11 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

(Rasanya) ke-Tuban-nan Saya Sudah Hilang

JaswantobyJaswanto
April 20, 2023
inEsai
Libur Hari Jumat

tatkala.co

SEJAK MEMUTUSKAN merantau ke Singaraja, Bali, pada 2015 silam, sekarang saya merasa bahwa ciri khas ke-Tuban-nan saya nyaris sudah hilang. Hal itu bisa terjadi mungkin karena banyaknya budaya, kebiasaan, bahasa, dan manusia (yang berinteraksi) yang saya temui; tapi barangkali ini alasan yang paling kuat: saya jarang dan lama tak pulang ke Tuban—dan sekalinya pulang memang tak pernah lama. Dengan kata lain, saya sudah jarang berinteraksi dengan orang Tuban.

(Selama saya hidup di Singaraja, sekuat yang saya ingat, saya hanya akan pulang saat menjelang Idul Fitri. Artinya, saya hanya pulang sekali dalam setahun. Bahkan, saat pandemi corona sedang berada di puncaknya, saya merayakan Idul Fitri di Singaraja—dan itu, tentu saja, tidak enak.  Tapi sebenarnya hanya karena pertimbangan ekonomi sajalah jika kemudian saya lebih jarang pulang kampung dan, oleh karena itu, lebih berjarak dengan desa kelahiran.)

Ya, sejak saya tercatat sebagai mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Singaraja, saya lebih banyak berinteraksi dengan orang, budaya, kebiasaan, dan bahasa dari luar Tuban. Tentu bukan berarti di Singaraja tidak ada mahasiswa dari Tuban, tapi mahasiswa asli Tuban di Singaraja jumlahnya tak lebih banyak dari jari tangan (kanan-kiri) manusia (sekarang bahkan sudah lenyap tak tersisa). Bahkan, antar mahasiswa asli dari Tuban pun, saat berinteraksi, tak jarang malah menggunakan kebiasaan orang lain, alih-alih kebiasan sendiri.

Soal bahasa, dialek, atau logat, misalnya. Di Singaraja, saya dan teman-teman lebih banyak menggunakan bahasa Indonesia daripada bahasa Jawa (atau lebih tepatnya bahasa Jawa khas Tuban). Bukannya hendak gaya-gayaan, tapi orang bodoh macam apa, sebagai orang Tuban, Jawa Timur, saat berbicara dengan orang Bali, Lombok, Sumatera, Makassar, Kupang sampai Papua, menggunakan bahasa Jawa? Alih-alih akrab, bisa jadi malah babak-belur.

Sialnya, menggunakan bahasa Indonesia nyaris setiap hari, membuat lidah saya seperti lupa mengucapkan kata, dialek, atau logat khas Tuban dengan baik dan benar.

Saya sudah jarang menggunakan kata “ngamuk” untuk kata “terserah”; “srengen”—e dibaca seperti kata serem—untuk kata “marah”; “ndhêngêr” = paham; “mlété” = sombong; “mbaít” = lihai; “ngêmpròs” = berbohong; “mêgilan” = terkenal (dalam konteks negatif); “jêmbêrên” = jijik; atau mengunakan “-êm” dan “-nêm” sebagai imbuhan di akhir kata. Ya, alih-alih menggunaka kata “ngamuk”, misalnya, dalam konteks bahasa Jawa, sekarang saya lebih banyak menggunakan kata “sembarang” atau “terserah” sebagai penggantinya.

Sekadar informasi, dalam bahasa Indonesia, imbuhan “-êm” dan “-nêm” sama seperti kata ganti kepemilikan “-mu”. Sedangkan penggunaannya didasarkan pada huruf akhir kata yang diimbuhi tersebut berupa huruf vokal atau konsonan.

Misal, jika Anda ingin mengimbuhkan kata ganti kepemilikan pada kata yang berakhiran huruf vokal seperti “jahe”, imbuhan yang berlaku adalah “-nêm”, sehingga menjadi jahenêm (jahemu). Lalu, jika Anda ingin mengimbuhkan kata ganti kepemilikan pada kata yang berakhiran huruf konsonan, seperti “kipas”, misalnya, imbuhan yang berlaku adalah “-êm”, sehingga menjadi kipasêm (kipasmu). Contoh lain: bapakêm (bapakmu), adikêm (adikmu), dan, jarinêm (jarimu), sapinêm (sapimu), atau sapunêm (sapumu), dst.

Bukan hanya itu saja, saya juga sudah jarang menggunakan seruan “lèh” sebagai penegasan pada akhiran kalimat perintah, kalimat berita, maupun kalimat tanya. Soal ini, dalam bahasa Indonesia, seruan “lèh” sama halnya seperti seruan “dong” untuk akhiran kalimat perintah dan sama seperti seruan “lho” untuk akhiran kalimat berita, juga serupa dengan seruan “kan” untuk kalimat tanya. Misal: ayo, lèh! = ayo, dong!; Iya, lèh = iya, loh; dan  iku, lèh? = itu, kan? Dst.

Sampai di sini, sekali lagi, seingat saya, saat berbicara menggunakan bahasa Jawa, saya memang sudah tidak pernah lagi menggunakan kosa kata atau istilah-istilah di atas atau menggunakan “-êm” dan “-nêm” sebagai imbuhan di akhir kata—untuk yang terakhir, soal imbuhan “-êm” dan “nem”, sudah lama saya menggantikannya dengan kata ganti kepemilikan “-mu”.

Saya tidak paham betul kenapa kita gampang sekali terpengaruh oleh lingkungan. Tetapi, soal bahasa, saya meyakini bahwa bahasa yang digunakan oleh seseorang sangat dipengaruhi oleh konteks sosial budaya yang ada di sekelilingnya. Dan konteks budaya tersebut, tentu juga bergantung pada status sosial, aktivitas, daerah geografis, usia, dan lainnya.

Dengan begitu, maka wajar jika bahasa yang digunakan masyarakat di perkotaan akan berbeda dengan bahasa yang digunakan masyarakat daerah perdesaan. Hal itu karena konteks sosial budaya di masing-masing wilayah berbeda dan menyertai kehidupan masyarakatnya.

***

Bagi sebagain orang, mungkin hal ini tampak sepele. Tapi, bagi orang yang sering mempersoalkan banyak hal seperti saya, tentu ini cukup serius dan, tentu saja, membuat saya ketar-ketir. Dan rasa itu semakin memenuhi dada saat saya pulang ke kampung halaman.

Di kampung saya di Dusun Karang Binangun, Kecamatan Kerek, Kabupaten Tuban, tak mungkin saya menggunakan bahasa Indonesia (memangnya orang Karang Binangun aneh macam apa yang melakukannya. Alih-alih kagum, sepertinya malah akan dibacakan mantra, sebab dianggap kesurupan). Maka, mau tidak mau, suka tidak suka, saya harus menggunakan bahasa Jawa. Sialnya, bahasa Jawa saya sudah campur aduk dengan kekhasan daerah lain.

Ya, seperti yang sudah saya sampaikan di awal, bahwa saya berinteraksi dengan banyak orang, budaya, kebiasaan, dan bahasa, termasuk bahasa dari belahan bumi Jawa yang lain—yang membuat bahasa Jawa saya tak lagi memiliki ciri khas, dangkal, blasteran, dan tak jelas.

Maka betapa remuk redam hati saya saat tetangga, kerabat, teman dekat, bahkan orang tua saya sendiri mengatakan: “Wis berubah yo sak iki. Wis gak koyo wong Karang Binangun maneh.” “Sudah berubah ya sekarang. Sudak tidak seperti orang Karang Binangun lagi.” Wah, saya pikir ungkapan ini bukan hanya sekadar ungkapan spontanitas atau sekadar bercandaan, lebih dari itu, khususnya saya pribadi, saya merasa, ucapan itu semacam bentuk kehilangan, kekecewaan, secara tidak langsung.

Parahnya, tak berhenti sampai di situ, dari urusan logat, dialek, kemudian merembet sampai urusan makanan dan hubungan kekerabatan.

Banyak orang di kampung saya mengatakan—cenderung menuduh dan tak jarang menghakimi—bahwa saya sudah tidak lagi doyan makanan kampung dan melupakan batehane (kerabatnya). “Sudah lama hidup di kota, pasti nggak mau makanan orang kampung seperti ini” juga “Dia pasti sudah lupa sama kerabatnya sendiri.” Oh, maaf, saya ralat: bukan hanya kerabat dan tetangga saja yang begitu, beberapa teman lama saya juga mengatakan hal yang sama.

Ya, ini alasan kenapa saya menganggap urusan ini cukup serius. Dan saya paham, bahwa ini adalah efek, konsekuensi, merantau.

Wajar mereka mengatakan seperti itu, wong saya sendiri merasa sudah jauh dari kampung halaman, kok. Jauh bukan hanya soal geografis, tapi juga soal-soal yang lebih filosofis dan esensial. Saya tak lagi tahu siapa orang yang meninggal, siapa yang lahir, dan siapa menikah dengan siapa. Seperti saat misan perempuan saya menikah dan betapa malunya saya saat suaminya memanggil saya sedangkan saya tidak tahu dia siapa dan menganggap dia orang lain. Atau ketaktahuan yang fatal bahwa seorang bocah tak saya kenal yang bermain di depan rumah adalah anak dari seorang sepupu.

Sampai di sini, bukankah apa yang terjadi pada saya juga terjadi dengan kebanyakan perantau? Saya tak tahu betul soal itu.

Tetapi, pada akhirnya saya cukup lega saat nenek saya dari pihak ibu berkata: “Sekolah kok nggak selesai-selesai. Garap ladang sana, bantu bapakmu!” Ia selalu menyebut saya sekolah, meskipun saat ini saya adalah seorang editor di sebuah perusahaan media dan telah setahun lulus kuliah. Saya tertawa saat pertama kali mendengarnya, tapi rasa-rasanya saya mesti berterima kasih kepada Nenek, orang yang tak pernah menggap saya berubah.

Ya, di bagian diri saya yang lain, secara psikologis, saya merasa tak pernah berubah dari pertama kali saya meninggalkan desa nyaris sembilan tahun lalu. Saya adalah bocah yang sama yang, kata Nenek, “sekolah tak selesai-selesai”. Tak peduli selama sembilan tahun saya hidup di Singaraja dan mengalami semua lika-liku ala perantau; tak peduli ke-Tuban-nan saya sudah luntur atau bahkan hilang, yang jelas, saya tetap orang Tuban dan akan tetap menjadi bagian di dalamnya—walaupun sudah jarang menggunakan “-êm” dan “-nêm” sebagai imbuhan di akhir kata. Itu bisa saya pelajari kembali, suatu saat nanti.[T]

Bulan “Akting”
Menyepi Bersama Kata-kata
Wayang, Dunia Kakek, Dunia Saya
Tags: Bahasakampung halamankolom
Previous Post

Marayana dan Wiana: Berpulangnya Tokoh Hindu dari Pesisi Utara dan Pesisi Selatan Bali

Next Post

Menengok Wisata Religi Islami di Jembrana, Bali

Jaswanto

Jaswanto

Editor/Wartawan tatkala.co

Next Post
Menengok Wisata Religi Islami di Jembrana, Bali

Menengok Wisata Religi Islami di Jembrana, Bali

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

“Pseudotourism”: Pepesan Kosong dalam Pariwisata

by Chusmeru
May 10, 2025
0
Efek “Frugal Living” dalam Pariwisata

KEBIJAKAN libur panjang (long weekend) yang diterapkan pemerintah selalu diprediksi dapat menggairahkan industri pariwisata Tanah Air. Hari-hari besar keagamaan dan...

Read more

Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

by Arix Wahyudhi Jana Putra
May 9, 2025
0
Mendaki Bukit Tapak, Menemukan Makam Wali Pitu di Puncak

GERIMIS pagi itu menyambut kami. Dari Kampus Undiksha Singaraja sebagai titik kumpul, saya dan sahabat saya, Prayoga, berangkat dengan semangat...

Read more

Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

by Pitrus Puspito
May 9, 2025
0
Kreativitas dan Imajinasi: Dua Modal Utama Seorang Seniman

DALAM sebuah seminar yang diadakan Komunitas Salihara (2013) yang bertema “Seni Sebagai Peristiwa” memberi saya pemahaman mengenai dunia seni secara...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

Menghidupkan Warisan Leluhur, I Gusti Anom Gumanti Pimpin Tradisi Ngelawar di Banjar Temacun Kuta

April 22, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra
Panggung

“Jalan Suara”, Musikalisasi Puisi Yayasan Kesenian Sadewa Bali dan Komunitas Disabilitas Tunanetra

SEPERTI biasa, Heri Windi Anggara, pemusik yang selama ini tekun mengembangkan seni musikalisasi puisi atau musik puisi, tak pernah ragu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman
Khas

Mengenang Perupa I Gusti Made Peredi dan Karya-karyanya yang Membingkai Zaman

TAK salah jika Pemerintah Kota Denpasar dan Pemerintah Provinsi Bali menganugerahkan penghargaan kepada Almarhum I Gusti Made Peredi, salah satu...

by Nyoman Budarsana
May 6, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [14]: Ayam Kampus Bersimbah Darah

May 8, 2025
Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

Perempuan di Mata Mak Kaeh | Cerpen Khairul A. El Maliky

May 4, 2025
Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

Puisi-puisi Gimien Artekjursi | Tentang Harimau Jawa

May 4, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co