SEORANG PECALANG tiba tiba menghentikan laju motor Grudug. Sementara itu, Grudug telat, dan mesti segera sampai di Denpasar pada waktu yang telah ia sepakati dengan teman-temannya. Grudug yakin, siapa pun akan ngedumel dalam situasi seperti itu, sebagaimana dirinya yang terperangkap dalam macet, dan telepon yang terus-menerus berdering. Hambatan ini tak terduga, tapi ada, dan selalu terasa tiba-tiba. Pecalang itu berkata pada Grudug bahwa warga banjar sedang menjalankan upacara.
Pikiran jernih mungkin hanya hadir ketika kita sedang tenang. Jalanan mulai lenggang, orang-orang mulai bubar, dan beberapa menit kemudian, macet pun terurai. Grudug suka cerita-cerita mistis—umumnya penakut seperti dirinya menyukai cerita mistis.
Ia sering mendengar cerita tentang kesakralan jalanan, lebih-lebih perempatan, pertigaan, dan semua itu adalah tempat strategis untuk ngeleak—paling tidak begitulah kisah yang ia dengar. “Jalanan, rupanya memang memberi kita waktu untuk melamun, membuat kita mudah terpancing untuk marah, dan kadang-kadang jalanan bisa mengantar kita pada maut,” Grudug mencoba memetik pesan moral dari peristiwa yang dia anggap petaka.
“Ya… jalanan memang sakral!” gumam Grudug seperti menemukan sesuatu paling baru di dunia ini. “Mungkin aku tak keliru: Kita tak pernah bisa menebak dengan akurat orang-orang yang menggunakan jalanan.
Bisa saja seorang perampok bank, atau sekelompok ormas radikal, pembunuh paling jitu, atau bahkan artis paling terkenal sedang lewat depan rumah kita. Mereka melintasi tempat—jika rumah kita di pinggir jalan—yang hanya dibatasi pagar rumah,” katanya dalam hati. “Selalu ada misteri di jalanan. Kita tak pernah tahu,” lanjutnya.
Suatu kali, Grudug melewati Ubud yang lenggang. Dari rumahnya ke Kedewatan, dalam situasi yang sepi, ia hanya membutuhkan waktu antara 15-20 menit. Tapi, dalam situasi normal, Grudug membutuhkan waktu hingga 1 jam. “40 menit sia-sia di jalan,” pikirnya.
Jalan memang memberi Grudug ruang untuk berpikir, dan merenung—karena kalau di rumah ia selalu sibuk dengan sosmed, game, atau youtube—tapi kenyataannya, jalan macet selalu membuatnya merasa sebal. “Situasi ini akan membuat kita menjadi terasing,” sanggah Grudug terhadap pikirannya sendiri.
“Mungkin, para pejabat butuh pengawal agar mereka tidak emosi di jalan. Ya, kalau mereka emosi, tentu saja mereka tak bisa memikirkan negara ini dengan jernih, bukan? Ya… ya… mereka berpikir jernih. Sementara kalau orang orang, ya boleh lah emosi, jontok-jontokan di jalan pun tak masalah.” Sesungguhnya, Grudug mulai merasa geli dengan pikirannya sendiri.
Ubud dalam kepala Grudug adalah botol—semacam botol bir. Ubud punya kapasitas tertentu namun orang-orang datang ke sana berdesak-desakan hingga air dalam botol itu meluap, tetapi tetap dipaksakan untuk menampung semua itu. Mungkin situasi ini juga mirip dengan minibus yang kelebihan penumpang: di dalam minimus terdapat banyak orang, tetapi kita tak bisa leluasa ngobrol sehingga kita tetap saja kesepian dalam keramaian itu.
Grudug merasa bahwa jalanan yang padat akan membuat orang menjadi asing, bahkan dengan tetangga di depan rumah. Ia mencoba membayangkan orang yang tinggal di sebelah selatan jalanan padat yang ingin ke sisi utara jalan.
Untuk menyeberang ke sisi utara jalan, tentu seseorang itu harus menunggu jalanan lebih lenggang, dan itu butuh kesabaran, padahal jarak seberang tak lebih dari 5 meter. “Barangkali, hubungan kita dengan tetangga juga dipengaruhi oleh kepadatan lalu lintas,” kata Grudug dalam hati.
Kisah ini Grudug dengar dari seorang kawannya. Cerita itu benar-benar melekat dalam kepala Grudug. Temannya itu adalah orang beruntung yang sempat mengalami perubahan kondisi jalanan di sana—situasi jalanan yang sepi, yang belum menjadi jalur alternatif pariwisata, hingga menjelma jalanan padat, pepat, dan menyebalkan.
Teman Grudug itu merasakan hal yang paling sederhana telah berubah. Dulu, temannya itu kerap membeli rujak, tipat cantok, atau barang-barang lain di seberang rumahnya, tapi kini tidak lagi.
Memang terlihat sepele, tapi hal ini selalu membuatnya menggerutu. Pasalnya, hal ini adalah masalah, tapi Grudug tak pernah menemukan jalan keluar. Ah.. dasar Grudug. Meskipun ia menemukan jalan keluar, toh ia tak akan melakukan apa-apa.
Sejak jalanan di desa itu menjadi semakin macet, ia mulai jarang membeli makanan di seberang. Bahkan, ketika ia benar-benar menginginkan sesuatu yang dijual di sana, teman Grudug itu merasa lebih baik menahan keinginannya, yang lama-lama membuatnya benar-benar tak menginginkan hal-hal itu. Grudug memiliki pertanyaan lain, “Bagaimana dengan hubungan mereka, yang dulunya kerap saling singgah-menyinggahi, lalu dihadang oleh kepadatan jalan raya?”
Cerita itu muncul begitu saja dalam kepala Grudug ketika ia dihentikan oleh Pecalang, dan ia melanjutkan lamunannya sambil menarik pelan gas motornya: “seandainya warga di wilayah-wilayah padat itu tidak memiliki alasan untuk berkegiatan di jalanan, mungkin mereka akan tersekat selamanya oleh jalanan yang tak ramah itu,” Grudug menelan ludah. Perasaan kesal itu ia singkirkan karena menurutnya, ada hal penting yang orang-orang desa sedang lakukan.
Tampaknya Grudug mulai bijaksana, ia memikirkan warga yang melakukan perjalanan sepanjang desa atau dari satu desa ke desa lainnya. Ia percaya bahwa upacara seperti “Melancaran” yang biasa dilakukan dari ujung desa ke ujung lainnya akan memberi kedekatan antara penghuni dan ruang itu sendiri.
“Jalan kaki akan membuat siapa pun menjadi sehat (sedangkal itulah cara Grudug memikirkan cara untuk sehat) dan jalan kaki akan membuat kita membayangkan tata letak perumahan, melihat situasi desa secara lebih khusyuk, dan semua itu mungkin bisa dibayangkan sebagai cara untuk menghilangkan keasingan yang diciptakan oleh jalanan, lebih-lebih jalanan yang padat.”
Bagi perantau seperti Grudug, desa adalah rumah, dan itu berarti rumah bukan hanya sekedar pekarangan yang telah dibatasi pagar. Sementara itu, Grudug tetap melamun, dan tetap tidak menemukan satu pun jawaban dari pertanyaan-pertanyaannya. Mungkin, Gurudug tak butuh jawaban, ia hanya butuh melamun. [T]