SEBAGAI seorang junior, seperti kader HMI Cabang Singaraja pada umumnya, tentu saya juga menaruh hormat kepada Kanda Suwardi Rasyid—atau yang lebih akrab dipanggil Bang Onang, juga Pak Rasyid jika di sekolah.
Bukan saja karena ia jauh lebih tua daripada saya, tapi juga kedalaman ilmunya itu yang membuat saya sulit—dan saya tak menemukan satu alasan pun—untuk tidak menghormatinya, meski secara fisik, tentu saya tak kalah ganteng dan gagah darinya. (Soal ia ganteng dan gagah memang masih bisa diperdebatkan.)
Saya mengenal Bang Onang sejak memutuskan mengikuti Latihan Kader I (LK I) HMI Cabang Singaraja, enam tahun lalu. Sejak saat itu pula, bersama seorang senior, saya sering mengunjungi rumahnya yang tidak serius di Pemuteran, di bawah tebing Pulaki yang gagah dan angkuh itu.
Benar, bangunan itu terlalu kecil untuk disebut rumah dan terlalu besar—dan kokoh—untuk disebut tenda. Maka demi urusan menggampangkan penafsiran dan imajinasi, kita sepakati saja untuk menyebutnya: gubuk.
Ya, sebelum Bang Onang pindah ke rumah baru dan keren seperti sekarang ini, bertahun-tahun ia pernah tinggal di rumah—oh, maaf, maksud saya, gubuk—di samping SDN 5 Pemuteran bersama seorang istri dan dua anaknya.
Untuk orang yang penuh dengan pengabdian kepada dunia pendidikan, menurut saya, itu adalah sebuah penghinaan. Bang Onang, bersama karibnya, Pak Haji Lewa tentu saja, bisa dibilang termasuk orang yang berjasa terhadap dunia pendidikan Islam di Buleleng.
Saya tidak sedang omong kosong, sebab sejarah telah mencatatnya. Mana buktinya? Saya pikir tak perlu saya sampaikan, toh, Bang Onang rasanya juga tak keberatan.
***
Sebenarnya, bukan saja karena kecerdasaannya yang membuat saya kagum, tapi juga karena kesederhanaan laku hidupnya. Orang Barat menyebutnya low profile; orang Jawa menyebutnya sumeleh; orang Lombok, tempat kelahirannya, menyebutnya—maaf, saya tidak tahu sebab saya belum belajar bahasa Lombok sampai sejauh itu. Yang jelas, menurut saya, laku hidup sederhana itulah yang membuat wibawanya menjadi khas, otentik, dan original.
Hal ini tentu berbeda dengan kebanyakan manusia saat ini.
Pada saat ini, hidup manusia rata-rata seperti didominasi oleh segala sesuatu yang bersifat serba tahayul, maya, palsu, serba fatamorgana, khayalan, plastis, semu, dangkal, dan virtual. Kemudian dari fatamorgana itu manusia mencoba mengenali dan tidak sedikit yang malah menceburkan diri sekalian ke dalamnya.
Sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, manusia di zaman ini tidak pernah lepas dari kemajuan teknologi. Teknologi hadir untuk mempermudah dan membantu pekerjaan manusia—agar lebih efektif dan efisien, katanya.
Hingga suatu titik, masyarakat mulai terlena atasnya. Mereka lebih memilih sesuatu yang instan, cepat, dan praktis. Dengan keadaan tersebut, sifat konsumerisme manusia mulai muncul dan menyebabkan sikap individualisme.
Rasa sosial mereka pudar dan akhirnya hilang. Manusia seakan-akan seperti diperalat teknologi dan kehilangan jati dirinya, eksistensinya. Kebergantungan pada teknologi memberikan dampak buruk bagi peradaban manusia.
Manusia merasa bahwa dengan teknologi semua bisa teratasi. Dengan mudahnya mereka bisa membalikkan keadaan, mengatur suasana, bahkan berlomba-lomba menjadi yang terbaik, berusaha membangun citra di mata orang lain.
Padahal, esensinya, tanpa kita sadari, kita telah kehilangan kemampuan alamiah kita untuk bertahan hidup, survival insting. Semakin ke sini, banyak orang kehilangan fungsi kaki, tangan, dan bahkan fungsi pikiran—pada kenyataannya lebih banyak orang menyandarkan semuanya pada teknologi.
Zaman teknologi mampu membikin mental kita dalam keadaan yang terombang-ambing. Menjadi takut untuk hidup, tidak siap dengan semua gejala, tidak waspada, tidak awas, tidak tanggap, tidak visioner, dan jauh dari kedalaman!
Di mana-mana tidak ada lagi tempat bagi kedalaman; tidak ada lagi ruang untuk berpikir serius; tidak ada lagi orang-orang yang menghamba pada kesejatian. Sedangkan mereka yang mencoba menarik diri dari kekisruhan ini, akan terbuang, dianggap aneh, tersingkirkan dan sunyi.
Lantas, adakah jalan keluar?
Bang Onang, dalam sebuah obrolan dini hari menjawab: dalam sejarah kita diberitahu bahwa tidak ada kusut yang tidak bisa diselesaikan. Tidak ada sengketa yang tidak mungkin didamaikan. Jalan pasti ada.
Sayangnya, jalan keluar untuk menghadapi zaman ini tak semudah yang dibayangkan. Dalam hal ini, kita harus belajar berfilsafat—untuk dapat mempertanyakan kembali eksistensi manusia.
Sedangkan, di tengah kehidupan yang serba cepat, penuh propaganda, apatis, dan pragmatis ini, rasanya belajar filsafat memang terkesan menambah beban hidup saja.
Ketika dunia digerakkan oleh hiruk-pikuk pemburu kenikmatan, karier, popularitas, dan kekayaan—yang dalam bahasanya Sugi Lanus, itu semua hanya berkaitan dengan social self—filsafat, seperti kata Bambang Sugiharto dalam pengantar Dunia Sophie, memang tampak seperti verbalisme kosong, bagai daftar menu yang menawan tanpa ada makanannya.
Ketika ilmu pengetahuan empirik dan teknologi menghasilkan demikian banyak hal konkret di dunia ini dan telah mengubah kehidupan manusia secara mendasar, filsafat terasa bagai bualan yang menyembunyikan kekosongannya dalam rimba istilah abstrak yang dirumit-rumitkan.
Tetapi, bukankan proses abstraksi itu diperlukan untuk menerangi pengalaman dan melihat akar-akar dasar yang tersembunyi di balik segala persoalan konkret?
Belajar filsafat, sekali lagi, seperti kata Sugiharto, bisa membantu melihat hal-hal yang lebih pokok; juga memungkinkan kita berpikir lebih arif dalam menyelesaikan perkara-perkara baru yang mungkin tak bisa langsung dirujuk ke kitab suci; bahkan akhirnya mungkin juga membantu menyingkap ilusi-ilusi yang tersembunyi di balik agama, yang jika dibiarkan justru akan merusak martabat agama itu sendiri.
Filsafat—atau mempertanyakan kembali eksistensi kita sebagai manusia—sepertinya dapat memberikan stimulus kepada kita bahwa di zaman ini, beberapa orang yang sadar, sebenarnya merasa tidak bahagia. Kita tidak tahu mengapa, dan apa yang membuat kita tidak bahagia.
Tetapi, secara instinktif, kita merasa bahwa kita seperti telah kehilangan sesuatu. Kita ingin menemukannya kembali. Di tengah mobil-mobil mewah, komputer-komputer yang menakjubkan dan jaminan-jaminan sosial yang baik. Dan saya pikir, sesuatu yang hilang itu adalah, apa yang kita sebut sebagai jati diri manusia yang bisa memanusiakan manusia.
Bagaimana pun, sehebat apapun alat, manusia adalah manusia—yang seharusnya memperalat alat, bukan justru diperalat alat.
***
Bang Onang adalah manusia otentik. Jika manusia modern sibuk melapisi dirinya dengan kemasan yang menebal penuh dengan kepalsuan, maka manusia otentik melepaskan lapis-lapis dirinya. Menelanjangi dirinya di depan alam semesta. Meniadakan dirinya di hadapan Yang Ada.
Hidupnya orisinil. Kerja menjadi sarana ejawantah dirinya untuk Tuhan. Puasa menjadi tirakat sosial hidupnya. Maka dari itu ia tak harus minder untuk menggunakan ikat kepala, celana komprang, dan baju hitam seperti orang Badui Dalam di tanah Pasundan sana.
Setiap kali saya berdiskusi dengan Bang Onang, saya bisa menyimpulkan banyak hal—walau kadang lebih banyak wacana yang tak terjawab, ngambang, dan malah bikin kepikiran.
Saya memang nyaman ngobrol dengan mereka yang memiliki minat membaca yang tinggi—dan mereka hampir semuanya mempunyai kelebihan di atas rata-rata; lebih bijak, wawasan luas, toleransi tinggi, kaya diksi, dan memiliki persediaan bubuk kopi melimpah.
Saya senang mendengarkan petuah-petuah Bang Onang tentang sejarah—sebab ia memang sarjanan sejarah. Dan kadang sedikit pembahasan tentang kebudayaan—ia juga seorang pemerhati budaya.
Saya mendengar dengan khusuk pengetahuan yang ia berikan—walaupun, dalam setiap pertemuan, ia selalu mengatakan, bahwa apa yang diucapkannya tak lain hanya sekadar “ilmu tipu-tipu”.[T]