[Esai ini merupakan pengantar pameran Maha Rupa Batukaru bertajuk “Pesan dari Barat”. Tepatnya di Griya Santrian Gallery, Jalan Danau Tamblingan No. 47 Sanur, Bali. Pameran dibuka Kadis Kebudayaan Provinsi Bali, Prof. Dr. Gde Arya Sugiartha pada Jumat, 15 September 2023 pukul 18.30 Wita, berlangsung hingga 31 Oktober 2023]
TIDAK berselang jauh setelah perwakilan teman-teman perupa Tabanan yang tergabung dalam komunitas Perupa Maha Rupa Batukaru Tabanan menemui saya untuk turut serta dalam memberikan esai komentar pameran yang tengah disiapkan di Santrian Art Gallery Sanur.
Kemudian, dalam suatu kesempatan baik saya sowan ke guru yang saya hormati (sedari mengenyam pendidikan di STSI Denpasar silam) yaitu Prof. Wayan Dibia.
Dalam kesempatan untuk menggali beberapa topik terkait seni budaya Bali, beliau menceritakan dengan antusias bahwa tengah menyelesaikan naskah buku biografi maestro seni tari asal Tabanan, I Ketut Maria. Banyak data telah berhasil beliau temukan untuk mengungkap perjalanan hidup dan dunia kreatif sosok Maria.
Sebagai warga Tabanan saya turut bergembira. Pada akhirnya sosok yang telah melegenda itu kini sudah dicatatkan dan diabadikan. Seiring kabar baik tersebut, yang cukup menyesakkan ‘hati’, meski Tabanan telah dikenal memiliki berbagai talenta seni terutamanya seni rupa, sampai saat ini belum ada catatan dan dokumentasi yang cukup komprehensif. Padahal, banyak perupa berasal dari Tabanan yang telah mendunia, seperti Made Wianta (almarhum), Nyoman Nuarta, Putu Sutawijaya, dan Made Sumadiyasa, misalnya.
Sebelumnya ada sosok Kayit atau Wayan Teher, Nodia yang telah dicatat sebagai sosok pembaharu oleh A.A. Made Djelantik dalam buku Balinese Paintings terbitan Oxford tahun 1990. Begitupun geliat kreatif seni lukis wayang di Kerambitan yang sempat dicatat penulis dari luar.
Setelah itu, hingga saat ini telah lahir banyak perupa muda yang berasal ataupun berdomisili di Tabanan. Mereka yang sangat potensial sebagian telah terwadahi dalam kelompok Maharupa Batukaru. Tetapi, belum ada yang tergerak untuk melakukan pencatatan dan pembacaan capaian karya-karyanya yang telah tersohor itu, begitupun juga ketiadaan catatan perihal perkembangan karya-karya para perupa.
Tanpa terkecuali, saya pun menjadi bagian dari yang belum bergerak itu, sehingga merasa malu dengan kegigihan guru saya Prof. Dibia yang begitu bersemangat untuk menulis buku biografi termasuk sosok Maria, bahkan hingga membuat karya sastra.
Mungkin kesempatan berkumpulnya para perupa asal Tabanan kali ini dapat menjadi momentum bersama untuk membangkitkan kesadaran akan pentingnya dokumentasi dan pengkajian tersebut. Sembari terus mendorong daya kreativitas untuk melahirkan capaian-capaian anyar, juga mungkin lebih elok jika dibarengi semangat untuk mengusung sebuah visi estetik bersama.
Sehingga, kehadiran sebuah wadah berupa komunitas yang telah memiliki struktur organisasi formal ini, tidak menjadi formalitas semata. Alih-alih hanya berkumpul untuk kepentingan pragmatis atau sekadar guyub berpameran bersama, sementara enggan membuat karya-karya ‘baru’ sebagaimana kasus klasik sebuah kelompok atau komunitas seniman.
Saya rasa penting adanya kesadaran bersama para eksponen yang telah dewasa secara pengalaman dan perspektif berkesenian, membuat sebuah gerakan yang didasari oleh konsep yang dirumuskan bersama. Saya rasa masih relevan untuk dewasa ini, sebuah komunitas membangun visi bersama untuk menjangkarkan dan menajamkan potensi-potensi personal yang ada, sehingga muncul gerakan secara estetik yang menandai kebersamaan dalam komunitas.
Mungkin juga dapat menarik potensi-potensi lainnya yang masih enggan untuk bergabung, sekaligus membuka pintu agar komunitas menjadi lebih inklusif, tidak terjebak pada eksklusivitas dan subjektivitas.
Saya rasa masih banyak potensi lain yang belum turut bergabung meramaikan komunitas ini, seperti fotografi, patung, terakota, keramik, dan seni instalasi. Semua potensi tersebut ada di sana—atau berdomisili di daerah Tabanan. Sangat sayang jika potensi tersebut tidak dapat bergerak bersama.
Pergerakan seni rupa sebagai bagian dari gerak kebudayaan, seharusnya kini mendapatkan angin segar dengan naungan undang-undang pemajuan kebudayaan, yang diamong oleh Kemendikbud dan Direktorat Kebudayaan serta turunannya di daerah oleh Dinas Kebudayaan Kabupaten Kota.
Pemerintah telah mengalokasikan anggaran berupa dana abadi kebudayaan yang nilainya cukup besar untuk peningkatan infrastruktur serta suprastruktur pemajuan kebudayaan. Menimbang kebijakan undang-undang pemajuan kebudayaan perlu upaya-upaya untuk menyampaikan aspirasi langsung ke pihak berwenang di pemerintahan kabupaten Tabanan. Termasuk mengetuk pintu langsung ruangan ke bupati dan anggota dewan.
Saya rasa, kehadiran komunitas Maha Rupa Batukaru dengan formalitasnya sejalan dengan arah kebijakan pemerintah di bidang kebudayaan, yang tidak lagi dari atas ke bawah tetapi justru sebaliknya, dari pelaku sebagai stakeholder utama dan pemerintah mengambil peran fasilitator.
Apalagi anggota komunitas ini ada yang menjadi anggota dewan, tentu sangat paham atas perkembangan tersebut. Sudah saatnya komunitas perupa Tabanan mulai bergerak secara intensif dengan dukungan berbagai pihak baik pemerintah dan swasta.
***
Pameran bertajuk “Pesan dari Barat” itu diikuti oleh 27 perupa, antara lain: Wayan Sunadi “Doel”, Nyoman Wijaya, Wayan Santrayana, Kadek Dedy Sumantra Yasa, Nyoman Aptika, Made Gunawan, Ketut Boping Suryadi, Made Astika, Putu Suhartawan, Wayan Suastama, Putu Adi Sweca, Made Kenak D.A.
Ketut Mastrum Ketut Suadnyana, Made Wahyu Senayadi, Wayan Naya, Nyoman Ari Winata, I.G.Nyoman Winartha, Luh Gede Widiya, Wayan Susana, Wayan Sukarma, I.G Pt Yogi Jana P, Made Sutarjaya, Komang Kanta, Made Subrata, Ketut Murtayasa, dan Luh Gde Fridayani.
Pameran ini dapat menjadi momentum, untuk bergerak dengan kesadaran bersama membangun semangat visioner demi pemajuan seni dan kebudayaan, khususnya di daerah Tabanan. Karya-karya yang ditampilkan oleh masing-masing perupa saya rasa tidak perlu diragukan lagi kualitas artistik dan capaian personalnya.
Dari karya-karya mereka telah menunjukkan keragaman artistik dan nilai estetik dari representasional (realistik dan figurasi) dan non-representasional (abstrak, abstraksi dan formalistik).
Tema-tema yang beragam sesuai gagasan dan pandangan dunia masing-masing perupa. Serta keragaman latar belakang dari akademik dan otodidak (self taught) dapat menjadi potensi yang saling melengkapi, baik secara gagasan dan sensibilitas estetik.
Berbagai potensi tersebut kini perlu “ditajamkan”, sesuai dengan tajuk pameran “pesan” yang dihadirkan masih beragam—saking beragamnya pesan itu dapat ‘terpeleset’ ke arah kejamakan atau kekaburan makna.
Maka dari itu, perlu diarahkan pada sebuah pernyataan yang lebih fokus sehingga ‘pesan’ menjadi lebih jelas terlihat, terbaca, dan dicandra oleh audien. Kejelasan pesan dan makna tersebut dapat dicapai dengan penajaman visi yang diusung dalam kebersamaan komunitas. Potensi-potensi personal dapat menjadi modal dengan kekuatannya masing-masing.
Selanjutnya adalah langkah strategis untuk menggerakan modal tersebut menjadi daya kreatif melahirkan gerakan visioner. Bukankah pameran seni rupa membutuhkan kejutan-kejutan inovasi yang keluar dari kebiasaan dan kemapanan?
Mungkin saja visi itu pernah dirumuskan dalam AD/ART sewaktu pembentukan komunitas dan mendaftarkannya untuk mendapatkan akta notaris pendirian dan pencatatan Kemenkumham dan dinas kebudayaan.
Tetapi kalau realitasnya memang belum terumuskan, momentum kebersamaan kembali dalam wujud pameran ini dapat menjadi tonggak untuk mereorganisasi kelembagaan komunitas Maharupa Batukaru.
Menurut penuturan komite, persiapan pameran ini melalui proses yang cukup alot, karena keanggotaan komunitas cukup banyak tetapi realitanya yang proaktif tidak hampir setengahnya—bahkan kurang.
Saat pameran mulai digagas, komite membuat mekanisme penjaringan self kurasi, dengan mengajak peserta untuk mengajukan karya-karya terbaru yang memang disiapkan khusus untuk pameran atau maksimal dibuat pada tahun berjalan. Berikutnya disertai dengan membuat pembatasan pada ukuran maksimal, dengan pertimbangan untuk menyesuaikan dengan kapasitas ruang pameran.
Metode ini cukup berhasil untuk melakukan seleksi internal dalam menyiapkan sebuah pameran bersama, alhasil terkumpul dua puluhan karya seni yang telah terseleksi oleh masing-masing perupa sebagai bentuk komitmen dan tanggung jawab untuk menyukseskan pameran.
Langkah yang dilakukan komite pameran sudah cukup efektif untuk mempersiapkan pameran dalam komunitas yang memiliki kompleksitasnya masing-masing. Tinggal melakukan reorganisasi dan koordinasi yang lebih intensif, agar kedepan dapat terus memaksimalkan persiapan pameran dan projek seni rupa lainnya.
Kedepan juga dibutuhkan kesiapan komunitas melibatkan peran kuratorial untuk turut membantu menajamkan visi estetik pameran yang diusung, sehingga ‘pesan’ yang hendak disampaikan menjadi lebih jelas.
Sekali lagi, pameran bersama ini dapat menjadi titik tolak untuk menggerakkan komunitas Maharupa Batukaru menuju reorganisasi kembali, serta menyiapkan perencanaan dan program strategis untuk menjawab kegelisahan yang saya singgung pada bagian awal pengantar ini.
Sedari beberapa tahun silam para eksponennya memang telah mendiskusikan beberapa program yang telah mereka rancang bersama meliputi beberapa pameran rutin setiap tahun, serta sarasehan hingga merencanakan riset dokumentasi yang berujung pada penerbitan buku.
Para perupa yang tergabung di dalam komunitas telah memiliki kesadaran tersebut, tinggal merapatkan kembali barisan komite menjadi lebih solid dan menggalang dukungan bersama dari berbagai pihak untuk menyukseskan perencanaan itu.[T]
Batubulan, September 2023