JIKA SEORANG Mahbub Djunaidi bisa menulis hingga orang yang membaca tulisannya tertawa terpingkal-pingkal, padahal isinya cukup serius, maka seorang Dokter Putu Arya Nugraha pun, rasanya demikian.
Bedanya, Mahbub menulis esai-esai bernas, satire—dan lucu tentu saja—sedangkan dr. Arya menulis cerita-cerita atau kisah-kisah pendek tentang pasien yang lucu, konyol, dan menghibur. Namun, meski berbeda, Mahbub—pada kolom-kolomnya yang belum tertandingi oleh siapa pun—dan dr. Arya sepertinya sama-sama mampu mengubah tragedi menjadi komedi.
Benar. Lewat buku terbarunya yang bertajuk Sehat Ketawa ala Dokter Arya (2023), dr. Arya mampu menghadirkan humor di tengah orang-orang yang gampang menegangkan urat leher (untung tidak ‘anu’-nya yang gampang tegang).
Sekonyong-konyong, buku tipis 138 halaman itu muncul dengan mambawa perspektif (sudut pandang) berbeda dalam menyikapi persoalan-persoalan yang mungkin, bagi sebagian orang, terlalu berat diterima, apalagi dijalani.
Sebagai seorang editor yang dipercaya untuk mengedit tulisan-tulisan dalam buku Sehat Ketawa ala Dokter Arya, sebagaimana telah saya sampaikan dalam kata pengantar saya untuk buku tersebut, dari awal sampai akhir, saat mengedit buku ini saya tak bisa berhenti tertawa. Kelakar-kelakar dr. Arya selalu membuat perut saya terguncang. Tetapi, lebih daripada itu, selain humor, buku ini juga mengandung argumen kritis sekaligus mencerahkan.
Maka dari itu, tanpa ragu saya mengatakan bahwa buku ini adalah salah satu bukti kecerdasan—atau kebijaksanaan itu sendiri—dari dr. Arya, khususnya dalam hal menangani berbagai macam tingkah laku pasien yang berobat maupun berkonsultasi kepadanya. Dalam hal ini, saya kira, sebagai seorang dokter, ia paham betul bahwa bagi mereka yang memiliki keluhan atau divonis sakit, obat saja tak cukup.
Mereka butuh sesuatu daripada sekadar obat nyeri, misalnya, lebih dari itu, mereka juga membutuhkan penawar kekhawatiran atau potensi-potensi buruk lainnya setelah mendapatkan vonis. Dan saya kira, penawar itu adalah humor.
Ya, dr. Arya, dalam setiap penanganannya terhadap pasien, alih-alih memberi vonis-vonis seram—seperti yang dilakukan dokter-dokter pada umumnya—justru selalu berusaha mengajak pasien bercanda atau menertawakan apa yang telah mereka derita.
dr. Arya, secara tidak langsung, saya kira juga menganggap bahwa humor adalah obat itu sendiri. Ia seperti paham betul bagaimana cara membuat orang tertawa dan melupakan rasa sakitnya. Oleh karena itulah, sangat pas jika buku ini diberi judul Sehat Ketawa ala Dokter Arya.
Dari yang Humoris sampai yang Kritis
Soal humor, selain KH. Abdurrahman Wahid─atau yang lebih dikenal dengan panggilan Gus Dur─saya juga teringat seorang filsuf dan pejabat publik Romawi Kuno bernama Marcus Tullius Cicero. Cicero gemar melempar joke saat berbicara dan berargumen di depan orang banyak.
Dianggap terlalu humoris untuk seorang pejabat publik di zamannya, seperti kata Ulwan Fakhri, Cicero pun dipandang bak badut. Wajar, kala itu, pendapat Plato dan Aristoteles bahwa tertawa cenderung terasosiasi dengan aktivitas kaum tak terhormat masih sangat dominan. “Humor,” kata Cicero, “bisa meruntuhkan perbedaan antara seorang orator dan komedian.”
Cicero dan dr. Arya berhasil membuktikan, ketika humor digunakan dengan kadar yang pas dan bijak di muka umum, kuasa sosial hingga politik bisa dimenangkan. Tetapi saat humor digunakan dengan sembrono di hadapan orang-orang, kita bisa saja dicap sebagai badut seperti Cicero─tanpa prestasi yang selevel dengannya.
Humor pada dasarnya hanya sebuah alat, sama seperti pisau. Mau dipakai untuk memasak makanan kesukaan orang yang ingin Anda bahagiakan, bisa. Mau ditodong-todongkan ke orang lain sembari tertawa puas menari-nari bahagia melihat muka tak nyaman mereka, bisa pula. Yang penting, mari lebih melek dan sadar dalam berhumor. Minimal, tahu apa yang sedang ingin Anda sendiri capai, meraup simpati atau untuk mengekspresikan diri.
Memang, humor—apalagi yang bersifat protes sosial—sangat digemari akhir-akhir ini. Orang-orang yang risau dan tidak puas terhadap keadaan masyarakat maupun polah-tingkah birokrat, demi menjaga keseimbangan jiwa, menumpahkan perasaan ketidakpuasan itu melalui tulisan-tulisan yang terkesan tidak serius tapi sebenarnya serius.
Beberapa pengeluaran energi agresif yang bersifat primitif memang tidak bisa dituangkan begitu saja karena adanya batasan dalam masyarakat, maka desas-desus yang hendak disebarluaskan itu diubah dahulu ke dalam lelucon. Begitu pun dengan tulisan-tulisan dalam Sehat Ketawa ala Dokter Arya—yang barang kali sedang Anda baca saat ini.
Buku kelima karya dr. Arya ini memuat ratusan kisah lucu, beberapa tips kesehatan, dan opini pribadi—yang kritis tentu saja—tentang medis dan sedikit tentang sesuatu di luar dunia kedokteran. Kisah-kisah lucu yang dimaksud lebih banyak lahir dari interaksi antara dirinya sebagai dokter, di satu sisi, dengan pasien di sini lainnya.
Salah satu kisah lucu yang paling saya suka adalah kisah yang berjudul Bapak Sehat (hal.28). Kisah pendek ini bercerita tentang seorang suami pasien yang disuruh pulang oleh dr. Arya lantaran menghabiskan makanan istrinya yang sedang dirawat di rumah sakit. Begini kisahnya:
…. Di suatu ruangan perawatan hari ini, saya lihat piring makan pasien seorang ibu, bersih. Saya suka, memujinya, dan mengizinkannya pulang. Tapi, suaminya menyela, “Maaf, Dok, istri saya makannya masih sedikit sekali, itu sebagian saya yang makan. Hehehe.”
“Ok, baiklah kalau begitu. Silakan bapak yang pulang!” jawab saya.
Ini kisah yang sangat pendek dan lucu. Tetapi, selain lucu, jika mau lebih teliti, ada soal lain daripada itu: pola pikir dr. Arya yang sederhana. Bayangkan, untuk melihat perkembangan kesehatan pasien, dia cukup melihat piring makannya. Mengenai hal tersebut, ia juga mengatakannya saat peluncuran buku ini di Singaraja Literary Festival, Minggu (1/10/2023).
“Kalau pasien makannya sudah lahap, atau sudah bisa merias wajahnya, biasanya sudah saya izinkan pulang dari rumah sakit,” ujarnya. Sikap seperti ini tentu tak semua dokter—atau orang pada umumnya—memiliki dan mampu melakukannya.
Selain kisah di atas, saya juga suka dengan kisah berjudul Saat Mata Bertatapan (hal.101). Kali ini dr. Arya bercerita tentang seorang bapak yang tanpa sengaja mengetahui isi pesan WhatsApp di grup yang diikutinya. Begini kisahnya:
Mohon maaf, saat berpraktek saya izin masih harus sesekali cek hp, terutama chat WA karena menerima laporan pasien RS atau urusan manajemen RS.
Nah, suatu ketika, saat pasien seorang ibu menuju bed periksa, ada notifikasi pesan WA. Pengantar pasien yang sudah bapak-bapak, yang duduk persis di depan saya, tak sengaja melirik chat WA yang masuk. Meskipun belum saya buka, namun cukup jelas bayangan konten video dewasa dari sebuah WAG.
Lalu maka kami bertatapan. Rencananya saya akan malu, tapi saya cepat punya ide. “Bapak mau saya share?”
Ia menjawab, “Oh, nggak, Dok. Terima kasih. Saya sudah punya.”
Saat membaca kisah di atas, seketika saya teringat alm. Prie GS. Suatu ketika, wartawan cum budayawan yang memiliki julukan “Sang Penggoda Indonesia” itu menulis begini: Jika keadaan begitu rumit, masuklah dalam hukum kesederhanaan. Menurut Pakde Prie—sebagaimana ia akrab dipanggil—tak hanya undang-undang yang bisa disederhanakan tetapi juga pikiran (omnibus thingking).
Jika dilihat dari perspektif Pakde Prie, humor dalam Saat Mata Bertatapan ini menakjubkan. Baik dr. Arya dan bapak yang memergokinya sama-sama memiliki kecerdasan di atas rata-rata dan terutama, keduanya memiliki kesederhanaan prosedur.
Begitulah semestinya orang yang kepergok, kalau sudah jelas ketahuan, santai saja. Begitu juga dengan yang memergoki. Begitu telah tahu ia memergoki, hanya butuh humor sebagai pelampiasan. Selebihnya damai. Jika hukum kesederhanaan telah diperjalankan, kerumitan akan menepi dan tahu diri.
Seperti yang telah saya sampai di awal, bahwa buku ini tak hanya memuat kisah-kisah lucu, tapi juga beberapa opini kritis tentang dunia medis dan non-medis. Misalnya opini dalam Akreditasi (hal.41). Dalam tulisan tersebut, dr. Arya mengkritisi tentang dokumen-dokumen akreditasi rumah sakit yang banyak dan, katanya, “bertambah tebal dari waktu ke waktu.”
“Saya setuju dengan akreditasi, namun yang membawa spirit penyederhanaan, efektif, efisien… Dengan begitu, dokter dan paramedis lebih banyak mencurahkan perhatian dan waktunya untuk pasien… Dalam pengamatan saya, ironis sekali, saat ini perawat dihabiskan waktunya untuk mengisi dokumen-dokumen yang sangat banyak, seakan-akan menjauhkannya dari pesien…” (hal.42).
Atau opini kritis dalam Dalai Lama dan Logika Beragama (hal.121). Selain menguasai ilmu penyakit dalam, dr. Arya juga tidak segan beropini saat publik menggugat Dalai Lama sebab video suck my tongue viral di media seosial.
Ia dengan tegas menulis, “… Dan tidak cukup jelas, apakah lidah mereka memang bersentuhan? Kalau sampai diisap, rasanya tidak.” Dan “… Dalai Lama memang tokoh yang dikenal ringan dan santai. Membawa konsep spiritual menjadi begitu mudah dan sederhana. Memastikan agama mesti dikawal oleh logika.”
Hal tersebut membuktikan bahwa, selain lucu, dalam beberapa hal dr. Arya juga serius dan kritis. Meski demikian, opini-opini di dalam buku ini tidak semuanya bernada menghakimi atau mengandung kemarahan. Justru, sekali lagi, tetap mengandung humor.
Ya, tulisan-tulisan humor maupun anekdot dipilih sebagai media protes sosial yang paling pas— dikarenakan kecenderungan orang tidak suka dikritik secara langsung. Pihak yang dijadikan sasaran kritik tidak akan marah karena disampaikan dengan cara guyonan. Seperti kisah di bawah ini:
Suatu malam yang larut, di pelataran parkir hotel, dua perampok mengimpit seorang lelaki yang mengenakan setelan mahal.
“Berikan uangmu!” kata salah satu perampok.
Kaget dan gusar, lelaki kaya itu menyahut, “Kalian tidak akan bisa kabur. Kalian tahu siapa saya? Saya pejabat penting.”
Mendengar kalimat tersebut, sambil menodongkan pisau di tangannya, perampok kedua berkata, “Kalau begitu, berikan uang KAMI!”
Dengan demikian, sampai di sini, humor mampu memberikan kekuasaan. Dengan humor, kita dapat mengatasi ketakutan, ketidakberdayaan, dan keputusasaan. Sesuatu yang kita takutkan, namun kita dengar pada waktu lain sebagai humor, akan berubah lambat laun jadi tidak menakutkan lagi
Rasa takut hilang karena kita sudah menemukan humor di balik sesuatu yang sebelumnya membawa rasa takut pada hati kita. Di sini, humor telah dapat menemukan kekuatannya, sehingga dengannya kita dapat melihat kesulitan dengan perspektif yang berbeda. Maka dari itulah, hidup tak ubahnya hanya komedi bagi orang yang mau berpikir.[T]