PEMILU 2024 mulai hangat diperbincangkan masyarakat setelah beberapa Parpol mendeklarasikan bakal calon presiden. Apalagi nanti setelah tahapan kampanye resmi dimulai, Pemilu pasti menjadi trending topic. Artinya, di mana ada masyarakat berkumpul, di sana hampir pasti ada obrolan tentang Pemilu.
Di kampung halaman saya, di Desa Tajun, Kecamatan Kubutambahan, Buleleng-Bali, misalnyal, orang-orang sudah mulai ngobrol tentang politik. Dari obrolan ringan tentang siapa capres atau caleg yang kuat; siapa caleg yang layak dipilih; siapa yang loyal dan royal; sampai prediksi tentang siapa yang akan jadi pemenang—semua itu tidak jarang berujung menjadi perdebatan yang sangat serius.
Apalagi, setahu saya, ada lima putra Desa Tajun yang akan ikut kontestasi Pemilu 2024.
Obrolan Pemilu sering saya temui saat beberapa orang sedang ngobrol sambil ngopi di warung. Dan yang paling sering adalah di-patuakan (di tempat sekelompok masyarakat yang sedang menikmati tuak jaka/nira)—di desa saya banyak petani tuak. Minum tuak (matuakan) oleh beberapa kelompok masyarakat seperti sudah membudaya. Dilakukan setelah selesai bekerja, menjelang petang sampai malam.
Jika berkesempatan ikut ngumpul, saya senang mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Kadang saya juga ikut berkomentar untuk menghangatkan suasana. Namun, saya kembali menjadi penyimak yang baik jika obrolan sudah mulai memanas. Dari hasil obrolan itu, setidaknya saya menemukan dua ungkapan. Pertama, Jele Melah Nyama Gelah. Kedua, pemilih cerdas.
Ungkapan Jele Melah Nyama Gelah kurang lebih artinya sejelek-jeleknya saudara ia tetap adalah keluarga. Maksudnya, oleh karena saudara, bagaimanapun ia maka harus dibela—dalam konteks ini harus dipilih.
Saudara tidak hanya diartikan yang sedarah, tetapi juga yang sehobi, sealiran, atau se-wilayah. Ada yang memilih calon tertentu karena berasal dari klan yang sama. Ada yang memilih karena memiliki kegemaran yang sama. Ada juga memilih karena sama-sama dari desa yang sama.
Kedekatan darah, budaya, sosial-emosional menyebabkan fanatisme untuk memilih nyama gelah atau saudara sendiri semakin tinggi.
Sedangkan pada ungkapan yang kedua, pemilih cerdas, setidaknya ada tiga hal yang saya temukan.
Ada yang mengatakan pemilih yang cerdas adalah pemilih yang sesuai hati nurani. Pilihan terhadap calon tertentu sama sekali tidak atas dorongan, anjuran, ajakan, atau paksaan. Pemilih seperti ini dikategorikan pemilih yang ideal. Pemilih yang menggunakan pertimbangan rasional. Pemilih yang tidak tergiur dengan embel-embel politik uang yang menggiurkan.
Sebutan pemilih cerdas juga dimaksudkan untuk pemilih yang pintar memanfaatkan situasi. Menjelang dan saat kontestasi Pemilu biasanya calon-calon aktif blusukan. Sekadar menyampaikan program kerja dan tidak jarang menawarkan sesuatu entah barang, uang, atau janji bansos untuk memikat hati pemilih.
Nah, bagi beberapa pemilih atau kelompok masyarakat, situasi ini benar-benar dimanfaatkan. Pemilih seperti ini sering disebut pemilih pragmatis. Pemilih yang memilih karena diberi sesuatu, seperti uang, barang, dan Bansos.
Dari pemberian ini mereka merasa dibantu meringankan kebutuhan hidup, biaya pembangunan, biaya pengobatan, biaya upacara, dan lain-lain. Baginya kebaikan orang harus diingat dan dibalas. Dalam hal ini bantuan atau kebaikan harus dibalas dengan coblosan. Jika dipikir-pikir cara pandang ini banyak benarnya juga. Tapi, bagaimana pun cara pandangnya, jika suara diperoleh dengan imbalan uang atau materi, itu tetap bisa disebut money politic.
Pemilih cerdas yang selanjutnya dikategorikan untuk pemilih yang cerdik, mungkin juga bisa disebut licik. Pemilih seperti ini biasanya ditujukan kepada pemilih yang menerima sesuatu dari calon tertentu tetapi justru tidak memilihnya. Ada yang mengatakan ambil uangnya jangan pilih orangnya. Pilihlah yang sesuai hati nurani atau pilihnya calon sedesa.
Mungkin saja dalam sebuah kontestasi pemilu ada calon dari desa lain yang mencoba mendapatkan suara di desa Tajun. Oleh karena tidak ada kedekatan saudara yang seperti saya jelaskan di atas, maka calon tersebut berusaha menarik simpati dengan memberikan sesuatu. Pemberiannya diterima tetapi pilihannya tetap berbeda, tetap memilih calon sedesa atau calon lain.
Berdasarkan data dari PPS Desa Tajun, saat ini daftar pemilih sementara (DPS) Desa Tajun berjumlah 5.180 orang. Jumah yang cukup potensial untuk menopang salah satu calon melenggang menjadi wakil rakyat.
Desa Tajun yang saya sebutkan di atas hanya satu contoh saja. Fenomena politik yang sama tentu terjadi juga banyak desa lain, bukan hanya di Bali, melainkan juga di Infonesia.
Lalu bagaimana dengan saya sendiri? Apakah saya akan memilih calon nyama gelah? Apakah saya akan menjadi pemilih cerdas? Lalu cerdas yang mana?
Sssttt…. ini rahasia. Saya tentu akan memilih dengan cerdas. Namun, kecerdasan bagi saya sebagai ASN, adalah berkewajiban menjadi pemilih yang sesuai amanah undang-undang.
Karena guru tidak boleh berpolitik praktis, maka saya hanya berbagi cerita tentang dua ungkapan di atas. Soal itu, saya kira boleh-boleh saja. Hehe.[T]