bandung Rangki Pedawa. Kala itu saya larut dalam diskusi dengan beberapa kawan dari Desa Pedawa, Buleleng yang memiliki keresahan sama soal eksistensi budaya Bali pegunungan. Kami seolah sepakat perlu dibuat forum komunikasi untuk desa-desa Bali pegunungan. Salah satu dari mereka pun menawarkan argumen yang menurut saya radikal. Menurutnya Majelis Desa Bali Aga sudah saatnya dibentuk untuk mengkonservasi, menjaga eksistensi, dan mengembangkan kebudayaan Bali pegunungan. Gagasan itu saya kira memang perlu dipikirkan bersama-sama. [T] [bersambung]