“Saya pikir hal yang harus dilakukan adalah menikmati perjalanan saat kamu sedang melakukannya”.
ITU BUKAN kata saya, tapi kata John Christopher Depp II atau yang lebih dikenal dengan nama Johnny Depp, seorang aktor asal Amerika Serikat. Depp menjadi terkenal di serial televisi 1980 Jump Street. Kemudian, dia memperoleh peran film horor A Nightmare on Elm Street (1984) dan dalam komedi Private Resort (1985).
Deep juga terkenal di berbagai film seperti film Charlie and The Chocolate Factory sebagai Willy Wonka—waktu kecil saya menyebutnya “manusia coklat”. Pada 2004, dia bermain dalam film thriller psikologi Secret Window. Deep juga memerankan peran sebagai Jack Sparrow, tokoh utama dalam seri film Pirates of Carribean.
Tetapi saya tidak ingin membicarakan aktor yang gagal menjalin hubungan pernikahan itu—Deep menikah tiga kali, cerai tiga-tiganya. Saya hanya ingin bercerita tentang perjalanan saya ke Jogja tiga tahun lalu.
***
Semua berawal dari kebatalan mendaki Gunung Semeru bulan Desember 2020. Selain kouta pendakian sudah penuh, tampaknya Semeru juga sedang istirahat. Karena tidak bisa ke Semeru, saya putuskan untuk ke Jogja saja. Sudah lama rasanya saya tidak ke kota yang, kata penyair kita, Joko Pinurbo, “…terbuat dari rindu, pulang dan angkringan”.
Saya berangkat bersama Dziky, Alvi, dan adik saya, Jumain. Kami berempat menggendari dua motor. Motor menjadi pilihan—daripada bus atau kereta—karena kami merasa lebih bebas. Maksudnya kendali ada di kami. Kapan mau berhenti; kapan mau lanjut, itu sepenuhnya kehendak kami—karena kami adalah tipe orang yang senang menikmati perjalanan.
Seperti waktu itu, saat kami memasuki daerah Kasiman, Bojonegoro. Kami berhenti di sebuah warung kopi di pinggir jalan dekat persawahan yang baru saja ditanami padi.
Sengaja kami berhenti di warung kopi sederhana itu—yang tempat duduknya sudah reyot—karena kami yakin di situ bakal mendapat banyak hal. Dan benar, selain kami mendapat gorengan bakwan dan tempe mendoan yang enak, kami juga mendapat sambutan yang akrab oleh ibu pemilik warung dan warga lokal yang kebetulan juga nongkrong di sana.
Saat kami datang, ada seorang pemuda yang duduk di luar warung sambil menikmati secangkir kopi. Dia fokus bermain ML (Mobile Legends bukan Making Love). Sedangkan di dalam duduk seorang bapak bersama ibu pemilik warung. Sepertinya mereka suami istri.
Kami memilih duduk di dalam, di dekat bapak yang sendari tadi berbincang akrab dengan ibu warung. Layaknya warung kopi di kampung, kami duduk di kursi kayu panjang, menghadap meja yang di atasnya terdapat banyak santapan: gorengan, kerupuk, kacang, snack, air minum, dan santapan lain yang tak bisa saya sebutkan satu per satu.
“Monggo pinarak, Mas!” ibu pemilik warung menyambut kami ramah. “Bade pesen apa niki?”
Dziky dan Jumain pesan es teh. Sedangkan saya dan Alvi memilih mengambil air minum saja. Kami sejenak melepas lelah sambil menikmati rokok dan bakwan juga tempe goreng.
Bapak yang sendari duduk diam itu akhirnya bersuara. “Dari mana, Mas?”
“Kami dari Tuban, Pak. Mau ke Jawa Tengah, ke Solo,” jawab kami.
Sebelum bapak itu kembali berbicara, datang seorang bapak yang umurnya tampak sedikit lebih tua darinya. Bapak yang baru datang ini bertopi biru.
“Ini mas-mas dari mana?” Tanyanya.
“Teko Tuban, ape nang Solo,” bapak pemilik warung itu menjawab lebih dulu. Kami hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.
“Wah, naik apa ini?”
“Kami naik motor, Pak.”
Kedua bapak itu mengangguk. Ibu warung yang sendari tadi sibuk menggoreng bakwan dan tempe akhirnya ikut nimbrung bersama kami.
“Tanggal 9 kemarin (Desember 2020) Tuban pemilihan bupati ya, Mas?”
“Nggih, Pak. Pilkada serentak,” jawab saya.
“Tuban itu hebat pas zamannya Bupati Haeny, Mas, yang dari Golkar. Jalan-jalan dibikin bagus. Halus.”
Saya tersenyum. Ah, memang benar. Penilaian orang desa terhadap pemimpinnya itu tak muluk-muluk. Baik-buruknya pemimpin itu dinilai dari bangunan fisik. Ada bupati membangun jalan raya berarti dia baik, hebat—walaupun misalnya di sektor yang lain tak ada yang btersentuh sama sekali. Hanya dengan jalan bagus maka seorang bupati sudah mendapat predikat “hebat” dari rakyat. Sesederhana itu, sepolos itu.
Tapi saya membenarkan hal tersebut. Lalu saya bercerita: pada saat Tuban dipimpin Haeny Relawati Rini Widyastuti dua periode (2001-2011), banyak orang desa (akar rumput), termasuk orang desa saya, yang mengelu-elukannya.
“Sekitar tahun 2009-2010, yang jelas saya masih SMP waktu itu, Pak, Bupati Haeny membangun PDAM di desa saya. Orang-orang desa bergembira menyambutnya—dan semakin mencintai sosoknya. Banyak orang mengakui bahwa di zaman Bupati Haeny, infrastruktur Tuban banyak mengalami peningkatan,” saya bercerita sambil sesekali mengisap rokok. Orang-orang di warung tampak antusias.
“Tapi sempet geger itu ya Mas, kalau nggak salah, waktu pemilihan Bu Haeny yang kedua kalinya?” Tanya bapak pemilik warung, memastikan.
Ya, saya masih ingat, pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pilkada) Tuban 2006–2011, saat Haeny Relawati kembali mencalonkan diri menjadi Bupati Tuban dengan menggandeng Lilik Soehardjono dan mampu mengalahkan pasangan Ir. Noor Nahar Hussein-Go Tjong Ping (NoGo) yang diusung oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), politik Tuban membara. PilkadaTuban 2006 berbuntut rusuh. Kantor KPU dan Pendopo Pemkab Tuban dibakar massa pendukung calon bupati yang kalah.
“Sekarang ini anaknya Bu Haeny yang jadi bupati, Pak,” kata Dziky.
Ibu warung dan kedua bapak itu mengangguk seakan sejutu Lindra menjadi Bupati Tuban—walaupun mereka warga Bojonegoro.
Kemudian saya membatin: setidak-tidaknya saya sadar bahwa saat ini kita hidup dalam kenyataan yang telah terdistorsi—rasanya ngeri bila berpikir bahwa banyak orang masih tidak menyadari kepalsuan yang disuguhkan di depan mata mereka, namun tetap menganggap itu semua nyata dan baik-baik saja.
Pada Pilkada Tuban 2020 saya nyaris membuat onar. Waktu itu saya menulis esai pendek tentang serangan fajar (money politic) yang dilakukan oleh salah satu calon bupati. Saya menulis itu setelah salah seorang tim sukses memberikan uang kepada keluarga saya.
Tulisan itu kemudian saya sebar ke grub-grub WA yang terdapat anak-anak muda Tuban. Dan entah bagaimana ceritanya, tulisan pendek itu sampai di tangan tim sukses calon bupati tersebut dan salah seorang anggota Bawaslu Tuban. Maka kejadian selanjutnya sudah dapat ditebak, malam-malam saya mendapat banyak telpon. Dan ironisnya, saya menghapus tulisan tersebut dan saya kembali ke Singaraja
***
Karena tidak ingin berbicara politik, Dziky menanyakan tentang pertanian.
“Kalau di sini tanamannya macam-macam, Mas. Tapi biasanya ya cabai, tomat, padi, jagung itu. Cabai mahal sekarang, Mas,” jelas bapak bertopi biru.
“Di tempat saya cabai pernah sangat murah, Pak. Sekilo cuma seribu lima ratus.”
“Dulu di sini juga begitu, Mas. Sampai terbuang-buang—karena nggak laku. Nasib wong tani, Mas. Ya hanya bisa menerima saja. Mau mengadu juga mengadu ke mana. Jadi ya pasrah sajalah.”
Saya hanya bisa tersenyum getir mendengar itu. Keluarga saya petani. Jadi saya merasakan betul apa yang mereka rasakan.
Sampai di sini saya teringat tulisan budayawan Pati, Anis Sholeh Ba’asyin, di Panji Masyarakat: Rasanya rakyat negeri ini sudah sah menyandang status yatim piatu. Tak lagi punya sosok yang begitu kasih melindungi dan mengembangkan. Yang tersisa, tinggal orang-orang asing. Sebagian kecil mungkin masih mendesiskan rasa kasihan meski tak bisa berbuat apa-apa, namun yang lain sepertinya tidak lagi punya kepedulian tentang apapun yang mereka alami, apalagi yang mereka rasakan. Jadi, agak berlebihan bila mengharap akan ada mata yang tertusuk derita mereka, telinga yang tergetar keluh kesah mereka, hati yang terguncang sumpah serapah dan doa-doa mereka.
Meski banyak yang lantas mencoba bermain peran selayaknya “ayah-ibu” yang bertindak demi dan atas nama “anak-anaknya”; namun, dengan satu dan lain cara, ini semua diam-diam malah makin meyakinkan rakyat bahwa sebenarnya tak pernah ada yang serius memikirkan mereka.
Yang mereka tonton justru para pemimpin, dari nasional sampai lokal, yang sibuk dengan kepentingannya sendiri. Lembaga-lembaga negara dan pemerintahan yang sibuk mengorupsi dirinya sendiri. Tak salah bila pada akhirnya mereka merasa sekadar menjadi slilit yang ketlingsut dikegaduhan retorika dan tumpukan hitung-hitungan.
Entahlah. Walaupun segalanya tampak begitu rumit, mendengar ketabahan rakyat akar rumput ini membuat saya sadar bahwa rakyat Indonesia ini memang selalu memiliki pikiran sederhana. Tabah, pasrah, ngalahan, dan neriman.
Tetapi memang begitu seharusnya. Seperti kata Pakde Prie GS: Jika keadaan telah begitu rumit masuklah dalam hukum kesederhanaan.
***
Hari semakin siang, waktu itu kami harus segera melanjutkan perjalanan. Setelah menyantap banyak gorengan dan mendengarkan obrolan akar rumput, kami membayar dan berpamitan.
“Matur suwun, Bu,” ucap kami. “Monggo, Pak-Bu.”
“Monggo-monggo. Hati-hati, Mas.”
Di atas motor saya teringat kata-kata Johnny Depp di awal: “Saya pikir hal yang harus dilakukan adalah menikmati perjalanan saat kamu sedang melakukannya”. Dan kami sudah menikmatinya, Depp.
Motor kami meluncur menuju Ngawi.[T]