LINIMASA Instagram saya beberapa kali menampilkan Gubernur Bali, I Wayan Koster dengan ramah menyapa umat Hindu yang akan atau baru saja selesai sembahyang di Pura Besakih. Tak lupa Koster berfoto bersama dengan umat di sana. Sampai di sini saya menganggap hal-hal semacam ini adalah fenomena yang biasa, namun menjadi berbeda saat pose yang digunakan di setiap fotonya hampir selalu sama.
Dua jari dipamerkan oleh Koster dan setiap orang yang berfoto di dalamnya, tak lupa senyum optimis juga disunggingkan. Jelang tahun politik di Bali, tentu pose ini cukup mudah bagi saya dan anda menerjemahkannya.
Pose dua jari yang beberapa kali diunggah oleh Instagram @pemprov_bali bagi saya adalah sebuah informasi bahwa Koster dan juga rakyat Bali (tidak semua ya) siap menyambut periode kedua dari Koster sebagai Gubernur Bali.
Mengapa Koster sudah melakukan “kampanye” sejak hari ini, padahal pemilihan kepala daerah (pilkada) masih cukup jauh?
Pasca Piala Dunia U-20
Harus diakui bahwa pasca Gubernur Bali mengirimkan surat kepada Menpora RI perihal penolakan kehadiran Israel di gelaran ini, Koster menerima banyak “serangan” dari warga—khususnya lewat sosial media. Benar saja, akun resmi @pemprov_bali dan @gubernur.bali melakukan antisipasi dengan membatasi kolom komentarnya. Cara klasik yang biasa dilakukan pejabat publik yang pengecut saat menghadapi kemarahan warganet.
Bahkan Pengamat Politik dari Universitas Udayana, Kadek Dwita Apriani, mengingatkan Koster soal elektabilitasnya, apalagi masyarakat Bali sudah menganggap Koster sebagai biang kerok kegagalan terselenggaranya Piala Dunia U-20. Tentu isu ini bisa saja menjadi senjata bagi lawan politik Koster pada saat pilkada nanti. Hal ini harus diwaspadai Koster apabila ingin memimpin Bali dua periode.
Namun belum surut benar kemarahan masyarakat Bali soal Piala Dunia U-20, beberapa waktu lalu kembali muncul potongan video Koster yang menurut saya cukup blunder. Dalam video tersebut, Koster menyebutkan bahwa meskipun dirinya kecil, tetapi memiliki khasiat yang luar biasa. Ia melanjutkan bahwa hanya dia satu-satunya gubernur yang berani menolak Israel. Berangkat dari video tersebut, saya sampai pada kesimpulan bahwa Koster bukanlah pemimpin yang mampu membaca psikologis rakyatnya sendiri.
Mungkin saja Koster menganggap bahwa rakyat Bali memandang dirinya sebagai seorang pahlawan dan layak mendapat pujian. Benarkah demikian? Menurut saya sih tidak.
Mengapa tidak? Mudah saja.
Pertama, Koster bukanlah satu-satunya gubernur yang menolak kehadiran Israel. Masih ada Ganjar Pranowo, Gubernur Jawa Tengah yang menyuarakan penolakan—juga bernaung di partai yang sama.
Kedua, menggunakan Permenlu No. 3 Tahun 2019 tentang Panduan Umum Hubungan Luar Negeri oleh Pemerintah Daerah pun tidak tepat sasaran. Hal ini juga sudah diterangkan oleh pihak Kemenlu RI.
Ketiga, sikap Koster tersebut telah dianggap mendatangkan kerugian yang besar bagi sepak bola Indonesia, dan berpotensi mendatangkan kerugian bagi pariwisata Bali yang sampai saat ini masih jadi “Panglima Ekonomi”.
Dua Jari dan Upaya Menaikkan Elektabilitas
Kembali ke pose dua jari ala Koster. Bagi saya, ini adalah upaya Koster untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap dirinya yang cukup berantakan pasca penolakan Israel di Piala Dunia U-20 yang berujung pada batalnya perhelatan event ini.
Koster cukup rajin datang ke Pura Besakih, selain untuk sembahyang tentu saja untuk berpose dua jari bersama umat yang antusias menghaturkan sembah bhakti. Saya menduga lewat foto-foto tersebut, Koster ingin memberi pesan bahwa dirinya masih mendapat dukungan dari rakyat Bali dan siap kembali memimpin Bali di periode kedua.
Keinginan Koster untuk kembali berkuasa bukanlah satu hal yang aneh di tengah kehidupan berpolitik di Indonesia. Apabila Koster terpilih kembali sebagai gubernur di periode kedua, maka secara tidak langsung ia meneguhkan diri sebagai ahli strategi dan juga dicintai oleh sebagian rakyat Bali. Dalam ilmu sosiologi, hal ini dapat dijelaskan lewat teori inersia yang menyebutkan bahwa kaum kelas atas akan melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan posisinya agar tetap di atas.
Berangkat dari hal tersebut, pose dua jari yang dipamerkan Koster di akun sosial media pemerintah provinsi Bali dapat diduga menjadi salah satu upayanya untuk mendapatkan kembali kepercayaan masyarakat Bali yang mungkin hilang karena batalnya Piala Dunia U-20.
Pose tersebut juga dapat dibaca bahwa Koster ingin menyampaikan pesan bahwa dirinya ingin memimpin Bali hingga periode kedua. Lalu pertanyaan kemudian, mengapa harus di Pura Besakih?
Seperti yang sudah diketahui bersama, hari-hari ini di Pura Besakih sedang berlangsung Upacara Karya Ida Bhatara Turun Kabeh. Seluruh umat Hindu di Bali dan luar Bali sebisa mungkin menyempatkan diri untuk menghaturkan sembah baktinya kepada Ida Sang Hyang Widhi.
Saya menduga Koster mengambil momentum ini untuk mendulang kembali popularitasnya di tengah masyarakat Bali yang bisa dikatakan kini titik kumpulnya berada di Pura Besakih. Selain itu Koster juga memiliki legacy bahwa di bawah kepemimpinannya-lah penataan kawasan suci Pura Besakih terlaksana dan manfaatnya dapat dirasakan oleh umat Hindu.
Jika mengacu pada teori inersia yang sudah dijelaskan di atas, saya menduga di sisa kepemimpinannya hingga 5 September 2023 mendatang, Koster akan melakukan berbagai cara untuk meningkatkan popularitas dan elektabilitasnya ke masyarakat Bali. Hal tersebut akan lebih mudah dilakukan karena saat ini dirinya memegang kendali atas berbagai instrumen negara.
Kemudian kalau bicara soal sosial media, maka saat dirinya masih menjabat sebagai gubernur-lah dirinya akan lebih mudah mendapatkan konten yang siap diunggah ke sosial media. Jadi layak ditunggu, manuver apa yang akan dibuat oleh Koster di sisa masa jabatannya? [T]
BACAesai-esai politik lain dari penulisTEDDY CHRISPRIMANATA PUTRA