WAJAH ITU memiliki tulang pipi dan rahang yang tegas dan mata dengan tatapan yang sedikit sayu. Langkahnya selalu energik di segala kondisi. Dan senyum sinis yang seakan-akan tidak peduli dengan tatapan orang lain. Aku memanggilnya Bintang.
Pada suatu malam, di hari Senin, aku memberanikan diri untuk datang kerumahnya. Aku keluar dari kamar kos, mengambil sepeda motor dan langsung melaju ke jalanan Kota Singaraja. Di jalan, aku melewati beberapa toko kue. Dan tiba-tiba aku teringat, jika sebelumnya Bintang selalu membicarakan kalau dia ingin membeli kue tart.
Tanpa pikir panjang aku masuk ke salah satu toko kue di pinggir jalan W.R. Supratman, dan membeli kue tart berwarna putih dengan toping coklat di atasnya. Ah, ketika memasuki toko kue itu, aku teringat salah satu film berjudul “Willy Wonka & the Chocolate Factory”.
Ya, toko itu penuh kue dan coklat, seperti pabrik coklat Willy—yang penuh dengan coklat dengan berbagai bentuk. Mungkin, hal ini merupakan surga bagi mereka yang Chocoholic atau penyuka makanan manis, khususnya coklat.
Keluar dari toko kue, aku berpikir sejenak. Apakah nanti kedatanganku akan diterima di rumahnya? Apakah dia akan senang melihatku datang? Kemudian, dengan perasaan sedikit ragu, aku kembali menaiki motorku dan mulai bergegas ke rumahnya.
Rumah Bintang lumayan jauh dari pusat kota, dan lampu penerangan juga sangat minim terlihat di sepanjang jalan menuju rumahnya. Cahaya di jalan itu hanya bersumber dari lampu motorku dan beberapa pengendara lain yang berlalu-lalang, serta lampu-lampu dari rumah warga juga ikut menerangi jalanan di beberapa titik.
Dalam perjalanan itu, pikiranku seakan-akan berusaha memutar beberapa memori di tahun lalu. Ketika aku mulai mengenal Bintang melalui sebuah kegiatan di kampus kami.
***
Bulan Oktober 2021, seorang mahasiswa semester empat dengan raut wajah penuh dengan kecurigaan dan sorot mata tajam mulai berbicara panjang lebar di forum rapat di sebuah ruangan.
Sejenak orang-orang yang ada di dalam ruangan tersebut mulai terdiam, memperhatikan dan mendengarkan dengan cermat setiap kalimat yang dilontarkan olehnya. Ya, dia adalah Bintang. Sosok yang tegas. Dengan sifat pemimpin yang seakan-akan menguasai dirinya.
Tapi suasana di ruangan itu menjadi sedikit canggung setelah Bintang berbicara. Semua orang saling bertatapan satu sama lain, enggan untuk mengeluarkan satu patah kata apalagi kalimat. Mungkin jika ada jangkrik yang melakukan stridulasi, akan terdengar memenuhi ruangan itu.
Hingga, salah satu anggota rapat mulai mengeluarkan suaranya dan mencairkan suasana, perlahan situasi pun mulai kembali normal. Esoknya ketika kegiatan berlangsung, Bintang juga ikut meramaikannya.
Tiba-tiba pikiranku beralih ke tahun 2022, tepatnya di bulan September, ketika kegiatan yang sama seperti tahun sebelumnya, kembali dilaksanakan. Akan tetapi, kali ini tempatnya lumayan jauh dari pusat kota. Mungkin Bintang juga ikut andil dalam merancang kegiatan tersebut, karena dia salah satu mahasiswa berpengaruh di kampus kami.
Benar saja. Setelah sekian lama, aku melihatnya lagi. Sosok penuh energik dengan baju berwarna hitam yang ia kenakan itu, terlihat sedang duduk di atas motor maticnya.
Di basemen kampus, beberapa teman menghampirinya, entah apa yang mereka bicarakan, Bintang selalu menanggapinya dengan anggukan kepala dan garis tipis tersungging di kedua ujung bibirnya.
Beberapa kali dia membalasnya dengan tawa, yang membuat orang tahu bahwa itu adalah Bintang ketika mendengarnya. Selang beberapa menit, dia menghidupkan motor dan langsung bergegas meninggalkan kampus, setelah seseorang memanggilnya untuk berangkat ke tempat kegiatan.
Di tempat kegiatan di sebuah desa dengan udara yang masih alami, belum tersentuh polusi, bahkan panas matahari siang itu tidak bisa menyengat kulit karena dinginnya udara, Bintang terlihat mondar-mandir bersama beberapa temannya untuk menyiapkan kegiatan.
Dia memandu jalannya persiapan dengan baik hingga satu persatu peserta berdatangan. Di sana Bintang mulai terlihat kelelahan. Sebelum mengambil sebuah mic, dengan keringat yang menetes dari pelipis ke dagunya, ia menyandarkan diri sejenak di salah satu tiang beton penyangga aula. Kemudian mulai bergerak kembali untuk mengarahkan peserta kegiatan.
Hari itu, dengan antusiasnya, Bintang seakan-akan menguasai panggung dan menghandle acara yang sedang berlangsung. Gelak tawa terdengar dari kerumunan peserta ketika Bintang memberikan beberapa anekdot ringan. Tak disangka, seorang Bintang yang terkenal dengan sikap tegasnya, bisa melucu juga.
Dengan keceriaan yang terpancar dari dalam diri Bintang, membuat orang-orang yang dia temui dalam kegiatan itu, sejenak melupakan beban hidupnya (mungkin).
Dan di mana ada Bintang, seolah-olah di sana tawa akan pecah—atau setidaknya, orang-orang akan tersenyum ketika Bintang berada di dekatnya. Seolah-olah Bintang adalah sumber keceriaan di tempat itu. Dia tahu kapan saatnya menjadi tegas, dan kapan saatnya menjadi lebih melunak untuk orang-orang yang ditemuinya.
***
Lamunanku saat itu terhenti, setelah dinginnya udara malam yang seakan merambat dari jari-jari ke seluruh tubuhku. Terlebih lagi aku keluar hanya menggunakan celana pendek selutut dan hoodie yang tidak terlalu tebal. Tapi akhirnya aku sampai di depan rumah Bintang.
Terlihat dari luar pintu pagar, seorang wanita paruh baya sedang menonton televisi di ruang tamu. Aku memberanikan diri untuk mengucapkan salam dari sana, dengan motorku yang belum sempat kumatikan.
Wanita paruh baya itu menoleh ke arahku, dengan kebingungan dan mulai bertanya, “Mau cari siapa?”. Sepntan aku menjawab, “Bintang ada, Bu?”
Setelah itu ia memanggil Bintang. Dan tak lama, dengan baju berwarna putih, Bintang keluar dari pintu kamarnya menuju ruang tamu, kemudian menghampiriku. Dia menyuruhku untuk masuk.
Aku duduk di depan teras rumah yang luasnya tidak lebih lebar dari selembar sticky note persegi empat itu. Di bawah bintang-bintang, bersama Bintang, kuberikan kue yang selalu dibicarakannya.
Aku baru bertemu dengannya setelah beberapa waktu. Setelah kabar duka yang kudengar dari salah satu teman Bintang, beberapa minggu lalu. Tidak seperti biasanya, Bintang yang selalu energik di setiap kondisi itu, rasanya telah hilang, sekarang ia terlihat lebih pendiam.
Beberapa waktu lalu ayah Bintang telah berpulang. Sosok ayah yang selalu membuatnya merasa bersemangat. Orang yang Bintang sayangi. Orang yang selalu ingin Bintang banggakan. Orang yang mungkin menjadi cinta pertamanya. Dan orang yang selalu Bintang kabari ketika berada di luar rumah.
Namun, kini aku sadari bahwa, sinar dari Bintang itu mulai meredup bersama kenangan ayahnya.
Kuperhatikan wajah tanpa senyum itu. Matanya sayu. Tubuhnya terlihat lesu. Bintang menarik napas dalam dan menghelanya. Ya, Bintang terlihat sedih. Aku bisa merasakan kesedihan yang sedang di alami Bintang.
Aku terus memperhatikan tubuh yang tidak banyak gerak dan sedikit mengeluarkan kata itu. Kemudian pandanganku beralih ke matanya. Terlihat garis hitam di bawah mata Bintang. Dengan sorot mata yang lelah, ditambah sedikit genangan air di pelupuknya, seakan-akan telah mengungkapkan segala bentuk kepedihan dari situasi yang dialaminya.
Bintang sedang tidak baik-baik saja. Semesta tahu itu.
***
Sebenarnya ada beberapa hal yang ingin kusampaikan untuk Bintang atau bintang-bintang lainnya di luar sana. Bahwa, segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang abadi. Kehilangan dan kematian merupakan hal yang wajar, yang dialami oleh setiap orang, dan tidak dapat kita kendalikan.
Sebagian orang akan merasakan disforia yang hebat, setelah salah satu hal yang paling berharga menurut mereka telah tidak ada. Akan tetapi, hidup menuntut kita untuk terus berjalan ke depan dan mampu memulai semuanya, hingga kembali normal.
Layaknya pesan dalam sebuah film berjudul “Tomb Raider”, yang dirilis pada tahun 2018, dengan pemeran utamanya Alicia Vikander (Lara Croft) itu. Ketika ayahnya pergi untuk menyelesaikan sebuah misi dan pada akhirnya meninggal, Lara tetap menjalani kehidupannya dengan baik, bahkan ia mampu mengungkap hal-hal baru, yang tidak pernah diketahui sebelumnya. Bayangkan saja jika saat itu Lara terpuruk dengan kesedihannya, mungkin saja ia tidak akan menemukan hal-hal baru yang ada di sekitarnya.
Dan untuk kita semua, saat ini, hal yang bisa kita lakukan adalah memanfaatkan waktu bersama orang-orang tersayang yang masih bisa kita temui. Jangan sampai kita melewatkan kesempatan untuk dapat bertukar kerinduan dengan mereka selagi masih hidup di dunia. Sebelum kesempatan itu tidak dapat kita gunakan kembali.
Tetapi, melihat kondisi Bintang yang memprihatinkan seperti itu, semua nasihat dan kata-kata di atas, yang sudah aku rangkai dalam kepala, hanya akan aku simpan dalam-dalam—barangkali itu lebih cocok untuk nasihat diri sendiri. Ah, Bintang.[T]
*Penulis adalahmahasiswa prodi Ilmu Komunikasi STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Sedang menjalani Praktek Kerja Lapangan (PKL) ditatkala.co.