PAGI ITU saya menerima sebuah pesan dari salah seorang senior sepuh. Ia mengatakan sedang berada di Jakarta dan bermaksud untuk bertemu. Sebagai junior yang taat, saya langsung bersiap.
Bermodal sepeda motor pinjaman dari senior yang sedang berlibur, saya pun tancap gas menuju lokasi yang sudah dikirimkan oleh senior saya.
Akhirya, ditemani dengan segelas susu, saya pun siap menyimak berbagai pengalaman dan pandangan dari dua orang senior yang kini duduk di hadapan saya—dan inilah beberapa hal yang kami diskusikan selama beberapa jam.
Elegi di Pulau Bali
Kata “elegi” juga pernah saya gunakan dalam sebuah esai yang membahas pendidikan Hindu di Bali. Dalam pembahasan kali ini pun kurang lebih sama. Senior saya memulai diskusi di Ruang Tengah dengan mengungkapkan fakta bahwa di salah satu kabupaten di Bali sedang kekurangan guru Agama Hindu. Banyak siswa-siswi yang tidak memiliki guru Agama Hindu.
Bagaimana bisa daerah yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Hindu, justru kekurangan guru untuk mengajar Agama Hindu? Meski berat menerima, inilah fakta yang terjadi di lapangan.
Setahu saya, tanggung jawab dalam pemenuhan guru agama berada di tangan penyelenggara pendidikan, seperti TK, SD, SMP di tingkat Kabupaten/Kota dan SMA/SMK di tingkat Provinsi. Artinya penyelenggara pendidikan menginventarisir kebutuhan jumlah guru agama di daerahnya, kemudian diusulkan kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Agama sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) No. 16 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama Pada Sekolah.
Apabila melihat persoalan ini, penting untuk selanjutnya melihat di bagian sebelah mana sesungguhnya permasalahan terjadi—di sisi pemerintah daerah selaku penyelenggara pendidikan atau di sisi Kementerian Agama.
Terlepas dari permasalahan berada di sisi penyelenggara pendidikan atau Kementerian Agama, hal ini perlu disoroti oleh semua pihak. Karena perlu disadari bahwa bagi umat Hindu, pendidikan Agama Hindu menjadi faktor penting untuk memberikan pondasi moral dan budi pekerti bagi generasi muda penerus bangsa, khususnya generasi muda Hindu. Apabila masalah pemenuhan guru Agama Hindu di Bali tidak teratasi, maka apa bedanya umat Hindu di Bali dengan seekor tikus yang mati di lumbung padi?
Pembangunan Nir-Filosofi
Selain soal pemenuhan guru Agama Hindu yang masih jadi masalah, kecenderungan permasalahan dari Bali hari ini adalah pembangunan berbasis fisik. Akan sangat mudah bagi saya untuk menyebutkan proyek apa saja yang sedang berjalan di Bali hari ini. Mulai dari Jalan Tol, Pusat Kebudayaan di Klungkung, hingga pembangunan Turyapada Tower.
Pertama, pembangunan Jalan Tol. Bali kini sedang menyiapkan diri untuk menyambut Jalan Tol kedua di Pulau Dewata yang menghubungkan Jembrana dan Badung—konon akan mempersingkat waktu tempuh hingga 1,5 jam. Namun di balik kemegahan dan manfaat yang dibayangkan, nyatanya pembangunan ini harus mengorbankan banyak hal. Salah satunya adalah mengorbankan tempat suci, seperti Sanggah Gede, Merajan, hingga Pura—ini disampaikan langsung oleh senior saya yang Merajan keluarganya hampir menjadi korban dari Jalan Tol ini.
Kedua, pembangunan Pusat Kebudayaan di Klungkung. Selain karena alasan bahwa Art Centre yang berlokasi di Denpasar sudah tidak bisa menampung antusiasme warga Bali dalam setiap perhelatan Pesta Kesenian Bali (PKB), saya pikir pembangunan Pusat Kebudayaan ini tak lepas dari ambisi pemimpin Bali untuk meninggalkan monumental legacy di bawah pemerintahannya.
Siapa sangka mega proyek ini dibangun di tengah jalur lahar apabila Gunung Agung menunjukkan murkanya? Bahkan saya merasa miris ketika melihat banyak bukit dikeruk demi pembangunan Pusat Kebudayaan, yang bahkan belum tentu akan diterima manfaatnya oleh seluruh rakyat Bali. Tapi yang sudah pasti, rakyat sekitar kehilangan sumber air dan sumber penghidupannya.
Ketiga, pembangunan Turyapada Tower KBS 6.0 Kerthi Bali. Saya kurang tahu mengapa ada embel-embel 6.0 di dalamnya, meski hari ini dunia baru memasuki Revolusi Industri 5.0 (society 5.0). Tapi sudahlah, itu adalah kewenangan mereka. Memang wacana pembangunan menara ini memang sudah sejak tahun 2019, dalam rangka menangani persoalan beberapa titik di Buleleng yang tidak mampu mengakses siaran televisi tertentu (blank spot)—diinisiasi oleh KPID Bali, bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi Bali dan seluruh lembaga penyiaran di Bali.
Tetapi, dalam konteks pembangunannya tentu harus mengorbankan banyak hal. Saya sangat percaya bahwa di setiap pembangunan, maka lingkungan akan menjadi korbannya. Jadi tentu kebermanfaatan menjadi salah satu pertimbangan dalam pembangunan, termasuk di dalamnya Turyapada Tower yang dibangun di Desa Pegayaman, Buleleng. Sebenarnya, bisa saja pemerintah membangun menara biasa untuk menuntaskan masalah blank spot tersebut.
Tapi pertanyaannya, kenapa harus dibangun sebuah menara semegah ini? Besar kemungkinannya adalah ambisi pemimpinnya untuk meninggalkan monumental legacy. Dan pada akhirnya yang menerima dampak negatif sosial dan lingkungan adalah masyarakat sekitar.
Kalau dipikirkan kembali, Koster tak berbeda seperti Jokowi—bahwa fokus pemerintahannya adalah pembangunan infrastruktur. Tapi kalau direnungkan kembali, dua pemimpin tersebut telah melupakan satu hal penting, yakni pembangunan sumber daya manusia (SDM). Dalam konteks Bali, perubahan status SMA Bali Mandara menjadi sekolah reguler telah menunjukkan kepada khalayak umum soal arah keberpihakan atau setidaknya prioritas pemerintah Bali hari ini.
Aspek pembangunan SDM sejatinya harus seiring sejalan, bahkan selangkah lebih maju tinimbang pembangunan berbasis fisik. Karena pada ujungnya, penerima manfaat dari infrastruktur fisik tersebut adalah manusia. Jika manusianya tidak dibekali dengan pengetahuan yang memadai, maka infrastruktur fisik yang tersedia akan sia-sia. [T]
- Baca esai-esai dari penulis TEDDY CHRISPRIMANATA PUTRAlainnyaDI SINI