TIBA-TIBA saya merasa “dipaksa” untuk tahu daerah Banyuwangi bagian selatan. Wilayah di tepi Banyuwangi ini tak akan pernah saya tahu jika saja Dziky tak mengajak saya untuk menjelajah ke sana pertengahan tahun 2019 lalu. (Dziky mengetahui wilayah Banyuwangi bagian selatan yang eksotis itu setelah setahun sebelumnya mengunjunginya bersama seseorang—yang namanya tak perlu saya sebutkan. “Ini persoalan hati, Kak,” kata Dziky.)
(Sekadar informasi: waktu itu, saya dan Dziky sama-sama sedang menikmati peran sebagai mahasiswa akhir yang (bingung) sedang mengalami masalah dengan rasa malas untuk menyelesaikan tugas akhir—skripsi.)
Tujuan utama kami ke Pulau Merah. “Pantainya bagus—dan tenang,” kata Dziky, merujuk pada foto-foto di Instagram yang dilihatnya. Begitulah, maka, demikian adanya…, meminjam kalimat Mumu Aloha, demi untuk memenuhi hasrat akan eksistensi layaknya orang-orang yang hidupnya kelihatan begitu bahagia dari pose-pose dan gaya-gayanya di media sosial itu, berangkatlah kami ke Pulau Merah—walau sebenarnya, jauh di lubuk hati kami yang paling dalam, tujuan kami ke sana lebih daripada soal memenuhi hasrat eksistensi. Catat itu!
Dan ya, konon Pulau Merah memang tempat paling eksotis di Banyuwangi bagian selatan: pantai dengan pasir putih—yang agak kecoklatan—terhampar luas sepanjang 3 kilometer; debur ombak khas pantai selatan (Pulau Merah memiliki ombak—yang sangat bagus—setinggi 2 meter); bukit kecil cantik setinggi 200 meter; dan di bagian timur, pegunungan berbaris eksotis, sedangkan di bagian barat, katanya senja selalu tampak bagus.
Tak perlu pikir panjang, tak ada salahnya menerima ajakan itu, pikir saya. Segera saya kumpulkan informasi seputar Pulau Merah termasuk rute mencapainya, juga bertanya kanan-kiri, siapa anggota Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Banyuwangi yang tinggal atau sedang liburan di sekitarnya.
***
Kami berangkat dari Singaraja pukul setengah sebelas siang dengan motor Jupiter Z yang sudah lapuk—motor Jupiter generasi 3 keluaran tahun 2006—tapi masih bagus performa mesin dan handling yang mudah dikendarai.
Dengan mengendarai motor berkubikasi 110 CC itu, kami melaju dengan kecepatan yang, ah… tidak usah saya tuliskan. Meski begitu saya bangga dengan motor yang bentuknya sudah berantakan ini. Walapun secara fisik tampak tidak meyakinkan untuk menempuh perjalanan jauh, nyatanya performanya tetap bisa diandalkan, mesinnya masih halus, irit, dan masih memiliki power yang panjang di trek lurus (yang terakhir ini memang agak saya lebih-lebihkan, memang).
Setelah berjalan selama kurang lebih 1 jam 52 menit (kira-kira 88 km), dan melewati Taman Nasional Bali Barat, kami tiba di Pelabuhan Gilimanuk, Jembrana. Tanpa berpikir lama, kami langsung membeli tiket kapal penyeberangan Gilimanuk-Ketapang.
Saat di dalam kapal, saya kontak Andika, anggota Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Banyuwangi yang kebetulan putra asli kelahiran Banyuwangi. Setelah membaca lagi beberapa halaman novel “Bumi Manusia”-nya Pram, saya membaca pesan dari Andika. Menurut dia, kami disarankan untuk sekalian mendirikan tenda saja di Pulau Merah, mengingat, hari sudah sore. Saran yang bagus, pikir kami.
Berpose di dalam kapal dan pemandangan Pelabuhan Ketapang / Foto: Dok. Jaswanto 2019
Akhirnya kapal bersandar di Pelabuhan Ketapang, setelah lebih dari satu jam dikoyak ombak Selat Bali yang waktu itu lumayan bikin hati deg-deg ser. Memang, tahun itu, BMKG Banyuwangi telah memberikan peringatan dini adanya cuaca buruk di Selat Bali. Gelombang tinggi berpotensi terjadi hingga waktu yang lama karena adanya peralihan musim dari penghujan ke kemarau. Tinggi gelombang di Selat Bali waktu itu bisa saja mengalami peningkatan utamanya—saat malam hari—hingga mencapai 2 meter. Mengerikan!
Setelah keluar dari kecemasan kapal, kami melanjutkan perjalanan menuju Pulau Merah—surga di selatan Banyuwangi.
***
Untuk sampai di Pulau Merah, dari Kota Banyuwangi, menurut informasi dari Andika, kami harus menempuh jarak sekitar 66 km dengan perjalanan 2-3 jam—dan setidaknya melewati empat kecamatan: Rogojampi, Srono, Purworejo, dan Pesanggaran. Kami sempat mengkhawatirkan kondisi si Jupe—yang usianya tak lagi muda. Tetapi mendengar suara mesinnya, kami kembali optimis, bahwa motor busuk ini bisa diandalkan.
Dan benar, Jupe memperlihatkan kualitasnya. Dia berjalan santai di antara motor-motor keluaran terbaru—yang kebanyakan tak bergigi. Warna birunya yang sudah pudar, dek depan sebelah kirinya yang sudah terlepas, dan headlamp-nya—yang berbentuk menyerupai mata burung hantu itu—manggut-manggut, juga suara rem belakangnya yang berbunyi ketika diinjak, menandakan kepercayaan diri yang sangat tinggi. Ya Tuhan, sungguh, sekali lagi, kami bangga dengannya.
Atas performa Jupe yang melebihi bayangan kami, tak terasa kami sudah sampai di daerah Rogojampi—kecamatan asal legenda Watukebo itu.
Saya menyarakan Dziky untuk berhenti sejenak sekaligus membeli barang-barang yang diperlukan selama kemah nanti. Kami berhenti di sebuah Indomaret, membeli beberapa bungkus mie instan dan air minum. Namun sayang, kami tidak mendapatkan gas portable. Kami melanjutkan perjalanan dan berhenti lagi di Pasar Tradisional Rogojampi.
Berbelanja di Pasar Tradisional Rogojampi / Foto: Dok. Jaswanto 2019
Saya selalu menyukai pasar tradisional, ucap alm. Cak Rusdi. Sebuah tempat yang aromanya sangat khas: bau bawang, lada, kol, cabai, amis ikan, daging, dan sebagainya; yang bercampur dengan aroma peluh manusia dan wangi buah. Tempat di mana pedagang dan pembeli masih bisa melakukan tawar-menawar. Berdialog dan bertatap muka secara jujur. Saya menyukai tempat dan suasana semacam itu. Sungguh-sungguh menikmatinya.
Kami membeli tambahan bahan-bahan untuk memasak; membeli seikat sawi, kol, dan seons cabai. Tak lupa juga membeli gas portable—yang belum terbeli sebelumnya.
Agaknya, kami berdua menjadi pusat perhatian di pasar itu. Mungkin penampilan kami yang sudah mirip traveller betulan. Saya memakai flanel biru kotak-kotak—yang kancingnya sudah lepas satu di bagian atas—dengan kaos dalam berwarna kelabu, celana pendek selutut, sendal gunung, ikat kepala, dan tas gunung ukuran 45 liter yang menempel di punggung saya. Tas ini berisi pakaian ganti, buku, peralatan masak, dan bahan-bahan makanan.
Penampilan Dziky lebih kacau daripada saya. Ia memakai surjan lurik Sunan Kalijaga, dengan celana bahan berwarna hitam, dan di punggungnya tas gunung ukuruan 55 liter yang berisi tenda, sleeping bag, baju ganti, dan air. Alih-alih tampak seperti traveller, penampilannya justru malah lebih mirip abdi dalem keraton. “Kurang blangkon saja, Dzik,” kata saya. Ah, Dziky.
Bahan-bahan makanan sudah lengkap, kami melanjutkan perjalanan dan merencanakan berhenti di SPBU terdekat untuk mengisi bahan bakar dan juga menumpang mandi atau sekadar cuci muka.
***
Sekira pukul setengah enam sore, setelah melewati jalan seribu lubang di sepanjang Desa Sumberagung, Kecamatan Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, kami tiba di Pulau Merah. Ya, tahun itu jalan utama menuju Pulau Merah memang rusak total, aspalnya mengelupas, nyaris hilang, dan warga menuding, jalan yang rusak parah itu akibat sering dilewati kendaraan berat milik PT Bumi Suksesindo (BSI), perusahaan yang kini melakukan penambangan emas di Gunung Tumpang Pitu, Desa Sumberagung.
Kami hendak membayar tiket. Duapuluh dua ribu, kata penjaga loket. Tetapi setelah saya mengeluarkan uang, katanya tidak usah membayar. Saya dan Dziky saling tatap, heran. Tetapi diam-diam merasa senang. Itu artinya kami bisa menghemat biaya. Setelah beberapa saat kemudian, kami baru tahu alasan kenapa kami tidak usah membayar tiket. Ternyata kami datang pada jam free—alias gratis masuk tanpa tiket.
Kami memarkir Jupe kemudian berjalan… dan benar, saya kagum setelah melihat keindahan Pulau Merah.
Pasir putih yang terhampar sepanjang tiga kilometer; bukit kecil di tepi pantai yang memiliki tanah berwarna merah dan ditutupi vegetasi hijau sehingga tidak terlalu tampak warna aslinya (bukit ini hanya bisa diakses pada saat air sedang surut); ombak yang terbilang cukup tinggi; dan di sebelah timur, karang-karang besar mencuat, tajam, dan angkuh; atau itu, jajaran bukit dengan bayangan pohon-pohon menghitam bagaikan raksasa yang kedinginan di balik kabut, benar-benar nyata. Ah, mungkin ini secuil surga yang jatuh ke bumi.
Menyusuri Pantai Pulau Merah / Foto: Dok. Jaswanto 2019
Pada saat kami datang, wisatawan—lokal maupun asing—sudah tidak terlalu banyak. Saya memperhatikan sepasang bocah berlarian di atas pasir, membiarkan kaki-kaki telanjang mereka yang mungil diguyur ombak, lalu mereka berusaha menghindar sambil tertawa-tawa, sebelum orangtua mereka memangil untuk pulang. Tentu saja, tetap ada turis asing yang datang, namun bukan untuk berjemur atau mandi, melainkan sekadar berjalan-jalan, atau lari sore, atau menikmati pemandangan sambil berfoto.
Dan perempuan itu—ya Tuhan, cantik sekali—ia seperti punya dunia sendiri, tak terganggu atau sedikit pun mempedulikan keramaian di sekitarnya. Wajahnya setenang angin senja, tampak kelabu oleh pantulan cahaya matahari. Sementara, udara, tanah, dan segala yang ada di sekitarnya meredup dalam sapuan jingga yang berkilau. Di kejauhan, orang-orang yang masih bermain bola atau hanya berdiri saja di garis pantai, perlahan berubah menjadi siluet. Kesan kedamaian kian terasa.
Pulau Merah tampak sepi / Foto: Dok. Jaswanto 2019
Kami berjalan ke barat, menyusuri pantai, mencari tempat yang tepat untuk mendirikan tenda.
Sepanjang perjalanan menyusuri pantai Pulau Merah, saya agak terganggu dengan sampah-sampah plastik yang berserakan—dan banyak. Seketika itu, saya teringat sebuah film dokumenter yang pernah saya tonton. Albatross (2017), film dokumenter karya fotografer Amerika Serikat, Chris Jordan, yang menceritakan albatros atau elang laut yang sekarat di Pulau Midway di Samudera Pasifik akibat polusi (sampah) plastik.
Jordan pertama kali datang ke Midway pada 2009 untuk memotret elang laut di kepulauan itu. Ia terganggu oleh data yang menyebut ada 10.000 elang laut yang mati di pulau kecil itu akibat makan plastik. Jordan kembali ke sana pada 2017 lalu dan mendokumentasikannya dengan video. Tampaknya, film ini menjadi titik balik bagi saya untuk lebih mencintai alam.
Di Indonesia sendiri, sampah plastik memang menjadi momok pencemaran lingkungan. Indonesia menjadi negara yang memproduksi sampah plastik nomor dua terbesar di dunia setelah Tiongkok, dengan angka 64 juta ton per tahun. Menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya, sebanyak 37 persen sampah plastik ditemukan di pantai dan laut.
Sedangkan, mengutip data Badan Pusat Statistik, indeks ketidakpedulian orang Indonesia terhadap sampah sebesar 0,72. Artinya, tingkat kepedulian orang Indonesia terhadap sampah masih rendah.
Jika Indonesia memproduksi 65 juta ton sampah per tahun, dan penduduk Indonesia 261 juta, maka tiap orang memproduksi 0,7 kilogram sampah per hari. Tentu saja, angka ini membuat orang Indonesia menjadi juara nomor dua sebagai penghuni bumi yang memproduksi sampah terbanyak setelah orang Tiongkok.
Celakanya, tiap orang cernderung tak peduli dengan sampah yang mereka hasilkan. Alih-alih mengolah atau mendaur ulang, tiap rumah tangga menimbunnya, membuangnya secara sembarangan atau membakar sampah yang membahayakan udara dan sistem pernapasan manusia. Menurut survei BPS, hanya 18,6 persen rumah tangga yang peduli dengan sampah plastik yang mereka hasilkan—dengan cara daur ulang atau tak membuangnya karena dimanfaatkan untuk keperluan lain. Padahal, rumah tangga menyumbang sampah plastik cukup besar ke dalam jumlah sampah Indonesia secara keseluruhan.
Dan di pulau yang indah ini pun tak luput dari serangan sampah plastik. Jika ini tidak cepat ditanggulangi, surga yang pada tahun 2013 dipakai untuk lomba selancar Banyuwangi International Surf Competition 2013 yang diikuti oleh 15 negara ini, keindahannya hanya akan tinggal cerita saja. Semoga sampah-sampah itu sekarang sudah ditangani.
Saya berhenti melamun ketika Dziky memanggil dan menunjuk sebuah tempat yang cocok untuk mendirikan tenda.
***
Embusan angin senja menerpa wajah kusam kami. Hari merayap dan senja mendaulat. Burung-burung melayang dari laut kembali ke daratan. Wisatawan semakin sepi. Payung-payung untuk berjemur para turis telah dibongkar. Satu-persatu warung-warung tutup. Kami mendirikan tenda.
Tenda berdiri. Untuk beberapa saat kami terdiam dengan pikiran masing-masing. Di barat, senja sedang bagus-bagusnya—apa jangan-jangan Sukab mencuri senja untuk Alina di sini? Cahaya jingga menyepuh bukit-bukit di bawahnya. Romantis dan cantik. Sedangkan bayang-bayang benda terpaku di pasir, dan jiwa kami tenggelam di dasar antah-brantah.
Memasak di Pulau Merah / Foto: Dok. Jaswanto 2019
Gelap mulai datang, mendaulat langit Pulau Merah. Debur ombak kian bergemuruh. Malam tampaknya sudah benar-benar datang, ia merangkul bukit-bukit hijau dan membuatnya hitam misterius sekarang. Kerlap-kerlip lampu perahu nelayan di tengah laut hanya terlihat seperti cahaya kunang-kunang yang terperangkap dalam toples. Dziky mengumpulkan kayu bakar untuk api unggun. Sedangkan saya mulai memasak mie instan.
Di Pulau Merah, sebenarnya saya bisa berjalan jauh sampai ke ujung, sampai bukit penghabisan. Atau, menari dan bernyanyi seperti orang gila. Tapi saya lebih memilih duduk-duduk saja di pasir sampai hari gelap, mendengar debur ombak, menatap tanpa bosan gulungan-gulungan yang menjauh dan mendekat, sambil merasakan degup jantung sendiri. Saya bisa saja di sini sampai mati, melupakan kata pulang, membuang rumah dari ingatan.
Duduk di atas karang dan termenung / Foto: Dok. Jaswanto 2019
Ya, kau bisa melakukan apapun yang kau mau di pantai. “Tempat paling gemuruh sekaligus paling sunyi di muka bumi,” kata Mumu.
Dan kami makan malam dengan perasaan yang belum ternamakan sebelumnya. No cellular signal. No wireless fidelity. Tenang. Benar-benar surga di selatan Banyuwangi.
Dengan perut kenyang saya memutar lagunya Eddie Vedder yang berjudul Society—ost film Into the Wild.
Oh, it’s a mystery to me
We have a greed with which we have agreed
And you think you have to want more than you need
Until you have it all you won’t be free
Ah, saya tidak bisa mengatakan perasaan yang saya rasakan kala itu; saya diam mematung, terpejam. Eddie Vedder masih terus memperdengarkan suara khasnya—berat dan menggeram—dan menghujam dalam ke hati saya.
Api unggun di Pulau Merah / Foto: Dok. Jaswanto 2019
Society, you’re a crazy breed
Hope you’re not lonely without me
Society, crazy indeed
Hope you’re not lonely without me
Society, have mercy on me
Hope you’re not angry if I disagree
Api unggun dinyalakan, bintang bertebaran, ombak terdengar semakin bergemuruh, kami terlelap, dengan jiwa yang damai.[T]