SESUNGGUHNYA ini cerita lama. Tapi saya pikir ini masih relevan untuk direnungkan bersama-sama. Kebingungan ini terjadi saat saya mengikuti kelas Kekuatan-Kekuatan Politik Indonesia yang disampaikan oleh Assoc. Prof. Firdaus Syam. Pertemuan itu dimulai dengan penjelasan tentang kekuasaan.
Meminjam definisi dari Miriam Budiardjo, kekuasaan adalah individu atau kelompok (grup-organisasi) berupa aktor yang memainkan peranan dalam kehidupan politik secara kelembagaan dengan tujuan untuk mempengaruhi proses keputusan dalam sistem politik.
Diskusi kemudian beranjak pada konsep kekuasaan yang eksis hari ini, yakni kekuasaan di barat dan kekuasaan di timur. Saya akan ulangi penjelasan dari dosen saya untuk kalian. Hehe.
Terdapat beberapa ciri dalam konsep kekuasaan di barat, seperti: a) abstrak: kekuasaan itu hadir berdasarkan fenomena dari kekuatan interaksi sosial dan dari berbagai kepentingan politik tertentu yang saling membangun pengaruh, merebut, dan mempertahankannya.
b) heterogen: kekuasan bisa hadir dalam berbagai konteks, seperti kekayaan, status sosial, jabatan formal, senjata, teknologi, media, dan lainnya; c) jumlah tidak tetap: kekuasaan akan bertambah seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi.
d) rasional: kekuasaan didasari oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta dapat dibuktikan secara ilmiah; dan e) memerlukan legitimasi: kekuasaan harus eksis didasarkan atas konstitusi atau regulasi yang berlaku.
Sedangkan berbicara konsep kekuasaan di timur, maka terdapat beberapa ciri, yaitu: a) konkret: kekuasaan hadir dalam wujud yang tampak; b) homogen: kekuasaan berasal dari sumber yang sama; c) jumlah tetap: kekuasaan tidak bertambah, baik itu bertambah luas atau kecil.
Artinya, jika ada pemusatan kekuasaan yang besar di satu tempat, maka mengharuskan pengurangan kekuasaan di tempat lainnya; d) irasional: kekuasaan tidak hanya berdasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi, juga berdasarkan atas hal-hal klenik atau mistis; e) tidak mempersoalkan legitimasi: bahwa pemilik kekuasaan tidak memiliki implikasi moral yang inheren.
Lalu Indonesia masuk ke dalam konsep yang mana?
Kalau coba ditimbang-timbang, saya bisa mengatakan bahwa Indonesia masuk ke dalam konsep kekuasaan di timur. Tapi, apa benar dalam konteks kekuasaan, Indonesia memiliki ciri-ciri yang serupa dengan apa yang sudah dijelaskan sebelumnya? Mari kita diskusikan bersama.
Konkret
Sudah dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan konkret adalah kekuasaan hadir dalam wujud yang tampak. Konsep ini sendiri adalah perpaduan antara animisme di desa dan pantheisme metafisik tinggi yang terdapat di pusat kota.
Kalau ditarik dalam konteks Indonesia, maka kekuasaan bisa dimunculkan atau hadir lewat barang-barang pusaka atau simbol lainnya yang diturunkan dari generasi ke generasi. Misalnya, dalam konstelasi politik Indonesia, Nahdlatul Ulama menjadi satu entitas penting dalam dinamika kekuasaan nasional.
Homogen
Kekuasaan yang berasal dari sumber yang sama atau kalaupun tidak sama persis, setidaknya identik adalah salah satu ciri dari konsep kekuasaan di timur. Hal yang bisa dijadikan contoh dari ciri ini dalam konteks Indonesia, yakni kursi kekuasaan di daerah identik dikuasai oleh sosok dengan latar belakang darah biru, atau memang juragan di daerahnya.
Namun seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan, informasi, dan teknologi, dalam konteks Indonesia hari ini, kekuasaan tidak hanya berasal dari satu sumber saja. Kini, kekuasaan bisa berasal dari berbagai sumber, seperti kepemilikan media, pemimpin organisasi/relawan, hingga kekayaan. Dan hal tersebut sudah jamak kita temui hari ini.
Jumlah Tetap
Kekuasaan yang tidak bertambah luas atau sempit adalah prinsip dari jumlah tetap. Artinya secara jumlah keseluruhan, kekuasaan itu sama, tetapi secara komposisi di dalamnya bisa berubah kapan saja dengan jumlah yang setiap saat bisa berubah. Salah satu yang sifatnya tetap adalah teritorial, dalam konteks Indonesia, kekuasaannya akan selalu tetap sama (kecuali ada wilayah yang lepas lagi. Hehe).
Pertanyaannya, apakah Indonesia bisa memperluas kekuasaannya? Tentu bisa. Perluasan kekuasaan yang dimaksud bukanlah perluasan teritorial, melainkan perluasan kekuasaan melalui teknologi. Sebagai contoh adalah, bagaimana Cina bisa memperluas kekuasaannya karena memiliki teknologi dan kapital.
Irasional
Bicara soal irasional, maka Indonesia dalam konteks kekuasaan masih sangat mempercayai hal-hal klenik atau mistis. Selain mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kini menjadi instrumen penting dalam perebutan kekuasaan, hal-hal yang bersifat mistis dan klenik pun jadi hal yang tidak boleh ditinggalkan di tengah masyarakat Indonesia.
Berangkat dari hal tersebut, maka tidak heran kalau kita sering kali melihat calon-calon pemimpin mendatangi “orang pintar” atau dalam konteks pemeluk agama Hindu, calon-calon pemimpin keliling untuk sembahyang bahkan sampai di Pura yang berada di pelosok.
Tidak Mempersoalkan Legitimasi
Meski kekuasaan diberikan melalui regulasi yang terlegitimasi, tetapi bagi si pemilik kekuasaan justru mereka tidak merasa memiliki implikasi moral yang inheren. Padahal bagi negara timur, moral adalah hal yang inheren dari kekuasaan. Namun, di Indonesia tidak demikian. Sangat banyak pelanggaran hukum yang dilakukan oleh pemegang kekuasaan itu sendiri.
Nyatanya, kekuasaan di Indonesia telah berkembang sedemikian rupa. Tidak semua ciri kekuasaan di timur yang benar-benar sesuai dengan Indonesia—karena mengutip apa yang pernah disampaikan oleh Bu Sri Mulyani dalam sebuah diskusi dengan kelompok mahasiswa, “Indonesia menerapkan sistem yang memberi keuntungan bagi negara”.
Mungkin prinsip yang sama juga dianut oleh kekuasaan—bahwa apapun yang memberi keuntungan bagi kekuasaan, maka si pemilik kekuasaan akan menerapkannya. Artinya berada “di tengah” adalah jalan ninja Indonesia. Hehehe. Benarkah demikian?[T]
Baca esai-esai politik TEDDY CHRISPRIMANATA PUTRA lainnya DI SINI