NOVEL-NOVEL Ayu Utami tak bisa dilepaskan dari konteks Reformasi 1998. Saman dan Larung yang mengantarkan Ayu Utami ke arena sastra Indonesia muncul pada masa-masa akhir kekuasaan Orde Baru dan awal Reformasi dan menggunakan masa-masa itu sebagai latar cerita.
Namun, selama ini tatapan terhadap karya-karya perempuan pengarang yang juga jurnalis itu umumnya pada aspek eksplorasi seksualitas. Padahal, novel-novelnya juga memiliki kecenderungan menyuarakan suara-suara lain atau suara-suara “sang liyan” (the Other).
Pandangan ini mengemuka dalam diskusi Temu Buku Beranda Pustaka serangkaian Festival Seni Bali Jani V di Studio FTV, Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar, Kamis (27/7/2023).
Diskusi yang merupakan kerja sama panitia Beranda Pustaka FSBJ V dan Komunitas Utan Kayu, Jakarta ini bertajuk “25 Tahun Reformasi, Menimbang Buku-buku Ayu Utami” itu menampilkan pembicara dosen sastra dari Universitas PGRI Mahadewa Indonesia (UPMI) Bali, I Made Sujaya; penulis, mantan jurnalis, dan penerjemah yang bermukim di Ubud, Sebastian Partogi; serta sang pengarang, Ayu Utami.
Dari kiri ke kanan: Alif Iman (moderator), Ayu Utami, Sebastian Partogi, dan I Made Sujaya / Foto: Ist
Dalam diskusi yang dipandu pendiri Prakarsa Media Parakata dan Ketua Gerakan Indonesia Kita, Alif Iman itu turut hadir sejumlah sastrawan dan budayawan, antara lain Goenawan Mohamad, Hartanto, Warih Wisatsana, Idayati, Putu Suasta, serta Ngurah Aryadimas Hendratmo. Mengawali diskusi ditampilkan juga pembacaan petikan novel Saman oleh seorang mahasiswa ISI Denpasar yang kerap tampil sebagai pembaca puisi, Ayu Chu.
Ayu Chu saat membaca petikan novel Saman / Foto: Ist
Sujaya menilai novel Saman muncul pada momentum yang tepat di ujung akhir Orde Baru dan awal Reformasi yang diikuti dengan euforia kebebasan di tengah-tengah masyarakat. Dengan gaya ungkap dan bahasa yang lebih terbuka, Saman yang terbit tahun 1998 dan disusul Larung pada tahun 2001 seolah mewakili gejolak perasaan masyarakat Indonesia, setidak-tidaknya sebagian orang yang selama ini tak bisa bersuara atau sang Liyan (the Other).
Selain kaum perempuan yang berada di bawah hegemoni budaya patriarkhi, Saman dan Larung juga memberi ruang bagi kelompok-kelompok marginal, seperti korban penindasan negara dan milter, kaum biseksual, termasuk korban-korban tragedi 1965.
Menurut Sujaya, dalam pembicaraan sastra Indonesia pasca-Reformasi, sulit mengabaikan sosok dan karya-karya Ayu Utami. Faktanya, karya-karya yang mengeksplorasi seksualitas atau perayaan tubuh perempuan sempat mewarnai arena sastra Indonesia pada awal-awal Reformasi, bahkan sejurus menjadi semacam arus utama. Adanya label “sastrawangi”, bahkan “Gerakan Syahwat Merdeka” justru menegaskan eksistensi karya-karya semacam itu.
Pada perkembangan selanjutnya, sejarah sastra Indonesia pasca-Reformasi juga mencatat kemunculan kembali karya sastra religius bernuansa Islami yang oleh sejumlah peneliti dilabeli sebagai “sastra Islami”. Selain itu, tumbuh karya-karya tentang kisah sukses atau dikenal sebagai “sastra inspirasi” yang belakangan justru mendominasi pemasaran buku-buku sastra di Indonesia.
Suasana peserta Temu Buku Beranda Pustaka / Foto: Ist
Belakangan, Ayu Utami juga menggeser tema-tema karyanya pada eksplorasi tema-tema spiritual, tetapi dilabelinya dengan sebutan “spiritualisme kritis”, seperti tampak pada seri novel Bilangan Fu (2008).
Istilah “spiritualisme kritis” dimaknai Ayu Utami sebagai sikap spiritual yang tidak mengkhianati nalar kritis. Latar belakang istilah spiritualisme kritis, menurut Ayu Utami, lahir dari keprihatinannya terhadap makin meningkatnya kekerasan atas nama agama di Indonesia dan terorisme di dunia. Penggalian tentang spiritualisme kritis itu dilakukan Ayu Utami melalui pembacaan terhadap teks-teks sastra tradisional, khususnya Jawa yang mengantarkannya pada konsep rasa.
“Apakah tawaran karya-karya berlabel spiritualisme kritis ini bisa berterima dan menangguk sukses seperti Saman dan menjadi arus utama lagi dalam sastra Indonesia? Tentu masih perlu kita tunggu perkembangannya,” kata Sujaya.
Sujaya juga mengapresiasi upaya Ayu Utami menghadirkan wajah Bali yang lain dalam novel-novelnya, terutama Larung. Dalam konteks tragedi 1965, imbuh Sujaya, Ayu Utami melalui novel Larung memilih korban dari Bali. Sebelumnya, ini jarang digarap para sastrawan dan setelah novel Ayu Utami tema tentang korban tragedi 1965 di Bali makin banyak kita temukan dalam sastra Indonesia.
“Bali dalam Larung bukanlah Bali yang eksotik atau penuh daya keindahan turistik, tapi Bali dengan sisi gelapnya yang mengajak pembaca berpikir dan memahami Bali yang lebih utuh,” tandas Sujaya.
Sebastian Partogi juga mempertanyakan kecenderungan banyak orang melihat karya-karya Ayu Utami dari sisi seksualitas. Padahal, dari hasil pembacaannya, karya-karya Ayu Utami banyak sekali lapis-lapisnya. Novel-novel Ayu Utami juga menyajikan soal-soal dilema etis.
“Dalam Saman, tokoh utamanya yang dulunya pastur, lalu dia melihat begitu banyaknya kekejaman yang dilakukan oleh perusahaan kelapa sawit. Dia akhirnya mempertanyakan, memang Tuhan benar ada? Kok ada penderitaan dan kekejaman seperti itu tapi tidak ada yang menolong. Lahannya dibakar, terus perempuan diperkosa oleh pihak-pihak yang merebut lahan mereka,” ujar Partogi.
Suasana peserta Temu Buku Beranda Pustaka / Foto: Ist
Menurut Partogi, karya-karya Ayu Utami selalu menstimulasi pikiran yang membuatnya berbeda denga novel-novel bernuansa agama yang pesan-pesannya cenderung verbal. Novel-novel Ayu Utami, ujarnya, mengajak pembaca mempertanyakan apa yang sudah mapan.
Ayu Utami mengakui dirinya dikenal orang karena Saman. Novel itu menjadi best seller atau kontroversial serta dianggap menjadi tren sehingga Saman diterima sebagai kisah sukses. Namun, Ayu Utami menyatakan dirinya tidak pernah berbuat untuk mencapai kesuksesan. Sukses itu datang bersama momentum. Menurutnya, dia juga mengalami kegagalan. Tahun 1994, dia gagal jadi aktivis dan sempat dipecat setelah majalah Tempo, tempatnya bekerja, dibreidel.
Ayu Utami tak mengelak jika karya-karyanya dilatarbelakangi oleh dinamika masyarakat. Selain Saman dan Larung yang merespons represi Orde Baru, novel Bilangan Fu juga merespons menguatnya intoleransi dan terorisme.
Mengenai persaingan dalam pasar buku-buku sastra di tengah kembali menguatnya novel-novel religius dan inspiratif, Ayu Utami menilai itu juga berkaitan atau terjadi dalam bidang-bidang lain. Menurutnya, pasar buku-buku sastra tidak menjadi sesuatu yang terpisah dengan dinamika masyarakat.
Ayu Utami mengaku bersyukur jika karya-karyanya diterima sebagai ajakan untuk berpikir dan mempertanyakan kembali sesuatu yang mapan seperti dirasakan Partogi. Dalam konteks situasi terkini, kesadaran untuk memeriksa kembali sesuatu yang dianggap mapan, sukses atau hebat, sangat perlu dilakukan. “Saman dianggap sukses. Kesuksesan adalah cermin kemapanan sehingga perlu juga untuk diperiksa kembali,” tandas Ayu Utami.[T]