DENPASAR | TATKALA.CO — Budayawan Prof. Dr. I Wayan Dibia kembali menelorkan dua buah buku, novel dan antologi puisi. Novelnya berjudul Bintang Panggun, sedangkan antologi puisi berjudul Jala Jalan.
Pada Sabtu, 13 Mei 2023, di Wantilan, Taman Budaya Bali, kedua buku—yang sekaligus melengkapi 58 buku karya mantan Rektor ISI dan Guru Besar yang aktif menulis sejak 1978 itu—dibedah dan menghadirkan dua pembahas, Tommy F. Auwy dan Prof. Dr, I Nyoman Darma Putra, M.litt.
Prof Dibia sudah sejak lama membangun budaya menulis. Berawal dari membuat naskah sendratari dan naskah topeng maupun karya seni lainya. “Itu banyak membantu saya dalam membuat alur cerita dalam novel maupun dalam penulisan puisi,” kata Prof. Dibia.
Lebih lanjut, ia mengatakan, ketika menuliskan seni, khususnya tari, tidak saja ansih membahas tari saja, tetapi juga mencoba membuatnya dengan nuansa sastra, sehingga dengan begitu orang yang membaca dapat dua-duanya
“Informasi tari, pengertian tentang tari, estetika dapat—dan tentu mendapatkan nuansa sastranya juga,” tuturnya.
Cara seperti ini yang ingin dikembangkan pria asal Singapadu, Gianyar itu. Menurutnya, menulis buku seni merupakan upaya yang dibangun supaya ada pola penulisan berbeda dengan yang sudah biasa.
“Karena di zaman ini anak-anak itu mestinya dibuatkan sesuatu yang menarik. Saya berharap tulisan -tulisan berbau puisi, mampu merangsang mereka lebih banyak membaca. Nanti dalam puisi saya berjudul puisi kecak atau Kumpicak (kumpulan puisi kecak) orang yang baca akan mengerti tentang kecak, sejarahanya, penyebarannya dan sebagainya,” ungkapnya.
Pendiri Geria Olah Kreativitas Seni (GEOKS) itu menekankan, upaya memaknai setiap peristiwa tari itu kita ungkapkan sedikit lebih puitik.
Sementara itu, menurut Tommy F Auwy, menyinggung keterkaitan proses kreatif yang dilakukan Prof. Dibia, adalah adanya keganduhan terkait memudarnya Taksu, yang bermakna sesuatu yang menghidupkan.
Kata Tommy F, tari Bali sekarang sudah kehilangan taksu. Taksu itu ditutupi teknik, padahal, menurutnya, taksu melampaui teknik. Kegelisahan Prof Dibia soal taksu, kalau tidak mati ya mundur. Prof. Dibia memang selalu menggelisahkan soal taksu para penari.
“Ini sebuah kritik dengan sastra yang enak dibaca. Isinya ini sangat mengalir dan mengalun seperti halnya tarian,” ungkapnya.
Sedangkan menurut Prof. Darma Putra, kumpulan puisi berjudul Jala Jalan ini melukiskan kehidupan ini, yaitu perjalanan dan perjalanan itu adalah kehidupan.
“Memang terlihat sederhana, yang ditulis tidak saja olahraga di Renon, tetapi juga isi kepedulian sosial ketika seorang ibu berjualan sambil mengasuh anak, tiba-tiba ada Satpol PP. Artinya, dalam antologi puisi ini, selain ada pengetahuan seni budaya, juga ada kepedulian sosial ” kata Darma Putra.
Guru Besar Unud itu melanjutkan, tugas kita membangun dialog dan memberikan makna lebih jauh, semua puisi-puisinya mengandung kata “jalan”, mengandung melahirkan banyak imajinasi.
Buku puisi Prof. Didia mengingatkan Prof. Darma Putra saat membuka jalan sebagai seniman tari. Prof. Dibia, menurutnya, juga berusaha menjelaskan makna jalan dalam konteks seni.
“Saya berusaha mencari kekurangan Prof Dibia terkait jalan ini, di sini tidak ada jalan damai, jalan rusak, jalan tikus, proyek jalan, sepanjang jalan kenangan,” lanjutnya.
Penulis yang produktif
Terkait dengan proses kekaryaan buku, Prof. Dibia mengaku, tahun ini sedang menyiapkan proses cetak buku terbaru Ia mengatakan, bukunya sudah siap masuk cetak. Buku itu sebuah novel—yang kedua—berjudul “ Kapal Dua Cinta” yang menceritakan sebuah ungkapan dari perjalanan dirinya saat menggelar tour ke NTB dan NTT, tahun 1967—di sana ada peristiwa cinta, yang dilakukan antar mahasiswa.
Prof Dibia termasuk penulis yang produktif. Hingga hari ini, seperti yang sudah disebutkan di awal, ia telah menghasilkan 58 buku. Wajar. Sebab, seperti pengakuannya, Prof. Dibia memiliki kebiasaan menulis satu sampai tiga halaman setiap pagi mulai pukul 05.00.
“Tahun ini ada empat buku, tahun kemarin juga ada empat, belum lagi karya seninya. Sedangkan khusus untuk sastra seperti puisi, saya mulai sejak 2021, seperti buku puitika tari puisi. Ada buku berbahasa Bali berjudul Guna Gina Pragina dan buku Kali Senggara yang meraih penghargaan Rancage,” tuturnya.[T][Jas/*]