DIA LEBIH senang dipanggil Lolec, padahal namanya keren: Ida Bagus Sura Kusuma, punya makna hebat: “kembang dewa pemberani”. Dia tulis Lolec, bukan semestinya Lolek. Ini gaya penulisan dan pengucapan gaul, seperti ‘geng’ ditulis ‘genk’, atau ‘sayank’ dieja ‘sayang’. Sebuah pertanda pasti, si empunya nama orang egaliter, selalu mengutamakan kesetaraan dalam pergaulan dan kekerabatan.
Di Bali, entahlah di Indonesia atau dunia, Lolec satu-satunya guide yang kartunis. Dia tahu betul manfaat media. Dulu, pewarta itu disegani, koran dihormati, tempat orang-orang cerdas bertemu mengadu gagasan, membela kebenaran dan rakyat.
Lolec paham, jurnalisme kala itu, ketika ia menumpukan masa depan hidup pada pariwisata yang mulai menggeliat di tahun 80an, adalah profesi yang sangat disegani. Media pekabaran selalu ditunggu-tunggu dan dipercaya. Lolec memanfaatkan media itu dengan talentanya menggambar sebagai kartunis.
Karyanya muncul saban hari di harian paling terkemuka di Bali kala itu. Lolec jadi penuh percaya diri, bahwa ia bukan sembarang guide, dia pemandu wisata berkelas, tanggap pada persoalan sosial sehari-hari yang ia tuangkan dalam kartun. Hanya orang cerdas yang sanggup melakukan itu, memperkaya sketsa sosial menjadi kartun yang menyindir dan menghibur.
Lolec memang dikenal dalam dua hal penting: pemandu wisata dan kartunis. Hanya dia guide yang kartunis. Cuma satu. Jika orang menyebut Lolec, orang segera berkomentar, “Oooo guide itu?” Atau “Oooo kartunis itu?”
Dia guide yang sangat beruntung karena dia suka ngartun. Ia sukses meniti karir di dunia industri pariwisata berkat kesenangannya dan kelebihannya ngartun.
Tamu-tamu yang diantar tiba-tiba bisa muncul sosoknya dalam kartun, dan itu hadir di sebuah harian. Turis yang diantar tentu suka dan tidak menduga. Mereka menghormatinya, jadi makin akrab bercanda. Kartun membuat Lolec tampil beda, penuh percaya diri.
Perilakunya yang egaliter, karena ia punya ciri watak seniman, membuat ia gampang akrab dengan banyak orang. Dengan para wartawan ia dikenal suka mentraktir makan, dan berbagi berita pariwisata, karena dianggap guide yang polos, royal, suka bergurau, dan berdompet tebal.
Wartawan macam apa pun, dengan kesukaan berbagai jenis kuliner apa pun, ia traktir. Ia hafal siapa suka makan apa. Seorang sahabatnya selalu terkenang kebiasaan Lolec doyan masakan Sunda karedok. “Biasanya kami makan di pertigaan di Semawang,” ujar si teman.
Kawan-kawannya mengenang Lolec sebagai sosok yang meriah, agresif, penuh percaya diri, seakan tidak ada persoalan yang tak mungkin terselesaikan. Lukisan-lukisannya mengesankan pribadinya yang agresif itu, gambar yang kaya garis, meriah.
Kemeriahan itu juga tampak dalam kartun-kartunnya yang selalu kaya garis. Lolec tidak suka hemat garis. Itu mungkin sebabnya, kartun-kartunnya cenderung agresif, selalu berniat bergerak.
Agresivitas ini, jika ia dan temannya berkunjung ke desa atau kota seputar Bali, sering menarik perhatian orang. Beberapa kali terjadi, petani, orang lewat atau pedagang di warung, bertanya pada mereka, “Antuk linggih?” Ini pertanyaan biasa diajukan orang Bali yang ingin mengetahui kasta orang yang baru dikenal.
Ditanya antuk linggih, Lolec akan terbahak-bahak, tidak berkata-kata. Sang teman yang berbisik kepada si penanya, “Dia Ida Bagus dari Geriya Telabah.” Orang itu akan menghampiri Lolec, mencakupkan tangan di depan dada, seakan mohon dimaafkan kalau ia lancang. Dan Lolec kembali tertawa.
Banyak orang Bali berkasta tak peduli pada kastanya, tidak suka kalau ditanya antuk linggih. Tapi, tentu lebih banyak yang bangga berkasta tinggi, menganggapnya sebagai kelebihan. Tapi, bagi Lolec tidak. Banyak yang bahkan memanggil Lec saja. Mungkin karena dia bergaul dengan orang berbagai bangsa, suku, ras dan agama, sehingga keyakinan, kepercayaan, apalagi kasta, itu urusan pribadi masing-masing.
Lolec hampir tak pernah bicara spiritualitas, sehingga banyak teman menganggapnya ia sosok sekuler. Sesungguhnya, ia seorang brahmana calon sulinggih sejati. Baginya kasta, kebangsawanan, tak perlu ditonjolkan. Seorang dari Jawa yang baru mengenalnya sempat menduga ia putra seorang kiai, karena panggilan Gus di depan Lolec itu.
Laki-laki egaliter kelahiran tahun 1949 yang agresif dan energik itu, kini tak lagi ada di Bumi. Senin, 10/7/2023 selepas siang, jenazahnya diperabukan di Setra Badung. Banyak kawan yang mengenangnya sebagai laki-laki yang hangat, penuh tawa canda, senang mentraktir, bersahaja, dan salah seorang pelopor pergerakan dan perkembangan kartun di Bali.
Saya termangu di Setra Badung ketika menyaksikan api menjilat jazad Lolec. Pandang saya mengikuti gerak asap yang membubung menuju awan gemawan di angkasa raya. Mungkin sukmanya turut terbang mengikuti liukan asap itu.
Selamat jalan Lec, kalau kita ketemu di sana, bolehlah kita menyantap karedok lagi, sekali-sekali lawar, jangan kebanyakan, pergelangan kaki bisa nyut-nyut-nyut karena asam urat, jalan jadi terseok-seok. Sekarang biarkan saya di sini mengenang Lolec dengan doa. [T]
- BACA artikel lain dari penulis GDE ARYANTHA SOETHAMA