DI TENGAH suasana hotel Mercure Bali Nusa Dua, Kabupaten Badung, yang asri, elegan, mewah, bersama lalu-lalang tamu dengan berbagai kepentingan, berlangsung kegiatan Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia yang memacak tema “Cerdas Memilah dan Memilih Tontonan”, Selasa (25/7/2023) pagi.
Acara yang berkolaborasi dengan Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XV Bali-NTB itu, dihadiri langsung oleh Dr. Nasrullah, Ketua Komisi I LSF RI, dan Rosery Rosdy Putri, M.Hum, Sekretaris Komisi II LSF RI.
Sosialisasi yang mengundang 50 orang dari berbagai elemen itu, mendapuk Dr. Ni Made Ras Amanda G, S.Sos, M.Si., dosen FISIP Universitas Udayana sebagai narasumber dan Jaswanto, editor cum wartawan Tatkala.co, sebagai moderator.
Dari kiri ke kanan: Jaswanto, Dr. Nasrullah, Rosery Rosdy Putri, M.Hum, dan Dr. Ni Made Ras Amanda G, S.Sos, M.Si / Foto: Ist
Sebelum Dr. Amanda—sapaan akrab Dr. Ni Made Ras Amanda G, S.Sos, M.Si—memaparkan materi, Ketua Komisi I LSF RI dan Sekretaris Komisi II menjelaskan beberapa hal terkait Lembaga Sensor Film dan gerakan nasional budaya sensor mandiri terlebih dahulu.
Klasifikasi Usia Penonton dan Budaya Sensor Mandiri
Dr. Nasrullah menyampaikan banyak hal tentang jumlah judul film yang masuk ke dapur LSF selama setahun, jumlah pekerja di LSF, Undang-Undang No.33 Tahun 2009 tentang Perfilman, kategorisasi usia tontonan, sampai hal-hal yang berkaitan dengan tugasnya di Komisi I Lembaga Sensor Film. “Dalam setahun, sekitar 40 ribu judul film yang harus kami tonton,” ujarnya, yang disambut rasa kagum peserta sosialisasi.
Pria paruh baya yang akrab dipanggil “Ustadz Anas” itu menyampaikan, menurut Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2014 tentang Lembaga Sensor Film (LSF), ada empat klasifikasi usia penonton untuk film. Keempatnya adalah semua umur (SU), 13+ (di atas 13 tahun), 17+ (dewasa di atas 17 tahun), dan 21+ (dewasa di atas 21 tahun).
Tak hanya itu, Nasrullah juga menjelaskan cara mudah membedakan film kategori 13+ dan 17+, dua klasifikasi yang kerap digunakan untuk film-film di Indonesia. “Jadi yang membedakan 13 atau 17 itu dari aspek berlebihan atau tidak,” katanya.
Dia memberikan contoh dengan mengandaikan aksi kejar-kejaran atau perkelahian. “Kalau perkelahian itu intensinya masih batas normal, biasa aja, bisa 13. Tapi kalau sudah intensif, berdarah-darah di situ, itu tentu akan naik klasifikasinya,” tuturnya. Untuk kategori 13 tahun, LSF sendiri sebenarnya tak melarang adegan berdarah atau bahkan ciuman.
Sementara untuk adegan ciuman, Nasrullah membedakannya dengan istilah informatif dan eksploitatif. Ciuman informatif tetap dibiarkan lolos sensor untuk kategori usia 13+. Namun jika adegan ciuman itu sudah masuk eksploitatif, maka LSF akan mengubahnya ke kategori usia 17+.
“Ciuman informatif itu hanya sekadar cupika-cupiki, cium kening, atau cium bibir tapi cuma sekilas. Nah, ciuman yang eksploitatif ini yang menimbulkan gairah-gairah lain,” ujarnya sambil mempraktikan gerakan ciuman eksploitatif dan segera disambut gelak-tawa hadirin.
Sebelum menyerahkan forum kepada moderator, lewat penjelasan itu, Nasrullah berharap masyarakat bisa paham memilih tontonan sesuai klasifikasi usianya.
Sementara itu, setelah Dr. Nasrullah menjelaskan soal kategorisasi ciuman, Rosery Rosdy Putri, M.Hum, selaku Sekretaris Komisi II LSF RI menyampaikan, budaya sensor mandiri merupakan gerakan nasional untuk menguatkan fungsi literasi masyarakat dalam aspek perfilman dengan mengampanyekan memilah dan memilih tontonan sesuai dengan klasifikasi usia. Gerakan ini diinisiasi Lembaga Sensor Film pada tahun 2021 lalu.
Suasana serius peserta sosialisasi / Foto: Ist
Dalam buku Panduan Film LSF RI: Film Impor Januari 2021-Juni 2022 dijelaskan bahwa Program Sosialisasi Budaya Sensor Mandiri merupakan gerakan literasi media yang disampaikan untuk mengedukasi masyarakat tentang pentingnya melakukan sensor mandiri (swasensor) baik untuk kepentingan pribadi maupun, dan terutama, bagi keluarga.
“Masyarakat diajak untuk secara bijak, mampu memilah dan memilih tontonan sesuai klasifikasi atau penggolongan usia, baik untuk film, iklan film, program televisi—termasuk yang tidak melalui proses sensor LSF—maupun tayangan yang dipertunjukkan di media sosial dan media baru,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Ery itu.
Film sebagai karya seni budaya yang terwujud berdasarkan kaidah sinematografi merupakan fenomena kebudayaan. Hal itu bermakna bahwa film merupakan hasil proses kreatif warga negara yang dilakukan dengan memadukan keindahan, kecanggihan teknologi, serta sistem nilai, gagasan, norma, dan tindakan manusia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Dengan demikian, Ery menjelaskan, film tidak bebas nilai karena memiliki seuntai gagasan vital dan pesan yang dikembangkan sebagai karya kolektif dari banyak orang yang terorganisasi. Itulah sebabnya, film merupakan pranata sosial (social institution) yang memiliki kepribadian, visi dan misi yang akan menentukan mutu dan kelayakannya. Hal itu sangat dipengaruhi oleh kompetensi dan dedikasi orang-orang yang bekerja secara kolektif, kemajuan teknologi, dan sumber daya lainnya.
Dalam Undang-Undang No.33 Tahun 2009, perfilman mempunyai fungsi: a. budaya; b. pendidikan; c. hiburan; d. informasi; e. pendorong karya kreatif; dan f. ekonomi. “Oleh karena itu, LSF mengimbau kepada pembuat film untuk tidak memproduksi film yang mengandung unsur kekerasan, perjudian, penistaan agama, pornografi, merendahkan harkat dan martabat manusia, secara berlebihan,” kata Ery.
Cerdas Memilih Tontonan
Sebagai akademisi, Dr. Ni Made Ras Amanda G, S.Sos, M.Si., menyajikan banyak data kuantitafif tentang persebaran internet di dunia dan menjelaskan di mana posisi tontonan masyarakat dunia hari ini.
Menurut laporan terbaru We Are Social dan Hootsuite, jumlah pengguna internet di seluruh dunia mencapai hingga 5,16 miliar orang pada Januari 2023. Angka ini merupakan 64,4 persen dari total populasi global sebanyak 8,01 miliar orang.
Sedangkan pada tahun 2021, total pengguna internet di Asia mencapai 2,77 miliar jiwa dari total populasi 4,33 miliar jiwa. Jumlah pengguna internet Asia tersebut mencapai 53,4% dari total pengguna internet dunia. Dengan jumlah tersebut, Indonesia berada di urutan ketiga dengan pengguna internet terbanyak di Asia. “Dari data tersebut, sudah terbayang di mana posisi tontonan kita?” tanya Amanda.
Menurut Amanda, manusia Indonesia hari ini lebih banyak mengonsumsi tontonan dari media sosial daripada bioskop atau tayangan televisi. Benar, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2021, persentase penduduk Indonesia yang menonton TV menurun dalam tiga tahun terakhir. Pada tahun 2021, persentasenya turun sebesar 3,25 persen sejak tahun 2018. Ini juga menjadi angka pemakaian televisi terendah dalam 12 tahun terakhir.
“Yang miris adalah, Lembaga Sensor Film tidak bisa masuk dalam ranah tayangan di media sosial. Padahal, seperti yang dikatakan Mas Jaswanto tadi, algoritma media sosial itu di satu sisi bisa sangat berbahaya—karena sekali saja kita menonton hal-hal negatif, media sosial akan menyuguhkan hal serupa seterusnya,” ujarnya.
Tidak saja menyuguhkan pergeseran tontonan masyarakat dari TV ke media sosial, Amanda juga menyebutkan beberapa media baru seperti Netflix, GoPlay, Disne + Hotstar, HBO Go, Genflix, YouTube Premier, Viu, MAXstream, dkk, yangg tidak bisa dikontrol oleh Lembaga Sensor Film (LSF) Republik Indonesia. “Maka dari itu kita harus cerdas memilih tontonan,” katanya.
Ras Amanda memberikan beberapa tips tentang memilih tontonan, terutama untuk anak-anak. Salah satu yang diajukannya adalah kontrol orangtua terhadap penggunaan smartphone. Orangtua bisa memeriksa tontonan anak melalui riwayat tontonan atau histori di akun media sosial seperti YouTube atau TikTok. “Tak hanya memeriksa, orangtua sendiri juga harus mengontrol dirinya untuk tidak menonton hal-hal yang negatif, sebab saat anak meminjam smartphone orangtua, bisa saja anak ikut menonton tontonan tersebut,” ujarnya.
Salah seorang peserta bertanya / Foto: Ist
Foto bersama setelah sosialisasi selesai / Foto: Ist
Sosialisasi yang berlangsung selama hampir dua jam tersebut, berjalan lancar, cair, dan interaktif. Beberapa peserta undangan yang hadir memberi masukan dan bertanya soal bagaimana cara LSF menonton 40 ribu film, kenapa film festival (indie) sulit untuk masuk bioskop, sampai usulan tentang penayangan sinetron televisi yang tak ramah anak sebaiknya ditayangkan di jam-jam tengah malam. Diskusi ditutup dengan sesi foto dan makan siang bersama.[T]