UMURNYA tidak muda lagi. Lelaki yang hingga kini masih setia menggeluti tradisi ini telah berusia 75 tahun. Dialah Pak Sarman. Dukun Ebeg dari Kelurahan Bobosan, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, yang tampak masih kekar di usianya yang sekarang.
Ebeg atau Kuda Lumping adalah kesenian tradisional yang sangat populer di masyarakat Jawa Tengah. Biasanya Ebeg dimainkan dalam beberapa sesi, dan dipertunjukkan di lapangan desa. Para penonton datang dari masyarakat setempat atau desa tetangga.
Perangkat Ebeg terbuat dari anyaman bambu yang menyerupai kuda dan dicat warna-warni. Musik gamelan ditabuh untuk mengiringi tarian Ebeg. Sedangkan sinden atau penyanyi akan mendendangkan lagu-lagu Jawa mengikuti gerak langkah pemain Ebeg.
Pak Sarman memperagakan tarian Ebeg / Foto: Dok.Penulis
Sesi yang paling ditunggu oleh para penonton adalah mendeman, yaitu saat pemain Ebeg mendem, kerasukan atau kesurupan tak sadarkan diri. Pada sesi ini, para pemain Ebeg yang mendem akan menari lincah dengan tatapan kosong. Sesekali mereka minta “makan dan minum” berupa sesaji, seperti beraneka bunga, dedak, kelapa muda, dan sebagainya. Bahkan ada pemain Ebeg yang minta “makan” pecahan kaca maupun silet.
Suka dan Duka
Menjadi dukun Ebeg bagi Pak Sarman seperti sudah merupakan bagian dari hidupnya. Apalagi ketika usianya masih muda, ia begitu semangat menjalani profesi itu. Sebab, keberhasilan pertunjukan Ebeg sangat bergantung padanya.
Dukun Ebeg berperan memandu dan mengendalikan pertunjukan. Mulai dari mempersiapkan sesaji, membuat pemain Ebeg mendem, serta menyadarkan kembali para pemain. Itu semua ia lakukan sejak pertunjukan dimulai pada pagi hari hingga menjelang sore. Istrinya, Karsinah yang berusia 69 tahun, ikut membantu menjadi sinden mengiringi tarian Ebeg.
Banyak suka dan duka menjadi dukun Ebeg. Sukanya tentu saja ketika pertunjukan berjalan lancar dan banyak penonton. Rasa lelah terbayar oleh kepuasan penonton saat banyak pemain yang mendem sambil mempertontonkan atraksi magis dan mendebarkan.
“Saya punya kelompok Ebeg Trenggini Kento Sukmo. Dulu sering ditanggap ke luar kota,” kata Pak Sarman. Dia pun menjelaskan makna di balik nama kelompok Ebegnya. Trenggini berarti trengginas atau lincah. Kento adalah nama leluhur di kampungnya. Sedangkan Sukmo berarti sukma atau roh. Jadi dia berharap kelompok Ebegnya akan bermain lincah berkat restu dari roh leluhur di kampungnya.
Pak Sarman bersama istri di rumah / Foto: Dok.Penulis
Meski demikian, pak Sarman juga kerap menemui situasi yang kurang menyenangkan. Ketika pertunjukan sedang berlangsung seru, tiba-tiba turun hujan. Penonton pun bubar. Oleh sebab itulah ia selalu berdoa dan berusaha setiap menjelang pertunjukan agar tidak turun hujan.
Situasi kurang menyenangkan lain yang sering ia temui adalah ketika ada pemain Ebeg yang sulit sadar kembali. “Biasanya ada saja pemain Ebeg yang mendem terlalu lama dan sulit sadar kembali. Permintaannya macam-macam,” ujar Pak Sarman.
Sesaji atau “makanan” untuk pemain Ebeg juga tidak boleh ada yang kurang. Oleh karena itu ia selalu menyiapkan sesaji secara komplet. Kekurangan sesaji dapat menghambat pertunjukan. Apalagi jika banyak pemain Ebeg yang kesurupan, maka akan cepat menghabiskan “makanan” sesaji itu.
Mendem Bohongan
Ditemani istri setianya, perbincangan seputar Ebeg dan tradisi Jawa dengan Pak Sarman terasa tak ada habisnya. Rumah yang sejuk di bantaran sungai itu menjadikan obrolan semakin mengalir bagai deras air sungai.
Saat ditanya tentang perkembangan kesenian tradisional Ebeg, Pak Sarman merasa bangga sekaligus prihatin. Rasa bangga itu muncul lantaran masih ada orang yang menggemari kesenian Ebeg di tengah perkembangan zaman. Meski kini hanya sedikit orang yang menanggap Ebeg ketika melaksanakan hajatan. Tidak seperti dulu, hampir setiap minggu ada pertunjukan Ebeg di desa.
Akan tetapi di sela rasa bangganya itu, Pak Sarman merasa prihatin dengan para pemain Ebeg saat ini, terutama pemain Ebeg anak-anak. “Mereka maunya mendapat indang secara cepat dan gampang. Tidak mau tirakat seperti pemain Ebeg zaman dulu,” tutur Pak Sarman.
Indang adalah sejenis roh halus yang akan diminta untuk merasuk ke dalam tubuh pemain Ebeg sehingga dapat mendem. Untuk mendapatkan indang biasanya pemain Ebeg harus melakoni tirakat berupa puasa beberapa hari dan ritual berendam di pertemuan dua aliran sungai atau campuhan. Setelah itu mendatangi tempat keramat, seperti makam leluhur maupun pohon besar untuk mendapatkan indang.
Para pemain Ebeg anak-anak banyak yang tidak mau menjalani tirakat untuk mendapatkan indang tersebut. Mereka biasanya menyuruh orang lain untuk menggantikan tirakat. Bahkan diduga ada juga fenomena jual beli indang. Ada orang yang memiliki indang, kemudian dijual kepada orang lain tanpa harus menjalani tirakat. Menurut Pak Sarman, indang seperti itu adalah bohong atau palsu.
Ada fenomena lain yang membuat Pak Sarman merasa prihatin. Pemain Ebeg yang tidak memiliki indang, tapi ingin tampak seperti kesurupan. Jalan pintas yang diambil adalah dengan minum ciu atau sejenis minuman tradisional yang mengandung alkohol. Alhasil, mereka akan mabuk dan ikut menari di tengah pertunjukan. Hal itu yang disebut sebagai mendem bohongan.
“Anak-anak minum ciu biar dikira mendem. Biasanya ini yang memicu terjadinya perkelahian di tengah pertunjukan Ebeg. Mereka tidak mendem beneran, tapi mabuk ciu,” kata Pak Sarman dengan nada kesal.
Menjaga Tradisi
Obrolan dengan Pak Sarman semakin asyik ketika istrinya menyuguhkan teh manis dan mendoan, makanan camilan khas Banyumas, yaitu tempe yang dibalut tepung dan digoreng setengah matang. Sambil mengenang masa-masa kejayaan di waktu lalu, Pak Sarman bercerita tentang kelompok Ebegnya yang dahulu sering ditanggap di desa dan luar kota.
“Tarifnya beda kalau ditanggap di desa sendiri dan di luar kota. Kalau di luar kota harus ditambah ongkos sewa kendaraan untuk mengangkut pemain dan alat-alat kesenian,” paparnya. Di desa sendiri tarif ebeg saat ini yang dipatok berkisar angka empat juta rupiah. Sedangkan di luar kota bisa mencapai delapan juta rupiah.
Pak Sarman tidak pernah berpikir tentang keuntungan ekonomi ketika kelompok Ebeg-nya ditanggap. Uang tanggapan Ebeg yang diterima dialokasikan untuk banyak hal, seperti sewa sound system, sewa mobil angkutan barang, membeli sesaji, konsumsi pemain dan penabuh gamelan, serta honor untuk kelompoknya. Berapa pun yang tersisa ia syukuri saja. Baginya, kelompok Ebegnya masih dapat pentas saja sudah senang.
Pak Sarman menjadi narasumber di Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto / Foto: Dok.Penulis
Kini di usianya yang sudah tidak muda lagi, Pak Sarman memilih tidak terlalu aktif lagi dalam kesenian Ebeg. Ia lebih berperan mengasuh dan membina pemain serta dukun Ebeg muda. Apalagi kini ia sudah dikaruniai 12 cucu dan dua orang cicit.
Keinginan terbesar Pak Sarman yang akan terus dipegang teguh adalah menjaga tradisi. Salah satu anak lelakinya juga menjadi pemain Ebeg. Namun sekarang juga sudah tidak aktif lagi karena harus bekerja. Padahal anak lelakinya sempat menjadi pemain Ebeg idola di kampungnya.
“Anak saya kalau menari bagus sekali. Banyak anak gadis yang tergila-gila pada anak saya,” ceritanya, bangga sambil tertawa lebar.
Meskipun ia hendak “pensiun” dari kesenian Ebeg, dia tetap berjanji untuk terus menjaga tradisi agar Ebeg tetap lestari. Salah satunya adalah dengan menyewakan perlengkapan Ebeg kepada masyarakat maupun anak-anak sekolah untuk kepentingan karnaval. Satu kebanggaan ketika ada karnaval Agustusan di desa banyak yang menggunakan kostum Ebeg.
Pak Sarman bersama mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto / Foto: Dok.Penulis
Momen paling membanggakan bagi Pak Sarman adalah tatkala ia diundang ke kampus untuk berbagi pengalaman. Ya, beberapa kali Pak Sarman diminta untuk menjadi narasumber di kampus untuk berbagi cerita tentang Ebeg.
Seperti pada tanggal 21 September 2023 yang lalu, Pak Sarman diundang oleh Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, untuk mengisi materi tentang Ebeg. Meskipun ia hanya sempat mengenyam pendidikan hingga kelas 5 Sekolah Dasar, Pak Sarman bangga dapat menunjukkan kepeduliannya dalam melestarikan tradisi di hadapan mahasiswa.
“Anak muda sekarang sibuk main HP. Banyak sekali tontonan di HP. Tidak peduli pada tradisi. Banyak anak muda yang tidak lagi mengenal kesenian daerahnya. Harus ada yang nguri-uri (merawat dan menjaga) tradisi,” katanya, menutup obrolan.
Pak Sarman, usia boleh beranjak tua. Namun semangat menjaga tradisi tak pernah reda. Janji itu akan terus ia genggam hingga tubuhnya renta.[T]
Baca juga artikel terkaitTOKOHatau tulisan menarik lainnyaCHUSMERU
Reporter: Chusmeru
Penulis: Chusmeru
Editor: Jaswanto