SEORANG laki-laki, dengan rekor sepuluh kali bercinta dalam sehari, enggan memiliki anak, bahkan satu anak sekali pun. Bahkan petisi penolakan telah dikirimnya melalui doa-doa khawatir kepada Tuhan saat bertempur sengit di atas ranjang. Namun, barangkali Tuhan tidak mendengar omong kosong itu dan tetap memberinya seorang anak di tahun kedua pernikahannya dengan Rodiah.
Apa yang dikhawatirkan lelaki itu terus terang memang terjadi betulan dan Tuhan mungkin paling terlibat dalam hal ini karena tidak mengabulkan petisinya. Bagaimana kemiskinan menurutnya hanyalah warisan yang akan terjadi kepada orang kecil di negeri ini.
Sementara keran derita pada bocah yang telah telanjur dilahirkan tanpa keberuntungan itu tidak terduga lebih lama takdir membawanya kepada umur 89 tahun dengan berbagai macam kesengsaraan dalam hidup. Selama itu juga jembut tak terhitung kepada anak itu yang tumbuh bahkan belum lagi helai-helai yang rontok karena penyakit gudik di area pler di waktu remajanya: sama banyaknya dengan nasib buruk yang sudah datang atau masih antre di hari tuanya yang sekarang.
Keran derita mengocor deras. Pori-pori hidup semakin terbuka di punggungnya saat masih kecil. Tetapi satu per satu mulai menyempit setelah bapaknya mati terkena angin duduk selepas pulang dari sawah menangkap katak dan ular kobra untuk dijual. Ia mati ketika bocah itu berumur sepuluh tahun. Sebab mati, sedikitnya ia terbebas dari sabetan apapun jika nakal menangkap katak dan ular tanpa pengawasan si bapak.
Setelah menjadi janda, ibunya juga menghilang. Tetapi tidak mati. Justru pergi bekerja dengan laki-laki lain ke Jambi mengikuti program transmigrasi ala Orba saat ia berumur lima belas tahun. Semenjak itu pula anak itu tak pernah lagi melihat ibunya memasak atau sekadar memarahinya untuk tidak datang ke dapur mencuri tempe atau goreng katak tanpa izin si ibu.
Ibunya tidak pernah pulang. Bukan karena ia kesal kepada anaknya yang sedikit tolol dan sakit-sakitan, tetapi memang untuk memutus rantai kemiskinan dan beban hidup. Sebagai alasan yang magis, orang-orang bilang sudah digondol kolong wewe di Jambi untuk selama-lamanya, untuk menghindari dari pertanyaan ruwet si bocah, “Kemana Ibuku pergi?”
Seorang nenek renta kemudian mengambil hak asuh dan si nenek mati setelah umur anak malang itu 21 tahun.
***
Dua minggu setelah Lebaran adalah hari ulang tahunnya yang ke-89. Bulan bagus ini barangkali hanyalah kebetulan saja atau sebuah kemungkinan ini adalah kado terbaik dari Tuhan karena merasa bersalah telah mengirimnya ke rahim keluarga bencana. Dalam fenomena ini, ia mengaku pernah merayu Tuhan agar hari raya disamakan saja dengan hari ulang tahunnya, sebagaimana perayaan mesti banyak orang dan dirayakan oleh banyak orang pula. Karena itu ia mengakali doa untuk hari raya dan ulang tahunnya disamakan saja.
Tetapi rupanya setelah Lebaran berlalu dua minggu, rasaanya tetap hambar. Tradisi maaf-memaafkan, bertanya kabar, menangis dan mengalah, terasa biasa. Merayakan hari ulang tahun di rumahnya, bertemu tamu dan lainnya seakan sudah hambar untuk dilakukan oleh orang-orang yang datang ke sana. Termasuk ucapan selamat ulang tahun untuknya dari para tetangga yang masih menaruh rasa iba sedikit demi sedikit tidak lagi terdengar melalui pagar atau jendela.
Setelah hari raya tiada, orang-orang mulai meninggalkan wajah dan basa-basi tidak penting kepada sesamanya. Kembali kepada wajah aslinya yang bias dan mungkin bermoral anyir sebab perut lapar tidak boleh ditahan. Kepada pekerjaan. Orang-orang lebih banyak pergi ke sana. Melakukan hidup dengan sandiwara yang lebih menguntungkan dan tak jarang merupa diri seperti anjing, saling jilat-menjilati atau saling siasat-mensiasati jika bertemu di mana saja. Tetapi Pak Tua, setelah kembali kesepian, satu hari dirinya memilih untuk melamun dan sendiri di perapian dari pada pergi bekerja. Karena mungkin ini adalah masih suasana hari ulang tahunnya, hari istimewa.
Angin segar dari pohon-pohon dan semak belukar di belakang rumahnya masuk ke celah-celah lubang gedeg dan bilik ruang dapur. Menyejukkan. Membantu lamunan kian semakin sakral saat sore hari. Sebatang rokok yang ia hisap dalam-dalam membuat kenikmatan melamun menjadi lebih terasa. Kemudian mengakhirinya dengan ritual minum kopi sebelum akhirnya beranjak untuk mempersiapkan makan malam untuk dirinya sendiri.
Waktu berputar saat melamun memang seakan begitu cepat. Sedang malam. Cahaya bulan telah mengalahkan lampu-lampu lima watt yang bergelantungan di gubuk-gubuk kecil orang kecil, mengalahkan lamunannya juga. Sedang suara kodok, suara serangga serta lolongan anjing terus memuji-muji cahaya bulan dengan suara keras di atas bukit seolah tidak ada lagi cahaya lain. Nyaring! Mengusik untuk sebuah lamunan lanjutan. Separuh malam kemudian berubah menjadi waktu pertempuran Pak Tua untuk menyumpal mulut mereka agar tidak lagi memuji cahaya selain dari cahaya miliknya yang biasa digunakan untuk berburu: menangkap salah satu dari mereka untuk dijual.
Secara terpaksa lamunan ia tinggalkan selepas makan malam. Padahal dirinya telah berjanji pada sang pemilik waktu untuk melamun satu hari penuh dan tidak melakukan apa-apa di depan tungku, sampai api padam. Sampai malam tandas menjadi abu.
Cahaya agung dari seorang lelaki yang tak memiliki pekerjaan terhormat pula cinta. Seolah ini adalah hari terakhir penentuan sikap malam-malam. Perlahan-lahan lelaki tua itu mulai menyusuri jalan yang berbeda dari arah suara-suara bajingan yang didengarnya nyaring ingin disumpal. Tetapi dasar tua yang plin-plan, mudah sekali ia mengganti rasa ingin dalam membuktikan sesuatu yang lain, yang dianggapnya lebih jelas dan penting secara tiba-tiba. Katanya, lelah batin menuntun jalan hidup yang benar dan puas. Bukan lagi atas bisingnya suara binatang yang memuji cahaya bulan daripada cahaya di kepalanya sendiri. Persetan! Dan hanya sedikit pula untuk peduli pada itu dan dendam redup perlahan-lahan dalam hatinya. Tentu saja tidak sesuai dengan rencana awalnya yang jahat: menyekap dan menangkap. Dan menjualnya kepada tengkulak hewan. Atau, paling sadis ia panggang sendiri sebagai hidangan sarapan pagi esok.
Hutan kecil membawanya kepada hamparan sawah-sawah setelah membungkuk tertatih-tatih berjalan. Pertarungan yang sengit antara cahaya di kepalanya dengan cahaya bulan berebut lapak-lapak gelap di antara petak-petak sawah milik tuan tanah dan makelar. Sebuah saung tempat buruh tani beristirahat mulai terlihat dari kejauhan. Akhirnya. Ke sana ia berjalan menemui temannya bernama Saklon. Setelah melewati dua puluh petak sawah dan satu hutan kecil. Dengan dengusan yang boros, Pak Tua berjalan ke sana seperti orang yang akan kehabisan nafas. Bunyi jirigen kosong pun beradu dengan pinggangnya bercampur dengan rasa letih sedikit dendam. Disana ia merebahkan tubuh lelahnya kemudian sembari menanti sesuatu.
Ia mengalah pada cahaya bulan setelah tubuh merebah, senter dimatikan. Setelah beberapa menit mendiamkan diri mengatur nafas dengan tenang. Perlahan wajah jelek Saklon temannya itu mulai menampakan diri dari gulma dan kemudian melompat keatas daun yang cukup lebar.
“Halo!! Pak Tua. Bagaimana kabarmu?” sapa Saklon.
Sementara gundukan hitam mulai merayapi kepada mereka dan nyaris merusak tatapan mereka ketika awan tebal yang datang dari arah Selat Sunda menutupi cahaya bulan untuk menerpa penuh di beberapa sawah di bagian timur, khususnya di saung kecil tempat mereka bertemu yang menjadi gelap. Sehingga kembali Pak Tua menyalakan senternya di kepala untuk menatap Saklon agar lebih terlihat. Tetapi senter yang ia gunakan hanya sebentar menghasilkan cahaya, habis baterai dan kemudian mati seketika.
Daripada senter dan bulan, justru kunang-kunang yang menyelamatkan mereka dari kegelapan sehingga obrolan terselamatkan menyala di antara mereka. “Hai!! Kabarku baik. Maafkan aku baru menemuimu sekarang, Kawan!”
“Tidak mengapa, Pak Tua. Aku tahu kau sedang sibuk merayakan hari gembira. Aku mendengar kalian menyebut nama Tuhan dari pengeras suara akhir-akhir ini. Apakah kalian sedang melakukan perayaan hari raya?”
“Ya. Kami juga menyebutnya sebagai hari kemenangan. Hari dimana orang-orang harus meminta maaf dan saling memaafkan. Mengalah dan bergembira, termasuk aku. Sebagai penjahat kecil, aku mesti meminta maaf juga kepadamu. Karena di selatan, teman-temanmu banyak aku tangkap untuk dijual. Karena itu aku datang. Ini adalah hari istimewa untuk datang,”
“Aku menyukai pengakuanmu sebagai penjahat kecil. Tapi, berapa katak yang sudah kamu tangkap malam ini?”
“Terima kasih, Kawan. Ah, tidak ada! Aku tidak akan menangkap Saklon manapun malam ini dan sampai minggu depan. Ini masih dalam suasana hari raya sebab emuanya harus bergembira dan menang!”
Saklon hanya terheran-heran karena sulit untuk dipercaya bagaimana bisa seorang sepuh yang ahli dalam menangkap katak sejak kecil, kadal dan ular, dan beredar pula cerita jahatnya di kalangan binatang yang lain menurut leluhur mereka, tidak menangkap seekorpun secara buas malam ini kecuali seratus kunang-kunang didalam jirigen.
“Lantas untuk apa kau membawa jirigen ini?” tanya Saklon merasa aneh.
“Tidak untuk apa. Aku memang senang saja membawanya sedari dulu. Ini menandakan bahwa ini adalah aku. Yaa.. ini adalah aku dan tidak berubah…!”
“Hoahhh…” ucapnya datar dan muak. “O, iya, aku sempat mendengar kabar dari angin timur arah kota. Tidak lama lagi sebuah kelompok dari bangsamu akan memotong bukit di Selatan; melubanginya sampai dalam dan menyulap panas bumi menjadi sumber cahaya. Mengambil air sebanyak-banyaknya. Apakah kau pernah mendengar itu dan atau termasuk di antara mereka sebagai pion?”
Pak Tua itu melepas jirigen dari tubuhnya dengan perlahan. Memperkirakan sesuatu yang sebelumnya belum pernah ia dengar. Dahinya yang sudah mengkerut oleh usia semakin mengkerut saja ketika dipaksa berfikir keras. Mulailah ia menelisik kembali ingatan apakah pernah mendengar atau adalah bagian dari mereka sebagai pion. “Aku tidak tahu! Darimana kau tahu tentang hal ini?”
“Dasar tua yang tolol dan tidak berubah! Makanya nasibmu hanya menjadi penjahat kecil dan tidak punya cinta. Sudah kukatakan tadi, dari angin timur arah kota!” [T]