BEBERAPA HARI INI, saya dibuat gelisah oleh dua buku yang baru-baru ini selesai saya baca. Buku yang berjudul Islam Politik: Sebuah Analisis Marxis karya Deepa Kumar dan Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme karya Kazuo Shimogaki ini benar-benar memaksa saya untuk mengakui bahwa per hari ini, Islam hanya dimanfaatkan—meminjam istilah Ulil Abshar Abdalla—sebagai semacam “obat” (opium) saja bagi masyarakat, jika istilah Marxian yang agak kurang “sopan” ini boleh saya pakai di sini.
Dua buku tersebut menguatkan keyakinan saya, bahwa Islam sejatinya tidak hanya sekadar persoalan “halal-haram” saja, tapi juga sebagai “cara pandang”, “norma hidup”, serta semacam “weltanschauung”—pandangan hidup.
Tauhid tidak hanya sekadar “Keesaan Tuhan” semata, tapi harus dipahami juga sebagai “penyatuan”. Sebab, menurut Toshio Kuroda dalam Islam Jiten, Islam adalah norma kehidupan yang sempurna yang dapat beradaptasi dengan setiap bangsa dan setiap waktu.
Firman Allah adalah abadi dan universal, yang mencakup seluruh aktivitas dari seluruh suasana kemanusiaan tanpa perbedaan apakah aktivitas mental atau aktivitas duniawi.
Dan seperti yang dikatakan Arthur Goldshmidt Jr. dan Lawrence Davidson, yang dikutip oleh Deepa Kumar dalam Islam Politik bahwa “Islam yang dibayangkan Muhammad adalah ajaran yang mengombinasikan spiritualitas dengan politik, ekonomi, dan adat istiadat sosial. Ia sendiri memainkan peran baik sebagai pemimpin politik dan relijius, dan kekuasaannya dalam dua hal tersebut tak terbantahkan”.
Artinya, Islam adalah agama yang mengatur seluruh aktivitas kemanusian di dunia ini; dan maka daripada itu, Tauhid adalah “penyatuan” antara spiritual dan material, antara dunia dan akhirat, antara jasmani dan rohani, antara individu dan sosial, antara hubungan dengan Tuhan, manusia, dan alam semesta.
Jika Islam dipandang hanya mengurusi persoalan akhirat saja, maka yang terjadi hanyalah kemunduran—sikap pasrah—umat Islam itu sendiri.
Modernisme Islam
Di Indonesia, umat Islam secara umum dapat kita kelompokkan menjadi dua golongan (jika salah mohon diluruskan): umat Islam sinkretis dan umat Islam yang mengaku masih “pristine”.
Islam sinkretis, di mana-mana, dituduh sebagai representasi dari Islam dekaden warisan abad kemunduran. Seperti tahlil, misalnya, yang pernah “diejek” sebagai “ikon” dari kemunduran Islam itu sendiri.
Sedangkan, gerakan Islam modern yang hendak mengikis habis elemen-elemen sinkretis dan irasional itu pun sedang mengalami kemandegan. Dalam esai bertajuk Kado Emha dan Islam Balsam—esai yang dimuat majalah TIRAS pada 5 Desember 1996—Ulil Abshar Abdalla menliskan, proyek modernisme Islam di Indonesia sekarang ini sedang mengalami tantangan yang serius.
Hal itu terjadi pada dua level sekaligus, yakni level esoteris yang langsung berkaitan dengan privacy kehidupan keagamaan per individu, serta level eksoterik yang berkaitan dengan sektor publik dalam penataran kehidupan bermasyarakat.
Ulil menjelaskan, pada level esoteris, modernisme Islam gagal memberikan landasan “makna hidup”—lebih dulu ia menjelaskan bahwa semula modernisme Islam menyasar tentang “pencerah akal”, tanwirul uqul, agar tercapai apa yang dicita-citakan, yakni simetrisme atau kesejajaran antara ajaran Islam dengan capaian-capaian teknologi modern.
Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Masyarakat Islam kota yang menjadi basis sosial gerakan modernisme Islam justru “banting setir” dan kasmaran berat dengan “pencerahan hati”, tanwirul qulub, tasawuf—kepada masyarakat modern (urban) yang mengalami—ia meminjam istilah Prof. Nasr—“kesengsaraan” (spiritual) sehingga terpaksa harus balik lagi mengais-ngais dari “kebijaksanaan spiritual” lama untuk mengobati “kesengsaraan” tersebut.
Ulil melanjutkan, di level eksoterik, proyek modernisme Islam (setidaknya di Indonesia) juga dipersoalkan, karena ujung-ujungnya justru pada apa yang sering disebut sebagai “politik representasi”, yakni tuntutan akan keterwakilan umat Islam dalam distribusi kekuasaan di tingkat elite (kata “elite” ini harus memperoleh garis bawah).
Banyak orang menganggap, inilah yang menjadi bibit kawit (asal mula) dari munculnya kembali kecenderungan politik aliran di Indonesia akhir-akhir ini.
Oleh karena itu, agenda politik yang selalu menjadi persoalan kaum modernis Islam di Indonesia adalah bagaimana meletakkan Islam dalam perjuangan demokratisasi yang sekarang ini menjadi “common denominator” dari perjuangan masyarakat sipil (jika memang ada) secara umum di Indonesia sekarang.
Ada kesan bahwa, demokratisasi merupakan semacam “ancaman” terhadap kepentingan jangka pendek (“politik representasi”) kaum Islam modernis tersebut.
Islam yang Membebaskan
Masih tentang esai Ulil. Ia juga menjelaskan bahwa Islam diratifikasi melalui simbol-simbolnya untuk kebutuhan pemenuhan hasrat “konsumeristis” masyarakat kota. Meminjam bahasa Alquran, katanya, Islam berhenti berfungsi sebatas sebagai “obat”, syifa’, bukan dilanjutkan sebagai hudan, penunjuk, ke arah perubahan dalam tatanan yang tidak adil di masyarakat.
Singkat kata, Islam di tangan kaum modern sekarang ini menjadi cenderung “terapeutik”, mengobati saja. Islam balsam, kata Sritua Arif—Emha Ainun Najib—yang mengagumi Ali Syariati itu.
Ulil melanjutkan, Islam yang terapeutik dan akomodatif sekarang ini kurang berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat banyak. Karena dari dulu, fungsi itulah yang memang menonjol.
Melihat kondisi yang demikian, mari kita kembali kepada buku Kiri Islam: Antara Modernisme dan Posmodernisme karya Kazuo Shimogaki di awal.
Tugas Kiri Islam (maksudnya jurnal berkalanya Hassan Hanafi yang bertajuk Al-Yasȃr al-Islȃmȋ: Kitȃbȃt fȋ an-Nahdhah al-Islȃmiyyah—Kiri Islam: Beberapa Esai tentang Kebangkitan Islam) adalah menguak unsur-unsur revolusioner dalam agama, dan menjelaskan pokok-pokok peraturan antara agama dan revolusi.
Dalam hal ini, agama sebagai landasan dan revolusi merupakan tututan zaman, sebagaimana para filsuf muslim pendahulu kita mengupayakan peraturan antara filsafat (al-hikmah) yang merupakan keharusan zaman dengan syari’at sebagai landasan.
Atau lebih ekstrem lagi, keluar dari konteks pembahasan tulisan ini, solusi jernih ditawarkan oleh Deepa Kumar dalam Islam Politik: Sebuah Analisis Marxis. Untuk melawan kerusakan, baik yang ditimbulkan oleh kapitalisme dan imperealisme, hanya dapat ditempa dengan membangun kembali kaum kiri. Seperti yang telah ditunjukkan dari berbagai perjuangan dari Pakistan dan Iran, ke Aljazair, Tunisia, dan Mesir, sistem ini memaksa orang-orang bisa untuk melawan balik.
Kiri yang seperti ini tak hanya akan menunjukkan sebuah kepemimpinan yang berbeda melawan imprealisme kultural Barat, namun juga terorganisir melawan prioritas kapitalisme neoliberal dan kelas-kelas pemimpin lokal yang beruntung karenannya. Ini adalah tantangan milenium baru.
Lain halnya dengan dua buku di atas, Ulil dalam esainya menuliskan: Jika memang Islam adalah “kado”—istilah Emha Ainun Nadjib dalam sebuah album berjudul Kado Muhammad—maka janganlah ia menjadi kado “natal” yang dibagi-bagikan kepada “anak-anak kota” belaka.
Seharusnya kado (hadiah) itu harus dibagikan kepada seluruh semesta alam; kepada kaum tertindas (kelas bawah), sebagai kado “pembebasan” yang pernah diucapkan Muhammad ketika membebaskan Mekkah dulu: Antumuth Thulaq’, kalian bebas. Jadi yang penting bukan kadonya, tapi jenis kado itu sendiri, serta buat siapa.
Sampai di sini, sekali lagi, Islam bukan hanya soal “halal-haram” saja ,“boleh dan tidak boleh”, “benar dan salah”, tapi Islam harus juga dipahami sebagai ilmu, aksi, Tauhid, dan kesyahidan. Islam harus bisa membebaskan; menjadi ilmu tentang rakyat (ilm al-jamȃhir).[T]