GERIP MAURIP menjadi ajang lomba menulis paling prestisius yang pernah saya ikuti. Gerip Maurip pun, bagi saya, menjadi penghargaan sastra paling penting yang pernah ada di Bali. Sebab, melalui ajang ini para penulis di Bali menjadi terpacu menulis dalam bahasa daerah mereka. Tentu ini bukan hal yang gampang.
Sebagai orang Bali, menulis dengan bahasa daerah ternyata tidak semudah menulis dengan bahasa Indonesia. Saya mengalaminya sendiri. Bagi saya, menulis dengan bahasa Bali sama susahnya dengan menulis dengan bahasa asing. Maka, kita semua hendaknya berterima kasih kepada Pustaka Ekspresi sebagai penggagas ajang ini sejak 2017.
Selain persoalan susahnya menulis dengan bahasa Bali, persoalan lain lagi adalah sastra Bali modern masih menjadi anak tiri dibandingkan seni tradisi semacam geguritan dan sejenisnya. Hal ini terlihat pada pembelajaran sastra di ruang-ruang kelas. Begitu pula di masyarakat, bahwa sastra Bali modern masih kalah pamor.
Fakta-fakta itu ternyata secara tidak langsung membuat saya tertantang mencoba menulis dengan bahasa Bali. Saya mencoba belajar menulis teks puisi, sebab sebelumnya memang sudah akrab dengan puisi berbahasa Indonesia.
Referensi pertama saya tentu saja jurnal online Suara Saking Bali yang digagas Putu Supartika. Berikutnya sisipan Orti Bali di Bali Post Minggu dan puisi-puisi berbahasa Bali di Pos Bali. Berikutnya barulah saya membaca buku-buku puisi yang kebetulan hampir seluruhnya adalah terbitan Pustaka Ekspresi.
Saya lupa kapan pastinya mulai serius menulis puisi berbahasa Bali. Beberapa kali sempat menulis dan mencoba mengirimnya untuk media cetak seperti Pos Bali dan Suara Saking Bali. Belakangan saya memberanikan mengirim puisi di Media Bali yang dijaga IK Eriadi Ariana yang saya kenal dengan nama Jero Penyarikan Duuran Batur dan Nusa Bali atas “undangan” sastrawan I Made Sugianto. Mengirim tulisan dan dimuat di media-media ini pun membuat saya memiliki percaya diri yang cukup.
Akhirnya, saya memberanikan diri untuk ikut mengirimkan manuskrip puisi di Gerip Maurip. Saya memulainya pada 2021, manuskrip yang saya kirimkan berjudul Dini Ditu. Naskah tersebut memuat 39 puisi berbahasa Bali dengan bermacam-macam tema. Sebuah kumpulan puisi yang menurut saya tidak jelas benang merahnya sehingga saya berikan judul Dini Ditu.
Pada Gerip Maurip 2021, manuskrip itu bersaing dengan 10 manuskrip lain, milik para penulis-penulis kelas berat semacam Made Edy Arudi, NW Adnyani, I Nyoman Agus Sudipta, dan senior Wayan Warsa. Tentu manuskrip Dini Ditu tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan karya-karya para penulis tersebut, pikir saya.
Hasilnya sangat mengejutkan saya saat itu. Dini Ditu didapuk menjadi Jayanti 2 di bawah karya I Putu Suweka Oka S. Entah apa yang ada di pikiran para juri, Ibw Keniten, Idk Raka Kusuma (alm), dan Komang Berata saat itu.
Setelah pengumuman pemenang tahun itu, dua hal yang saya pikirkan dan saya ingat betul. Pertama, apakah puisi saya sudah bagus? Kedua, mengapa menulis puisi berbahasa Bali sesulit ini padahal bahasa Bali sering saya gunakan setiap hari. Sampai sekarang pun, saya belum menemukan pasti jawaban dari kedua pertanyaan itu. Hanya saja, saya selalu mencoba terus menulis dan mengirimkannya ke media. Syukur-syukur dimuat. Untuk hal ini saya kembali harus berterima kasih kepada para penjaga gawang kolom sastra seperti IK Eriadi Ariana (Media Bali), Putu Supartika (Suara Saking Bali) dan I Made Sugianto (Nusa Bali).
Menulis dengan bahasa Bali, saya seperti menulis dengan bahasa asing. Kadang saya menulis dengan bahasa Indonesia dulu, selanjutnya draf tersebut saya terjemahkan ke bahasa Bali dengan bantuan kamus. Yang membuat saya masih tidak percaya diri dengan puisi-puisi saya adalah terkait dengan sor singgih basa.
Contoh-contoh puisi yang saya baca sebagian besar menggunakan bahasa alus. Begitu pula tema-tema yang digunakan saya pikir sangat berat, seperti filsafat dan semacam pembacaan atas karya-karya sastra klasik. Untuk hal ini, saya merasa masih sangat kurang. Maka dari itu saya memutuskan menulis menggunakan bahasa kepara, alus madia, bahkan kosa kata campuran dan memasukkan istilah-istilah modern.
Setelah pencapaian di Gerip Maurip 2021, saya mencoba peruntungan lagi di tahun berikutnya. Saya mengirim Manuskrip Gong dan bersaing dengan 8 karya puisi lain, karya para senior seperti Ngakan Made Kasub Sidan, DN Sarjana, dan I Made Suarsa. Tentu membuat nyali saya semakin ciut.
Benar saja, tahun 2022 puisi-puisi saya tidak bisa menembus tiga besar. Pada titik itu, saya melakukan semacam evaluasi diri, di mana sebenarnya kekuatan puisi saya. Sebab kelemahan puisi saya tentu sudah banyak dan gampang ditemukan.
Tahun ini saya memberanikan diri untuk ikut kembali mengirimkan karya. Saya mengumpulkan puisi-puisi baru sepanjang 2023, dengan tema-tema sederhana dan tentu saja kosa kata yang sederhana. Sebab di sanalah kekuatan saya, begitu pikir saya.
Saya kirimkanlah manuskrip berjudul Pasisi, Lawar, lan Saké. Satu hal baru yang saya coba pada manuskrip ini adalah lebih banyak puisi yang saya buat tersusun atas tiga bait puisi. Ini disebabkan saya mulai senang membaca puisi-puisi dari penyair Tengsoet Tjahjono yang memang dikenal sebagai penggagas putiba (puisi tiga bait).
Pengumuman Gerip Maurip tahun ini membuat saya benar-benar terkejut. Sebab, Pasisi, Lawar, lan Saké dipilih menjadi Jayanti 2. Ya, berada di posisi yang sama seperti kali pertama keikutsertaan saya. Yang paling mengembirakan tentu, tahun ini manuskrip tersebut akan diterbitkan oleh Pustaka Ekspresi. Tentu saja ini seperti mimpi yang menjadi kenyataan. Di tengah proses belajar menulis puisi berbahasa Bali, ada apresiasi demikian.
Terlepas dari hasil tersebut, saya selalu menikmati proses belajar ini. Sejak beberapa tahun belakangan memang sedang mempelajari puisi Bali modern. Proses yang masih sangat pendek dan belum apa-apa dibandingkan dengan penulis lain, tentu saja. Belum banyak yang saya tahu, masih menulis dengan bantuan kamus, bahkan belasan kali melakukan revisi untuk satu puisi. Tetapi, Gerip Murip saya pikir telah menjadi lab bagi saya.[T]