NYOMAN ERAWAN adalah sosok seniman yang penuh talenta. Karya-karyanya tidak terbatas hanya menggunakan media seni lukis, ia juga mengeksplorasi medium instalasi, video art, hingga performance art.
Selama puluhan tahun perhatiannya tercurah untuk mengembangkan bahasa ungkap non representatif, yang diramu dengan nilai-nilai tradisi budaya Bali. Ketertarikannya pada ornamen dan ukiran Bali sudah dimulai sejak menimba perkuliahan di ISI Yogyakarta tahun 1980an. Ketika itu ia mulai terimpresi oleh nilai artistik ukiran rusak, dan puing-puing sisa pembakaran akhir prosesi dalam upacara Ngaben.
Sebagaimana ritus kematian pada berbagai kebudayaan, upacara Ngaben sangat penting bagi masyarakat Bali. Bagi keluarga yang ditinggalkan terutama sang anak, ngaben adalah sebentuk utang terakhir bagian dari bakti kepada orang tua (guru rupaka). Karenanya upacara ini sarat dengan makna simbolik, untuk menghantarkan badan wadag dan roh ke alam kosmos.
Menyatunya kembali unsur-unsur yang menjadi komponen dasar membentuk tubuh manusia; mulai dari pertiwi (zat padat), apah (zat cair), teja (zat panas), bayu (udara), ether (ruang antara, relung), kepada alam kosmos.
Foto: Dok. Bentara Budaya Bali
Upacara ngaben, dimulai dengan membuat (ngewangun) berbagai kelengkapan fisik upakara yang pada akhirnya akan dibakar (prelina). Prosesi peleburan sarat dengan nilai estetika, menurutnya, di dalamnya ada ritus yang bermura pada keindahan. Siklus yang sangat alami dari kodrat manusia sebagai makhluk hidup, bagian dari keteraturan (order) dalam sirkulasi kosmos.
Perhatian Erawan tertuju pada diorama artistik yang berpijar dari prosesi prelina tersebut, seiring dengan bersatunya tubuh bersama jiwa ke alam makro kosmos. Impresi tersebut membekas dan menjadi pendulum imaji untuk menuangkannya ke dalam karya.
Eksplorasi yang bermula dari spirit ritual dituangkan ke dalam ekspresi dengan ungkapan artistik yang khas. Pengalaman menghayati proses, membawanya pada kesadaran penguasaan media dan teknik merupakan komponen vital dalam melahirkan kualitas artistik. Namun ia tidak berhenti hanya pada pencapaian kualitas artistik, pencarian terus berlanjut untuk penemuan nilai estetik.
Intensitas Nyoman Erawan dalam mengekplorasi ornamen Bali khususnya motif dari wayang Kamasan, terakumulasi dalam pameran tunggal dan buku bertajuk “E(r)motive” Nalar Visual Nyoman Erawan tahun 2015.
Saat itu penulis terbesit membuat sebuah asumsi bahwa, “ornamen (motif) dalam eksplorasi Erawan sejatinya hanyalah perantara sebuah upaya besar menata pemikiran (thought) melalui visual, dan menata kesadaran diri sebagai proses menemuan jati diri yang hakiki”.
Motif telah menjadi komponen-komponen yang lebih subtil, menjadi bagian dari gestur, bahkan menjelma menjadi serangkaian objek-objek yang tak bernama (unidentified object). Pada kasus tertentu, rangkaian ornamen menjadi penanda ruang (arah), penempatannya terkadang di bagian bawah, bagian atas, kiri, kanan, tengah atau samping.
Dugaan ini dapat diselaraskan kembali, karena pencarian estetika dalam karyanya tidak berhenti sampai konteks saat itu. Eksplorasi ornamen masih terus berlanjut hingga pageblug pandemi Covid 19 hadir.
Pandemi virus sars-covid yang dikenal sebagai covid 19, membawa goncangan besar pada kehidupan manusia secara global. Seketika terjadi perubahan besar mulai dari pembatasan fisik dan karantina yang mengharuskan setiap orang tinggal di rumah dalam waktu yang belum dapat ditentukan. Semua orang harus membatasi kegiatan dan interaksi fisiknya di luar, waktu lebih banyak dihabiskan di dalam rumah.
Saat pandemi tahun 2020, Erawan menghabiskan banyak waktu di rumah, dan menjadi lebih khusuk dengan eksplorasi kreatifnya. Kondisi pembatasan sosial akibat penyebaran Covid-19 memberikan ruang lapang bergumul lebih inten, menghayati kembali laku kreatif dan memaknai nilai estetis.
Proses ekpslorasi yang panjang membawa Erawan menemukan konsep estetik dari kosmologi Hindu Bali. Sebuah kesadaran tubuh sebagai entitas yang terhubung dengan matrik kosmos.
Sebagaimana diungkapkan kurator Rizki A. Zaelani, bahwa “ekspresi yang dinyatakan dalam ungkapan artistik khas Nyoman Erawan adalah manifestasi sikap dan pengalaman tubuh”.
Peran tubuh menjadi vital dalam laku kreativitas karya-karyanya dapat ditelisik dalam proses ketika melukis Erawan memposisikan kanvas di bawah. Ketika kanvas berada di lantai ia lebih leluasa menggerakan tubuh, seperti melakukan gerakan tarian kosmis di atas kanvas. Tangan dapat bergerak bebas dalam mengores, menumpahkan dan mencipratkan warna.
Terdapat kesadaran ruang (bhuta) dan waktu (kala) di dalam ritus kreatif tersebut. Berkarya dari posisi di atas dengan pandangan perspektif burung, membuatnya lebih leluasa untuk mengontrol komposisi serta efek-efek visual yang diinginkan.
Foto: Dok. Bentara Budaya Bali
Dalam konteks itu ia memposisikan kanvas tidak hanya sebagai bidang, tetapi memiliki dimensi ruang. Sebagaimana dalam Buana Sangksepa, mandala dengan delapan sudut arah mata angin sebagai sumbu horizontal dan memiliki dimensi lapisan ke atas dan ke bawah (bhuta/ruang dan kala/waktu). Melalui kesadaran ruang proses kreasi Erawan menghubungkan tubuh dengan tubuh kosmik.
Kesadaran tubuh ini ulang alik antara tubuh mikro dalam kosep Tri Angga (kepala, badan, kaki), dan tubuh kosmik. Walaupun komposisinya tidak dalam skema pembagian struktur yang ketat dan presisi, kesadaran akan ruang mendasari penciptaan karya-karyanya.
Menubuh dalam dirinya, merambat dalam gerak psikomotorik yang penuh hentakan spontan, dan tetap terkontrol dalam kesadaran ruang. Ulang alik antara konsep mandala dan konsep tri angga, terejawantahkan dalam komposisi dan penempatan keseimbangan antar komponen.
Karena itu dalam karyanya memiliki komposisi yang jelas, dapat berupa keseimbangan antara atas tengah dan bawah, kanan kiri, atau diagonal. Di dalamnya juga dapat memiliki struktur kepala, badan dan kaki, atau hulu dan teben.
Kesadaran tersebut telah menjadi semacam metode artistik seorang Nyoman Erawan, elemen-elemen formal; garis, warna dan tekstur diramu dengan konsep itu. Hal inilah yang membuat karyanya memiliki kekhasan bahasa ungkapan dan nilai estetis.
Menjalani kehidupan sebagai ritus kreatif nan panjang membuatnya tenggelam dalam lautan, yang di dalamnya berbagai komponen telah larut dalam sensibilitas dan kesadaran yang menubuh di dalam rasa; merambat melalui jalinan neuron kinestetik hingga mengejawantah melalui impuls-impuls spontan subconsius. Ekara menjadi akumulasi dari penemuan kembali nilai-nilai estetik itu, dimana motif telah menubuh (pana pani kara) dan menjadi modus estetik yang menyatu dalam rangkaian metode ritus artistik.[T]