BUKAN TANPA sebab panitia sekaligus inisiator pameran “Foot Note”, Bli Yusa, Pak Man Aptika dkk, secara partikular memilih karya-karya kertas sebagai materi utama pameran.
Pilihan ini berkaitan erat dengan aspek historis ruang pamer itu sendiri, Studio Nirwana (1975) milik pelukis Wayan Teher (b.1940) yang sejak bulan Oktober 2022 lalu telah diperkenalkan kembali oleh keluarganya dalam bentuk wajah baru sebagai Wayan Teher Art Space (WTAS) berlokasi di sebelah timur Pura Tanah Lot, Tabanan.
Ide pameran ini berangkat dari semangat dan memori atas perjalanan hidup maestro seni lukis kelahiran Berembeng-Tabanan, Wayan Teher (alm). Sejak awal tahun 70-an Wayan Teher dikenal telah bermukim dan berkesenian di pesisir Tanah Lot, jauh sebelum kawasan daya tarik wisata Tanah Lot resmi dibuka pemerintah ke dunia internasional.
Jauh sebelum Tanah Lot dibanjiri oleh hilir mudik para wisatawan asing yang seolah tak pernah habis rasa rindunya pada pesona panorama Tanah Lot. Katakanlah gulungan ombaknya yang silih berganti dikoyak oleh indahnya bongkahan batu karang, terlebih juga sunsetnya yang seringkali menyihir mata sampai kalap. Ahhh..
Wayan Teher memang dikenal sebagai sosok yang nyentrik dan visioner. Saya tahu itu dari mendengar sepotong demi sepotong kesaksian ketokohan Wayan Teher langsung lewat anak-cucunya yang secara tidak langsung juga memberi impresi yang sama seperti ketika pertama saya mendengar kisah almarhum maestro lukis Denpasar I Gusti Made Deblog beberapa tahun lalu lewat sebuah project riset bersama kawan-kawan Gurat Institute.
Keduanya inspiratif dan memberi gelombang positif yang luar biasa. Meskipun persoalan yang dihadapi keduanya boleh jadi lain-lain, namun mereka tampak seperti individu yang tidak jauh berbeda. Keduanya adalah pengembara, visioner dengan karakter yang sederhana, sama-sama mencintai dunia seni lukis, dan mengabdikan seluruh hidupnya pada seni lukis.
Apabila semasa hidup Deblog punya tandem karib Rai Regug atau Ida Bagus Tugur misalnya, maka Wayan Teher punya sahabat pelukis yang bernama I Gusti Nyoman Nodia. Rumahnya berada persis di sebelah timur rumah Wayan Teher, hanya dibatasi oleh tembok setinggi bahu orang dewasa.
Bersama I Gusti Nyoman Nodia, Wayan Teher melewati tahun-tahun sulit di Tanah Lot. Terlebih mereka terkenal dengan sikap idealisnya terutama dalam menghargai karya sendiri, lagi-lagi seperti sikap yang dimiliki oleh Deblog atau katakanlah Ida Bagus Made dari Tebesaya yang sering menyerukan “lukisan saya bukan barang artshop”.
Berkat sikap tersebut hingga kini kita masih bisa menikmati sebagian besar lukisan dan arsip-arsip Wayan Teher (1975-1992) yang masih tersimpan dan terawat dengan baik dalam bale gedong sebelah selatan ruang WTAS.
Pada satu waktu, cucu Wayan Teher atau yang saya dkk akrab panggil Bli Yusa tengah mengarsip karya-karya kakeknya Wayan Teher. Pada momen ini ia menemukan sekumpulan lukisan berukuran kecil yang cukup berbeda dari lukisan yang biasa kakeknya kerjakan.
Dalam lukisan kanvasnya, Wayan Teher lebih sering mengangkat tema religius-teologis Bali, kritik sosial, hingga narasi yang sifatnya lebih personal, lukisan-lukisan kecil ini jauh dari tema tersebut. Mereka digarap di atas kertas yang seluruh permukaannya terpasang tekstur pasir pantai dan penuh dengan warna-warna tajam.
Sebagian besar objek dari kumpulan lukisan diatas kertas ini menggambarkan pemandangan seputar pesisir Tanah Lot, pegunungan, laut, dan sejenisnya. Ini memantik Yusa untuk mendiskusikan temuannya bersama ayahnya, Nyoman Aptika.
Bli Yusa memang mengaku tidak punya banyak memori tentang kakek dan aktivitasnya karena Wayan Teher meninggal ketika Bli Yusa masih berumur sekitar 2 tahun. Ia kemudian baru sejak beberapa tahun lalu setelah memilih untuk menjadi pelukis memiliki kesadaran untuk menggali tentang sosok kakeknya itu, lalu menafsir pemikiran-pemikiran kakeknya lewat lukisan, memori, serta cerita tentang kakeknya yang bertebaran di masyarakat.
Maka usut demi usut diketahuilah bahwa lukisan-lukisan kecil ini adalah karya-karya yang dibuat khusus sebagai cara atau strategi Wayan Teher bertahan hidup dan menghidupi dapur keluarganya dengan tetap setia pada profesinya. Sembari tetap melukis di atas kanvas, mereka terus memproduksi lukisan serupa postcard tersebut sebagai souvenir yang bisa ditawarkan pada para wisatawan—saat itu mereka sering bolak-balik ke Nusa Dua untuk menjajakannya.
Secara tidak langsung karya-karya kertas Wayan Teher yang cukup eksploratif inilah yang juga turut melanggengkan nafas ruang atau studio tempat ia bekerja sejak awal menginjakkan kaki di Tanah Lot.
Pameran Foot Note ini sederhananya adalah perayaan atas semangat Wayan Teher, Gusti Nyoman Nodia, dan para sahabat perupa yang mencintai profesinya. Sekaligus program kedua setelah pada Oktober 2022 lalu sukses memamerkan 9 karya koleksi pribadi alm Wayan Teher dalam rangka meresmikan ruang presentasi baru untuk seni rupa Bali.
Program kedua yang terinspirasi dari jejak Wayan Teher melalui ruang Wayan Teher Art Space pada tanggal 2 April 2023 memamerkan 25 karya (lukis, drawing, dan cetak fotografi) yang dikerjakan oleh 18 perupa dari lintas generasi diatas medium kertas.
Diantaranya alm Wayan Teher, I Gst Nyoman Nodia, Putu Sutawijaya, Nyoman Aptika, Ketut Widana, Wayan Suja, Wayan Yusa Dirgantara, Nugi Ketut, Surya Subratha, Didin Jirot, Wayan Piki S, I Gede Sukarya, I Gede Haryonoto, SRFHTH, Gilang Gelantara, Gusti Kade, Ade Ahimsa, Caesar Dwi Mahesa dan saya sendiri.
Sebagian besar karya disepakati berukuran sama yakni 210×297 mm, semua dibingkai senada dengan kaca akrilik, dan ditata dengan sistim grouping demi mengoptimalkan flow ruang berukuran manis sekitar 5×5 m persegi tersebut.
Karya-karya kertas dipilih selain berdasarkan narasi historis ruang, juga berangkat dari pertimbangan karakteristik medium itu sendiri yang serap mesra, sederhana namun penuh personalitas.
Artinya meskipun digarap diatas medium yang serupa, masing-masing karya tetap menghadirkan kisahnya sendiri.
“Masing-masing melukis realitas yang mereka hadapi,” kata Mas Syarif dalam tulisan pengantarnya.
Demikian tulisan memoar ini saya tulis untuk mengapresiasi dan mengenang momen-momen penuh kehangatan di pesisir Tanah Lot, satu lagi tempat di Bali yang ingin saya kunjungi terus bila ada kesempatan. [T]