AKTA NOTARIS adalah akta otentik yang dibuat oleh/atau dihadapan Notaris dimana bentuk dan tata cara yang ditetapkan oleh UUJN (Pasal 1 poin 7) UU 30 tahun 2004.
Makna dari ketentuan tersebut memberikan kewenangan yang sangat luas bagi Notaris untuk membuat akta yang dimintakan oleh para pihak atau pihak atas apa yang dikehendakinya. Kewenangan mana betul-betul haruslah mematuhi ketentuan pembuatan akta, ketentuan sahnya perjanjian dan hal-hal yang secara teknis agar perjanjian atau kehendak para pihak atau pihak memenuhi asas keotentikan sebuah akta.
Kenapa saya menyampaikan hal itu, karena ketentuan umum sudah sepatutnya dipatuhi bersama, akan tetapi hal-hal teknis pelaksanaan penyelesaian sebuah minuta akta semestinya dilakukan tanpa cacat yang sengaja maupun kelalaian rekan Notaris yang justru dapat membuka celah gugatan dari pihak-pihak yang merasa dirugikan atas kelalaian tersebut.
Tempat Kedudukan dan Wilayah Jabatan Notaris
Menurut Pasal 18 ayat (1) UUJN Notaris mempunyai tempat kedudukan di daerah Kabupaten atau Kota. Kedudukan Notaris di daerah Kota atau Kabupaten sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah, bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas propinsi, dan daerah propinsi dibagi atas kabupaten dan kota. Bahwa pada tempat kedudukan Notaris berarti Notaris berkantor di daerah kota atau kabupaten dan hanya mempunyai 1 (satu) kantor pada daerah kota atau kabupaten (pasal 19 ayat 1 UUJN).
Kebutuhan Notaris pada satu daerah kota atau kabupaten akan disesuaikan dengan formasi yang ditentukan pada daerah kota atau kabupaten berdasarkan Keputusan Menteri (Pasal 22 UUJN).
Menurut Pasal 18 ayat 2 UUJN Notaris mempunyai wilayah jabatan meliputi seluruh wilayah propinsi dari tempat kedudukannya. Keterkaitan antara tempat kedudukan Notaris dengan wilayah jabatan Notaris dapat diartikan bahwa Notaris mempunyai wilayah kerja satu propinsi dari tempat kedudukannya, artinya Notaris dapat saja membuat akta di luar tempat kedudukannya selama sepanjang masih berada pada propinsi yang sama. Notaris yang membuat akta di luar tempat kedudukannya tersebut tidak dilakukan secara teratur (Pasal 19 ayat 2 UUJN). Dengan demikian Notaris tidak hanya dapat membuat akta untuk masyarakat yang datang ke kota atau kabupaten lain dalam propinsi yang sama, dan pada akhir akta wajib dicantumkan kota atau kabupaten akta dibuat dan diselesaikan.
Apakah kewenangan Notaris dalam membuat akta otentik selama ini telah dilakukan dengan cermat dan memenuhi ketentuan UUJN dengan baik? Apakah teknis pembuatan dan penyelesaian akta oleh rekan Notaris sebagai “dapur”nyaakta telah begitu aman dan bebas ”virus” atau dia malah menjadi bara yang dapat membakar dan menghanguskan keotentisitasan akta itu sendiri?
Bagaimana seharusnya ketentuan Notaris membuat akta agar otensitas akta memenuhi ketentuan yang diatur dalam UUJN. Notaris sebagai pejabat umum yang diberikan oleh UUJN untuk membuat akta otentik mesti tidak boleh lalai dalam melaksanakan tugas kewajibannya secara profesi karena kelalaian tersebut dapat menyebabkan akta kehilangan otentisitasnya dan akta tersebut menjadi akta dibawah tangan dan atau dapat menjadi batal demi hukum serta karenanya Notaris dapat dituntut ganti rugi oleh pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 84 UUJN 30/Tahun 2004).
Secara teknis semua Notaris, kita semua pasti dalam menyiapkan minuta akta tidak semuanya sudah persis seperti apa yang disampaikan oleh para pihak. Draf minuta akta dapat dimintakan oleh pihak-pihak atau orang lain atas kehendak pihak-pihak, draf mana kemudian akan kita cocokkan setelah para pihak menghadap pada kita Notaris. Draf minuta yang siap memenuhi ketentuan 1320 BW sebagai syarat sahnya perjanjian yaitu adanya kesepakatan, kecakapan, suatu hal tertentu dan sebab yang halal, pasti sudah dipenuhi sebelum kita melangkah pada pembacaan dan penandatanganan minuta.
Membuat akta yang telah dimintakan oleh para pihak sangat gampang atau kadang-kadang menggampangkan karena memang begitulah keseharian dari kita. Padahal ternyata secara teknis pembuatan akta, sebagaimana diatur dalam pasal 48, 49, 50, 51 dan pasal 52 UUJN apabila kita lalai dapat mengakibatkan berlakunya pasal 84 UUJN.
Tentang pasal 48 poin 1 dan poin 2; kapan renvoi (pengubahan, penambahan dan pencoretan) harus dilakukan? Bagaimana mengerjakannya? Seketika atau setelah salinan dikeluarkan. Apa akibat hukum salinan yang berbeda dengan minuta?
Justru karena hal-hal teknis seperti ini sangat penting untuk diperhatikan dan malah kita abaikan yang dalam case tertentu dapat menyudutkan Notaris didalam persidangan (apabila kemudian ada pihak-pihak yang menuntut keabsahan minuta akta ).
Masyarakat Memaknai Akta Otentik
Salinan bukanlah foto copy minuta, ini haruslah dimengerti bersama. Salinan adalah salinan kata demi kata dari seluruh akta dan pada bagian bawah salinan akta tercantum frase ”diberikan sebagai salinan yang sama bunyinya” (Bab I ketentuan umum, pasal 1 angka 9 UUJN). Ketentuan ini mesti dimengerti bahwa salinan akta bukanlah sama persis seperti apa yang ada di asli aktanya karena salinan tidak ada coretan-coretan, perubahan-perubahan, tanda tangan dan para pihak-pihak, saksi-saksi dan Notaris, tetapi salinan adalah kata demi kata sama dengan asli aktanya, dengan menyebut berapa banyak perubahannya. Tetapi kalau salinannya berbeda dengan minuta, apa yang dapat dilakukan para pihak dan bagaimana Notaris menyikapi hal itu? Apakah salinan tersebut sah atau tidak?
Pasal 48 poin 2
Perubahan atas akta berupa penambahan, penggantian, atau pencoretan dalam akta hanya sah apabila perubahan tersebut diparaf atau diberi tanda pengesahan lain oleh penghadap, saksi-saksi dan Notaris.
Menguraikan pasal 48 poin 2 ini haruslah hati-hati artinya penandaan tersebut yang mengakibatkan adanya pengesahan atas coretan, tambahan, dan penggantian tersebut berlaku dilaksanakan langsung pada saat itu oleh semua pihak-pihak walaupun sebagai renvoi tersebut dibereskan berbarengan dengan dikeluarkannya salinan, tetapi cilaka apabila minuta belum dibereskan, salinan keluar hal inilah yang dapat mengakibatkan munculnya gugatan bagi Notaris apabila pihak-pihak tidak paham mana minuta mana salinan.
Kembali kepada pembuatan akta Notaris baik akta relaas maupun akta pihak menjadi dasar utama atau inti dalam pembuatan akta Notaris, yaitu harus ada keinginan atau kehendak (wilsvorming) dan permintaan dari para pihak. Jika keinginan dan permintaan para pihak tidak ada, maka Notaris tidak akan membuat akta yang dimaksud (Habib Ajie, 2008). Untuk memenuhi keinginan dan permintaan para pihak, Notaris dapat memberikan saran dengan tetap berpijak pada aturan hukum. Bila saran diikuti dan dituangkan dalam isi akta hal ini menjadi kehendak dan tanggung jawab para pihak, bukan tanggung jawab Notaris, karena itu permintaan dan perbuatan pihak-pihak, bukan perbuatan Notaris, pengertian seperti tersebut diatas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta Notaris, berarti permintaan dari para pihak.
Pengertian seperti tersebut di atas merupakan salah satu karakter yuridis dari akta Notaris, tidak berarti Notaris sebagai pelaku dari akta tersebut, Notaris tetap berada diluar para pihak atau bukan pihak dalam akta tersebut. Dengan kedudukan Notaris seperti itu sehingga jika suatu akta Notaris dipermasalahkan, maka tetap kedudukan Notaris bukan sebagai pihak atau yang turut serta melakukan atau membantu para pihak dalam kualifikasi Hukum Pidana atau sebagai Tergugat atau Turut Tergugat dalam perkara perdata. Penempatan Notaris sebagai pihak yang turut serta atau membantu para pihak dengan kualifikasi membuat atau menempatkan keterangan palsu ke dalam akta otentik atau menempatkan Notaris sebagai tergugat yang berkaitan dengan akta yang dibuat oleh atau dihadapan Notaris, maka hal tersebut telah mencederai akta Notaris dan Notaris di Indonesia. Siapapun tidak dapat memberikan penafsiran lain atas akta Notaris atau dengan kata lain terikat dengan akta Notaris tersebut.
Dalam tataran hukum (kenotariatan) yang benar mengenai akta Notaris dan Notaris jika suatu akta Notaris dipermasalahkan oleh para pihak, maka:
-Para pihak datang kembali ke Notaris untuk membuat akta pembatalan atas akta tersebut, dan dengan demikian akta yang dibatalkan sudah tidak mengikat lagi para pihak, dan para pihak menanggung segala akibat dari pembatalan tersebut.
-Jika para pihak tidak sepakat akta yang bersangkutan untuk dibatalkan, salah satu pihak dapat menggugat pihak lainnya, dengan gugatan untuk mendegradasikan akta Notaris menjadi akta dibawah tangan. Setelah didegradasikan, maka hakim yang memeriksa gugatan dapat memberikan penafsiran tersendiri atas akta Notaris yang sudah didegradasikan, apakah tetap mengikat para pihak atau dibatalkan? Hal ini tergantung pembuktian dan penilaian hakim.
Jika dalam posisi yang lain, yaitu salah satu pihak merasa dirugikan dari akta yang dibuat Notaris, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan berupa tuntutan ganti rugi kepada Notaris yang bersangkutan, dengan kewajiban penggugat, yaitu dalam gugatan harus dapat dibuktikan bahwa kerugian tersebut merupakan akibat langsung dari akta Notaris. Dalam kedua posisi tersebut, penggugat harus dapat membuktikan apa saja yang dilanggar oleh Notaris, dari aspek lahiriah aspek formal dan aspek materiil atas akta Notaris.
Itulah hal-hal prinsip yang semestinya kita Notaris tanamkan dalam pelaksanaan menjalankan tugas profesi sehari-hari agar dapat mengeleminir persoalan yang terjadi. [T]
- BACAartikel lain tentang kenotarisan dari penulisI MADE PRIA DHARSANA