SAYA MENEMUKAN BALI sebagaimana gambaran keindahan yang kerap saya dengar dalam sastra-sastra lama di Desa Sidemen, Kecamatan Sidemen, Karangasem. Air sungai mengalir bening, sawah-sawah berjajar dan berundak dijepit bukit hijau, dan warganya melangkah dengan tenang.
Bahkan ketika pariwisata masuk ke desa itu, keindahan sebagaimana tergambar dalam sastra-sastra lama tetap terjaga, tetap dijaga, tetap berjaga-jaga. Barangkali desa itu bisa jadi contoh soal bagaimana pariwisata dikembangkan dengan penuh keterjagaan.
Pada Jumat, 2 Juni 2023 saya berkunjung ke Desa Sidemen. Sebagai pemandu partikelir yang berasal dari Desa Les, Buleleng, kebetulan punya kesempatan jalan-jalan untuk menemukenali hal-hal yang unik sekaligus mengingatkan kembali tentang desa yang seharusnya, saya melihat Sidemen dengan rasa takjub seperti turis yang mencintai keheningan.
Desa Sidemen mungkin lebih dikenal di kalangan pelancong luar negeri, atau di luar Bali, ketimbang dikenal oleh orang Bali sendiri. Sering sekali saya menerima pertanyaan dari teman-teman, tentang berapa lama jarak yang bisa ditempuh ke Sidemen dari Tejakula? Padahal banyak tamu yang menginap di kawasan Tejakula datang setelah berkunjung ke Sidemen, dan mereka kerap juga bercerita soal Sidemen.
Lalu , saya menuntaskan penasaran saya untuk menjadi tamu (padahal hanya guide partikelir) dan berkunjung ke sejumlah tempat , termasuk Desa Sidemen. Ya, menjadi guide bagi diri sendiri setidaknya.
Berangkat dari Denpasar, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 79 menit untuk sampai di Desa Sidemen.
Sesampai di desa itu, saya melihat hamparan sawah dengan padi yang sebentar lagi dipanen. Desa itu sepeti menyambut siapa saja yang datang.
.
.
Pemandangan di Desa Sidemen, Karangasem, Bali | Foto: Dok Don Rare
Tampak beberapa villa dan homestay milik penduduk lokal. Warga tampak beraktifitas seperti biasa. Menjelang sore hari, para petani seperti biasa pulang ke rumah, pemuda desa tampak berkumpul di sudut jalan, tampak juga para pengunjung dengan sangat menikmati menyusuti jalan desa di daerah Tebola dan Sangkan Gunung.
Kedua area itu, Tebola dan Sangkan Gunung, merupakan area yang paling dicari oleh pengunjung. Karena daerah merupakan daerah dengan hamparan sawah dan sungai yang mengingatkan kita tentang Bali tempoe doeloe.
Bermalam di Sidemen seakan memutar cerita-cerita tentang hidup di Bali pada masa lalu. Petani masih bergerak, sungai atau tukad masih mengalir dengan air bening, dan warung pinggir jalan di desa masih menjual makanan lokal seperti tipat cantok dan lain-lain, dan lain-lain.
Sebagai seorang pekerja di bidang pariwisata, bagi saya Sidemen bisa memberi banyak ruang belajar. Bagaimana sawah adalah harus lestari. Sungai harus terus mengalir. Pun pilihan pekerjaan sebagi seorang petani dan pemandu wisata lokal juga bisa beriringan.
Di tengah banyak sekali pembangunan yang menghilangkan lahan persawahan, Sidemen justru dicari karena sawahnya. Sidemen menawarkan atraksi sederhana bagaimana asyiknya mandi di sungai, sembari memahami peran penting sungai bagi kehidupan manusia.
.
Pemandangan di Desa Sidemen, Karangasem, Bali | Foto: Dok Don Rare
Pariwisata memang sudah menjadi napas Bali. Tetapi pariwisata tidaklah harus membunuh udara (baca jati diri) pariwisata itu sendiri. Udara murni yang berembus dari bukit dan pepohonan tetap harus mengalir untuk menghidupkan pariwisata..
Di Sidemen saya mendapat banyak sekali ilmu. Setidaknya saya merasa berada di ruang belajar dengan melihat dan mendengar bagaimana desa harus tetap lestari. Semoga saja sawah dan sungai terus mengalir deras seperti doa dari semoa orang yang berharap pada kemurahan rejeki.
Sekali lagi perjalanan ke Sidemen memberi bukti jika tak semua orang mencari laut dan mall yang mewah itu. Jauh dari itu banyak sekali orang mencari sungai dan berjalan di sisi-sisi saluran subak dan sawah, sesekali melihat bagaimana masyarakat menenun sampai bagaimana nira kelapa diubah menjadi arak yang melegenda itu. Terima kasih Sidemen. [T]