“Angga, ibu telah mengirim uang untuk bulan ini. Bagaimana kabarmu? Jaga diri baik-baik di Denpasar. Belajar yang rajin, jangan nakal,” ujar ibu angkat saya dengan suara lembut dan tenang, melalui telepon lama di ashram tempat saya tinggal dan menetap selama empat tahun.
“Isi uang: Rp.30.000.-
Only to you.
Nanda Angga Wijaya
Denpasar.” – Bapak menitipkan uang pada saya, melalui kakak atau keluarga yang saat itu kembali ke Denpasar, dari Negara, Jembrana.
Anak muda itu tertegun. Dia merindukan sesekali kata berbeda; “kapan pulang?” Ia ingin sesekali pulang, di kota ramai, juga sibuk–tugas kuliah banyak, sementara ia belum punya komputer sendiri, di ashram ada kawan yang punya, namun ia malu meminjam, tak enakan, harga dirinya tak cukup untuk berani menyapa kawan satu rumah, padahal mereka biasa saja dan sangat mengizinkan jika komputer itu dipakai bersama-sama.
Pemuda idealis itu lebih suka menyendiri di kamar, bersama buku-buku, terbang di awang-awang, kurang sering bergaul–ia lebih mirip seniman dan pertapa. Kuliahnya belum selesai, sering mengulang mata kuliah karena buruk, suka mengkritik para dosen hingga mereka menganggapnya angkuh, arogan, penuh ego, merasa hebat telah banyak membaca buku-buku lalu banyak menyalahkan orang-orang di sekitarnya…
“Kini saya sadari, kedua orang tua angkat yang saya anggap mereka malaikat, saya kerap merindukannya, ibu dan bapak, ah, mereka orang tua Bali yang meskipun telah memiliki lima anak, masih mau juga pada usia yang hampir senja mengasuh bayi prematur dengan perawatan ekstra, setelah lahir dari ibu kandung oleh karena kondisi mental dan keadaan kurang baik meskipun ia wanita pengusaha–punya banyak anak dari laki-laki Bali yang agak bohemian–penyuka puisi dan musik, agak gagal menuruti mimpi menjadi seniman karena kakek ingin ia dan keluarga besar menghidupi diri dari bisnis keluarga sejak lama–menjual hasil bumi ke luar kota dan pulau. Keluarga kaya-raya dan terpandang.
Dari itu semua, malaikat saya ingin saya bisa mengubah jalan hidup lewat sekolah. Mereka berani bertaruh ekonomi karena saya dianggap mampu dan cerdas. Lama sekali saya sering menjadi juara kelas juga lomba-lomba sekolah—menjadi pemimpin kelas, dekat dan disayangi kepala sekolah juga guru-guru, menjadi “juru kunci” dalam dua pengertian–karena belum ada penjaga sekolah, setiap pagi saya membuka pintu sekolah, datang lebih awal, penuhi tugas, lalu pulang ke rumah yang berdekatan dengan sekolah, mandi, berdandan, lalu kembali ke sekolah dengan senang hati, menyapa kawan-kawan dengan senyum manis–mereka sangat menyukai saya.
Siang hari, saat murid-murid pulang, saya masih berada di sekolah, memastikan juga semua kawan sudah pulang–tak ada yang tertinggal–tas, pensil, penggaris, rautan alat tulis, juga buku atau sobekan kertas.
Semua bagi saya sekarang, pada usia yang jauh berlalu–menjelang empat puluh tahun, menjadi penulis dan wartawan juga guru jurnalistik yang mulai “terkenal”, itu semua adalah “meditasi” yang lama dan tidak singkat. Kita semua akan bagus jika menganggap apa yang pernah kita jalani adalah sebuah latihan, termasuk juga ujian seperti ujian sekolah–jika Anda lulus dengan nilai baik, Anda bisa melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi, mendapat hadiah dari orang tua tersayang, kertas penghargaan dari sekolah, juga salam perpisahan yang mengharu-biru, ketika misalnya saat berada di sekolah baru kita tidak bertemu lagi dengan kawan atau guru yang melanjutkan tugas, cita-cita mereka sebagai pembelajar dan pendidik.
Soal tidak pulang, baru saya sadari: dulu, di negeri ini, menjadi hal yang biasa jika mereka mengirim anaknya bersekolah di luar daerah–desa atau kota lain, agar ia belajar sesuatu yang baru, menghirup udara kota lain dengan tata cara hidup dan kehidupan yang berlainan dengan tempat asal. Merantau–budaya Nusantara yang hebat, cerdas, juga penting sekali kini dilakukan lagi untuk anak-anak kita.
Bukan untuk menjadi seperti cerita lama dari pulau terkenal: Malin Kundang. Dia sangat tidak tahu diri–setelah berhasil dari orang tua yang mengirimnya merantau di wilayah lain, doa dan keringat sia-sia, ia lupa diri setelah mempersunting gadis idaman, menikah, punya anak–lalu….menjadi sombong karena kaya.
Suatu hari, ibunya merasa gelisah, anaknya lama tidak mengirim kabar, beliau takut jika ada kejadian buruk menimpa buah hatinya. Maka, dengan pakaian sederhana dan bekal seadanya, ibu itu berangkat ke kota, mencari alamat anaknya, di saat ketika mereka bertemu:
“Malin…anakku, kemana saja kamu? ibu mencarimu ke mana-mana. Kamu apa dan bagaimana sekarang?”
Malin terdiam. Saat itu dia telah menjadi orang sukses, punya pekerjaan bagus, banyak orang yang ia ajak bekerja–di mata mereka, Malin adalah orang dermawan.
“Siapa Ibu tua ini? Aku tidak mengenalnya!suruh dia pergi dari hadapanku!” Malin berkata dengan suara keras di hadapan banyak orang yang menyaksikan itu.
“Malin…aku ibumu. Mengapa kamu berkata itu….? Ibu Malin mulai terisak. Tangisnya membasahi siang yang makin terasa terik. Sementara karena jauh menempuh jarak, ia belum sempat makan. Tenggorokannya dari tadi kering. Ia haus.
“Aku tidak punya ibu seperti kamu! Kamu itu tua, kotor, kumal, jelek. Pergi kamu dari sini, pergi sekarang!….”
Langit menyaksikan itu semua. Hati ibu begitu hancur, ketika anak yang pernah ia besarkan, juga lahir dari rahimnya, kini tidak mengakuinya sebagai ibu. Dia diam, bangkit dari tanah tempat ia bersimpuh dan menangis. Air matanya tumpah ke pipi yang renta. Ia hapus dengan rasa tegar.
Tiba-tiba bumi bergetar. Suara terdengar begitu menggelegar. Banyak orang panik, takut terjadi bencana. Mereka lari ke sana ke sini.
“MALIN KUNDANG TIBA-TIBA TERIAK, TUBUHNYA TERASA KAKU. DIA TAKUT SEKALI. AIR MATA KETAKUTAN KELUAR DARI MATANYA. DARI KAKI TUBUHNYA MENGERAS, KE ATAS, HINGGA SAMPAI AKHIRNYA SEMUA BAGIAN DIRINYA MENJADI BATU. IA RUBUH. TELUNGKUP DI TANAH SEPERTI MINTA AMPUN. NAMUN SEMUANYA BEGITU AMAT TERLAMBAT.”
Suara kembali terdengar. Kini mirip lagu yang amat merdu…halus, lembut:
“Malin Kundang anak durhaka…”
“Malin Kundang menjadi batu…”
Lagu itu kini masih terus terdengar. Dari para orang tua yang terus bertutur, agar anak tidak menjadi lupa diri, terlebih lagi ketika saat mengenal pasangan, menikah, bekerja, menjadi berhasil, kemudian lupa jasa dan budi-baik orang tua. Menjadi orang jahat dan durjana. Melupakan jasa, budi-baik, pengorbanan, cinta-kasih dari orang tua yang membesarkan anaknya dengan penuh harapan.
[Terima Kasih, Bapak. Suaramu kala malam hingga aku tertidur, lembut sekali terasa. Ceritamu membuat aku kini sama denganmu–guru, penulis, dan mungkin juga akan menjadi pendongeng hebat sepertimu. Matur Suksma. [T]
Denpasar, 27 Juni 2023, 10:15 WITA
- BACA artikel lain dari penulis ANGGA WIJAYA