PARA WANARA—pasukan kera—itu mulai bergerak, menyebar ke seluruh penjuru setelah mendapat perintah raja kera yang tinggal di Gunung Suwela—raja kera itu bernama Sugriwa—untuk mencari Dewi Shita yang diculik oleh Rahwana, raja Alengka. Ya, pencarian itu memang atas dasar permintaan tolong Rama dan Laksmana.
Hanoman, wanara putih yang perkasa dan sakti mandra guna itu, ditugaskan berangkat menuju arah selatan dari gunung Suwela dengan beberapa pasukan kera yang pemberani pula. Tapi, anehnya, tak ada satu pun dari mereka yang mengetahui di mana letak negeri Alengka itu.
Namun, saat mereka istirahat, mereka melihat sebuah goa dan memasukinya untuk berteduh. Dan di dalam goa, betapa kagetnya para wanara itu saat melihat bangunan megah berwarna putih. Saat kekagetan mereka belum benar-benar sirna, tiba-tiba terdengar suara dari kejauhan. Perlahan, sosok seorang gadis bernama Swayamprabha, mata-mata Rahwana, mendekat dan menyapa para wanara dengan ramah.
Dengan tipu muslihatnya, para wanara disuruh untuk menutup matanya sejenak—agar cepat sampai di Alengka, katanya. Hal itupun segera dilakukan Hanoman dan pasukan. Tapi kejadian aneh terjadi, semua wanara tidak bisa membuka mata.
Hanoman menyadari bahwa itu adalah bencana, maka dengan penuh penyesalan dan merasa diri tidak layak menjadi utusan, ia ingin mengakhiri hidupnya. Hal itu diketahui oleh seekor burung besar kakak Sang Jatayu yang bernama Sang Sampati.
Dalang Ida Bagus Putu Tilem Singarsa saat pentas / Foto: Ist
Hanoman dan wanara diberi pertolongan serta petunjuk menuju arah Alengka. Atas pertolongan tersebut, Hanoman mengambil inisiatif untuk berangkat sendiri menyeberangi samudra menuju Alengka, sedangkan pasukannya diperintahkan untuk menunggu di Gunung Windya.
Dengan kesaktiannya, Hanoman berhasil sampai di markas Rahwana, maka segera ia menyelinap untuk mencari keberadaan Dewi Shita. Ia mendengar suara tangis wanita di sebuah taman, dari balik pohon Parijata, Hanoman melihat Rahwana sedang merayu Dewi Shita.
Ketika Rahwana pergi, kesempatan itu tak disia-siakan Hanoman, ia segera menemui sang Dewi. Setelah Dewi Shita tahu bahwa utusan Rama telah datang, semangat hidupnya kembali berkobar.
Hanoman mengamuk, menghancurkan Taman Alengka Pura, suasana menjadi kacau balau, raksasa penjaga datang untuk berperang menghadapi Hanoman yang sedang mengobrak-abrik pepohonan dan bangunan.
Para raksasa, termasuk Aksa anak Sang Rahwana, dengan mudah dikalahkan oleh kera putih sakti itu. Anak Rahwana itu gugur dalam pertempuran. Tapi, Meganada, anak Rahwana yang lain, segera datang dengan senjata Nagapasa dan berperang menghadapi Hanoman. Dalam perang tersebut, Hanoman terkena panah Meganada sehingga Hanoman jatuh dan dibelit oleh naga dari ajian Nagapasa tersebut.
Hanoman disiksa dan diseret oleh para raksasa dan dibawa ke hadapan Rahwana. Namun ekor Hanoman disulut dengan api, semakin lama api itu semakin berkobar, dan Hanoman bangkit dan melompat dari bangunan satu ke bangunan yang lain. Atas ulah Hanoman, kerajaan Alengka bagaikan gunung yang terbakar hangus. Setelah itu, Hanoman mohon diri kepada Dewi Shita untuk kembali bertemu dengan Sang Rama Dewa.
Kisah di atas, dalam dunia pewayangan Bali, dikenal dengan judul “Alengka Brastha”. Dan pada Sabtu malam, 1 Juli 2023, dalam Utsawa (Parade) Wayang Kulit Ramayana serangkaian Pesta Kesenian Bali (PKB) XLV Tahun 2023 di Kalangan Ayodya, Taman Budaya Bali (Art Center), Ida Bagus Putu Tilem Singarsa, dalang Duta Kabupaten Badung dari Sanggar Seni Dewa Ruci, Banjar Lambing, Desa Sibang Kaja, Kecamatan Abiansemal, membawakan kisah tersebut dengan sangat menakjubkan.
Ida Bagus Putu Tilem Singarsa, tak hanya membawakan kisah tersebut dengan spektakuler, tapi juga masih sempat menyisipkan pesan cinta seni budaya kepada generasi muda Bali sebelum, suatu saat, diklaim oleh pihak lain.
Persiapan pementasan
Dalang Ida Bagus Putu Tilem Singarsa mengungkapkan, untuk penampilan Wayang Ramayana di PKB ini dirinya mengawali dengan persiapan tabuh pengiring yang dibentuknya sejak awal tahun. Mengingat, para penabuh yang akan mengiringinya saat ngewayang kebanyakan adalah pemula, sehingga perlu disiapkan jauh-jauh hari.
“Yang saya libatkan ini penabuh pemula. Mereka punya basic bermain gender. Tapi tentunya bermain gender untuk mengiringi wayang berbeda dengan bermain gender biasa. Penabuh harus fokus dengan dalangnya, sehingga sejak awal tahun saya mantapkan penabuh pengiringnya,” ujarnya.
Sementara untuk persiapan mendalang dengan lakon “Alengka Brastha” diakui kurang lebih selama sebulan. Meski persiapan terbilang singkat, namun penampilan yang ditunjukkan sangat maksimal. IB Tilem Singarsa sendiri sudah belajar mendalang sejak usia belia. Bahkan tahun 2015 silam juga pernah mendalang serupa dengan yang dilakukan pada PKB tahun ini.
Dalang Ida Bagus Putu Tilem Singarsa saat menerima penghargaan seusai pentas / Foto: Ist
“Kalau saya dalang persiapannya tidak sampai satu bulan untuk fokus ke ceritanya niki. Lebih ke pemantapan. Kalau ngewayang saya sudah pernah mewakili di PKB pada tahun 2015 juga Wayang Ramayana. Kalau keseharian, saya biasa ngayah ngedalang wayang lemah untuk upacara dan sesolahan Sidakarya,” terangnya.
Terkait pengembangan seni wayang, kata IB Tilem, secara umum dalang punya hak untuk mengembangkan cerita, walau babonnya tetap Kekawin Ramayana. Dalang harus bisa mengemas kisah yang sudah pakem agar pertunjukan lebih menarik tanpa mengurangi makna dan inti cerita. Dalang pun bisa mengimprovisasi pertunjukan dengan menyisipkan pesan-pesan moral.
“Dalam pertunjukan ini ada pesan juga yang diselipkan untuk generasi muda Bali, terutama jangan sampai meninggalkan tradisi seni budaya Bali. Biar nantinya ketika sudah ada orang lain yang mengklaim, di sana baru kita ribut-ribut, tidak ada gunanya. Jadi, kalau bisa ya dari sekarang lah cintai budaya lokal. Jangan tergiur budaya luar sampai meninggalkan budaya kita sendiri,” pungkasnya.[T][Jas/*]