SESAAT sebelum ia terbangun dan kemudian menyalakan tablet-nya, Kayu, dengan posisi bersantai di sofa panjangnya yang berwarna merah, terlihat sedang asyik memainkan game di gadget-nya. Anak laki-laki yang barangkali masih berumur 7 tahunan itu, dengan wajah polosnya, tiba-tiba kepikiran mengakses platform ChatGBT—chatbot berbasis artificial intelligence (kecerdasan buatan) yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi serta memberi balasan dengan sangat natural—dan bertanya, “Bagaimana kakek menyayangi sawah pada zaman dulu?”
Setelah mendapat jawaban dari pertanyaan pertamanya itu—dan sesaat setelah ia membaca jawabannya—scene berpindah ke Kayu, yang sudah berada di ladang talas. “Mari bertani!” ujarnya. Dengan sabit di tangan kanan dan cangkul di tangan kirinya, ia bergaya layaknya petani cilik yang siap membersihkan rumput liar di sela-sela tanaman.
Dengan senyuman yang dapat menimbulkan rasa gembira bagi yang melihatnya, Kayu bernyanyi dengan riang sembari memukul-mukulkan sabit ke cangkul yang ia bawa sampai menimbulkan bunyi nyaring dari kedua benda berbahan besi itu. Ting…. Ting… Ting…
Kayu dalam salah satu scene film AIR (2023) / Foto: Dok. Kardian
Namun, belum sempat ia menggunakan cangkul dan sabit itu dengan semestinya, ia terlihat terburu-buru, kembali pada tabletnya di rumah. Ia kembali mengajukan pertanyaan kepada ChatGBT-nya, “Bagaimana perasaan kakek ketika musim kemarau panjang?
Setelah dirasa jawabannya cukup memuaskan, scene berpindah ke hamparan ladang yang terlihat menguning dari segala sisinya. Kayu duduk dan mengamati setiap jengkal tanah yang mulai tandus dan menggoyang-goyangkan buah tanaman—buah itu berbiji seperti kedelai—yang sudah mengering dan terlepas dari pohonnya.
Setelah puas mengamati sekeliling, Kayu melanjutkan pertanyaan pada ChatGBT-nya. “Apakah aku bisa menjadi petani seperti kakek?” Pada jawaban dari pertanyaan terakhirnya itulah, ekspresi Kayu mendadak menjadi tak bergairah dengan memelankan ucapannya, sembari menepuk jidatnya.
Narasi di atas adalah fragmen dalam film pendek berjudul AIR (2023) karya Ni Luh Dian Suryantini atau lebih dikenal dengan nama Dian, seorang sutradara muda sekaligus penulis naskah dari Singaraja, Bali. Dian, jauh sebelum dikenal sebagai sutradara, adalah seorang jurnalis di media mainstream di Bali.
Film pendek berdurasi tiga setengah menit itu, bercerita tentang seorang anak laki-laki—Kayu—yang ingin menjadi petani seperti kakeknya dengan belajar melalui internet, artificial intelligence.
Dian Suryantini saat sesi diskusi / Foto: Dok. Kardian
Namun, seperti yang sudah di sampaikan diatas, Kayu tampaknya belum benar-benar ingin menjadi seorang petani seperti kakeknya setelah kaget atas jawaban pertanyaan terakhirnya itu. Jawaban yang membuatnya lemas, tak bergairah, dan mungkin juga dapat mengurungkan niatnya untuk menjadi seorang petani.
“Awalnya aku memang pengen ikut program Begadang. Tapi karena waktu itu ada keterbatasan di alat, kayaknya nggak bakal kuat nih,” ujar Dian, sesaat setelah selesai screening film di Griya Musik Irama Indah, Kamis (21/09/23) malam. Setelah memberi jeda, Dian menambahkan, “Tapi, karena dukungan dari teman-teman yang lain, akhirnya proses pembuatan film ini di lanjutin.”
Dian, sebagai sutradara, memulai debutnya dengan dua film fiksi berjudul Renjana dan AIR. Kedua film tersebut diproduksi pada tahun yang sama, 2023. Film Renjana menjadi pemenang di Lomba Film Pendek Bulan Bung Karno 2023 yang diselenggarakan Kesbangpol Bali.
Sedangkan, film AIR menjadi salah satu film pendek yang lolos dalam Kompetisi Film Begadang Official Selection—salah satu program serangkaian Minikino Film Week 9 Bali International Short Film Festival 2023—bersama sepuluh film lainnya, yakni Burn Out, Curhatan Arwah Seorang Istri, Koakikukik, Kita Mau Kemana Lagi?, Penampakan Manusia Paling Bahagia: Sebuah Uji Nyali Di Rumah Keluarga Bapak Budi (Spesial 1 Juta Subscriber), Papo, Pisang Robot Satu Kata, Mira Sudah Tidur, dan Trashtalk.
“Awalnya aku bingung, mau buat cerita apa. Akhirnya aku ngobrol bertiga sama Pak Ole [Made Adnyana Ole, sastrawan cum Pemred Tatkala.co] dan Cotex [maksudnya Kardian Narayana, jurnalis cum programer film] juga, buat ngomongin idenya dan filmnya mau dibuat bagaimana nantinya,” jelasnya.
Kepada Tatkala.co, Dian menjelaskan, untuk Kompetisi Film Begadang 7 tahun kali ini menggunakan empat clue. Pertama, pencahayaan satu arah; kedua, sumber suara yang jelas; ketiga, perubahan warna; dan keempat, perubahan iklim.
Kayu dalam salah satu scene film AIR (2023) / Foto: Dok. Kardian
“Dari empat clue itu akhirnya kami ada ide, kenapa nggak bikin cerita sederhana aja, Kayu main ChatGBT, terus nanya bagaimana cara kakek bertani dan seterusnya. Sampai akhirnya, proses pembuatan scene yang berpindah-pindah itu tereksekusi dan selesai dalam satu hari,” terangnya.
Menurut Dian, total ada 67 peserta film yang mengikuti Kompetisi Film Begadang tahun ini, yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Kompetisi Film Begadang juga menjadi program yang paling diminati para filmmaker untuk berkompetisi di Minikino Film Week.
“Waktu itu aku lagi kerja kan, jadinya nggak ngeh kalau filmku masuk list program Begadang tahun ini. Ternyata setelah aku cek lagi, filmku lolos bersama sepuluh film lainnya di Begadang 7 tahun Official Selection,” ungkapnya. “Nggak nyangka si sebenarnya bisa sampai lolos, seneng banget dong,” imbuhnya, sembari tertawa
Sebagai sutradara muda yang telah melahirkan dua karya film, ia masih mempunyai niatan untuk tetap memperdalam ilmu perfilmannya dengan belajar kepada teman-teman filmmaker lainnya.
“Karena basic-ku bukan orang film, jadinya aku bingung. Sebagai sutradara aku harus ngapain? Untungnya ada teman-teman yang selalu suport aku dan sering membimbing aku tentang dunia perfilman,” tegasnya.
Menurutnya, setelah keberhasilan lolos dalam kompetisi film Begadang, salah satu program dari Minikino Film Week tahun ini, ia tentu bergembira meski tak berpuas diri. Ia ingin menargetkan film-filmnya lolos dalam festival film lainnya, seperti Indonesia Raja dan sebagainya. “Siapa tahu goal lagi kan?” ujarnya, penuh harap.
Dian Suryantini adalah salah satu sineas muda dari sekian banyak anak muda berbakat, yang berkreasi lewat cinema. Dengan event-event seperti Minikino Film Week ini, nantinya akan tumbuh sutradara-sutradara muda lainnya, seperti Dian dan kawan-kawan, tentu saja.
Begadang, Gongnya Minikino Film Week
Malam itu, di aula pemutaran film Griya Musik Irama Indah, tak menyisakan satu kursi kosong pun. Jadi, beberapa orang yang terlambat datang, harus rela berdiri karena tak kebagian kursi. Suasana menjadi ramai dan terpusat, pemandangan berbeda dari malam-malam sebelumnya di Minikino Film Week tahun ini.
Dilansir dari laman Minikino.org, Begadang Film Making Competition atau dalam bahasa Indonesia sering disebut Kompetisi Film Begadang adalah kompetisi produksi film pendek untuk seluruh filmmaker Indonesia dengan menggarap sebuah proyek film pendek fiksi dengan ruang kreativitas yang tak terbatas tapi dalam waktu yang dibatasi, hanya 34 jam.
Kompetisi Film Begadang merupakan program tahunan yang menjadi bagian dari rangkaian acara Minikino Film Week Bali International Short Film Festival. Sejak awal dicetuskannya pada 2017, Kompetisi Film Begadang tahun ini sudah masuk tahun ke-7.
Sejak awal terbentuknya Kompetisi Film Begadang, sudah melahirkan beberapa pemenang di antaranya: Almari (Tim Produksi, Guru) tahun 2017, Taksa (Produksi Kecil) tahun 2018, Pendekar Tafsir Mimpi (Small Time Pictures) tahun 2019, Hai Guys Balik Lagi Sama Gue, Tuhan! (Winner Wijaya/Hore Besok Libur!) tahun 2019, Pro Cast (Victoria Film) tahun 2021, dan Chicken Awaken (Produksi Nol Derajat Film) tahun 2023.
Menurut Dian, Begadang menjadi suatu program yang paling di tunggu-tunggu dalam event Minikino Film Week di setiap tahunnya. Maka tak heran, jika malam itu penonton sampai membludak ketika film dalam Program Begadang akan di putar.
“Begadang itu ibarat gongnya di Minikino Film Week, jadinya banyak tuh orang-orang yang datang, baik cuman sekadar nonton, filmmaker, atau programer film. Mereka kumpul jadi satu pada program Begadang itu, jadinya rame kan,” ujar Dian.
Malam itu, dengan berlangsungnya pemutaran film yang lolos dalam program Begadang, suasana menjadi lebih hangat dari biasanya, lebih riang dari sebelumnya, dan lebih lepas tentunya. Gelak tawa penonton, sorak sorai juga tepuk tangan memenuhi seisi ruangan Aula Griya Musik Irama Indah, petang itu.
Beberapa filmmaker, produser, crew, anak cinema lainnya, hingga tim hore, turut hadir dalam pemutaran film tersebut. Tak hanya mereka saja, datang juga orang-orang yang kebetulan memang sedang ingin belajar film dan tentu ada juga yang hanya sekadar meluangkan waktu untuk menonton.[T]
Baca juga artikel terkait FILM atau tulisan menarik lainnyaYUDI SETIAWAN
Reporter: Yudi Setiawan
Penulis: Yudi Setiawan
Editor: Jaswanto