SEBENARNYA SAYA tidak terlalu kaget ketika membaca berita yang berseliweran di layar gawai saya. Berita tersebut menyebutkan kalau kelompok Relawan Ganjar Pranowo Mania (GP Mania) bubar. Hal tersebut langsung disampaikan oleh Immanuel Ebenezer selaku Ketua Umum Relawan GP Mania.
Ia menyebutkan kalau Ganjar Pranowo bukanlah sosok yang pantas untuk menjadi Presiden RI menggantikan Joko Widodo. Ia menambahkan hingga dua tahun terbentuknya relawan ini, belum ada gagasan orisinal yang ditemukan dari sosok Ganjar Pranowo yang saat ini masih mengemban tugas sebagai Gubernur Jawa Tengah.
Dalam alam demokrasi, sekumpulan orang yang menghimpun diri dalam sebuah kelompok adalah sebuah keniscayaan, dan hal tersebut juga dijamin dalam UUD NRI 1945. Dan jelang Pemilu 2024 yang menyisakan kurang dari satu tahun, sudah begitu banyak sebenarnya kelompok relawan yang terbentuk dan memiliki tujuan berbeda pula.
Misal, sebut saja Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) yang merupakan kelompok pendukung Anies Baswedan. Kemudian ada Barisan Relawan Airlangga (Baralangga) sebagai kelompok pendukung Airlangga Hartarto yang juga Ketua Umum Golkar, juga ada Dewan Kolonel yang hadir untuk mendukung Puan Maharani menjadi Presiden RI di tahun 2024.
Beda Relawan Kemanusiaan dan Relawan Politik
Jika merujuk pada kata “relawan”, maka kata tersebut memiliki arti orang yang tanpa dibayar menyediakan waktunya untuk mencapai tujuan organisasi, dengan tanggung jawab yang besar atau terbatas, tanpa atau dengan sedikit latihan khusus, tetapi dapat pula dengan sedikit latihan yang sangat intensif dalam bidang tertentu, untuk bekerja sukarela membantu tenaga profesional.
Kemudian merujuk definisi yang lain, relawan merupakan merupakan orang-orang yang tidak memiliki kewajiban menolong suatu pihak tetapi memiliki dorongan untuk berkontribusi nyata dalam suatu kegiatan dan berkomitmen untuk terlibat dalam kegiatan yang membutuhkan kerelaan guna mengorbankan apa-apa yang dia miliki, baik berupa waktu, tenaga, pikiran, serta materi untuk diberikan kepada orang lain.
Keberadaan relawan sendiri biasanya hadir di tengah-tengah situasi dan keadaan yang sulit, seperti bencana alam.
Maka sudah sangat wajar ketika terjadi bencana alam di pelbagai wilayah Indonesia, maka rakyat Indonesia akan berbondong-bondong untuk saling membantu meringankan beban saudara yang tertimpa bencana.
Mereka akan berkontribusi lewat tenaga, hingga harta yang dimilikinya—bahkan tanpa dikomando. Apalagi mengharapkan imbalan, saya pikir para relawan yang bergerak di kemanusiaan tidak akan pernah berpikir demikian.
Tapi bagaimana dengan kelompok-kelompok relawan dalam dunia politik? Apakah mereka bergerak berdasar atas kerelaan mereka untuk mengorbankan segala yang dimiliki?
Sejatinya saya meragukan keberadaan kelompok-kelompok relawan dalam dunia politik Indonesia. Peter Merkl dalam Miriam Budiardjo menyebutkan bahwa “Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan sosial yang baik dan berkeadilan”, namun di sisi lain Peter Merkl juga menyebutkan bahwa “Politik dalam bentuk yang paling buruk, adalah perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri” atau secara singkat dapat kita bahasakan “politik adalah perebutan kuasa, tahta, dan harta”.
Barang kali berangkat dari definisi tersebut, saya pikir tidak hanya politisi yang berlomba merebut kuasa, tahta, dan harta, tetapi juga para relawan politik tersebut. Atau saya menyebutnya “politisi berbaju relawan”.
Kenapa saya menyebutnya sebagai politisi berbaju relawan? Sangat sederhana. Karena mereka-mereka ini hadir hanya di saat jelang perhelatan Pemilihan Umum—sisanya mereka kemana? Keraguan saya menguat setelah membaca data bahwa tidak sedikit relawan-relawan yang ketika tokoh dukungannya memenangkan kontestasi, mereka mendapatkan “kue” untuk dinikmati. Setidaknya ada 6 (enam) orang yang berasal dari relawan dan berhasil menduduki kursi-kursi empuk dengan pelbagai tunjangan di dalamnya. Siapa saja mereka?
Dilansir dari laman cnbcindonesia.com daftar 6 nama tersebut, yaitu Fadjroel Rachman (pendukung Jokowi sejak 2014) pernah menjadi Staf Khusus Presiden & Komisaris PT Wijaya Karya Tbk (WIKA) dan kini menjadi Duta Besar RI untuk Kazakhtan merangkap Republik Tajikistan. Andi Gani Nena Wea (Ketua Umum Relawan Buruh Sahabat Jokowi) berhasil duduk sebagai Komisaris Utama & Independen PT PP Tbk, Ukin Ni’am Yusron (Penggiat Media Sosial Pendukung Jokowi) duduk sebagai Komisaris ITDC. Kemudian ada Eko Sulistyo (Tim Relawan Jokowi) duduk sebagai Komisaris PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), lalu Dyah Kartika Rini (Jokowi Advanced Social Media Volunteers) sebagai Komisaris Independen Jasa Raharja, dan Kristia Budiyanto (Influencer Jokowi—pemilik akun twittwe @kangdede78) berhasil duduk sebagai Komisaris Independen PT Pelayaran Nasional Indonesia (PELNI).
Kalau melihat dari jabatan yang diperoleh, keseluruhan merupakan jabatan yang sangat bergengsi atau bisa dikatakan masuk grade A. Hehe. Kemudian untuk apa publik harus menanggapi secara serius bubarnya kelompok relawan GP Mania besutan Immanuel Ebenezer? Bisa saja alasan-alasan yang diungkapkan oleh Immanuel Ebenezer yang sudah saya ungkap di atas adalah alasan semu untuk menutupi alasan sesungguhnya. Belum adanya kepastian Ganjar Pranowo akan melaju sebagai Calon Presiden (capres) dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) bisa jadi menjadi salah satu faktor utama.
Meski dalam HUT PDIP ke-50 kemarin, Megawati Sukarnoputri selaku Ketua Umum sudah menyatakan secara tegas bahwa calon yang akan diusung partainya adalah kader, tapi tidak ada jaminan bahwa Ganjar-lah orangnya, meski Ganjar secara survei masih berada di peringkat atas bersama Anies Baswedan dan Prabowo Subianto. Belakangan beredar lima nama kader PDIP yang digadang-gadang akan diusung sebagai Presiden RI. Sebut saja, Puan Maharani sang Puteri Mahkota, lalu ada Ganjar Pranowo, disusul oleh Budiman Sudjatmiko, Abdullah Azwar Anas, dan terakhir adalah Tri Rismaharani. Tentu jalan mendapatkan tiket capres masih sangat panjang.
Lahir hingga bubarnya kelompok-kelompok relawan pendukung tokoh-tokoh potensial jelang perhelatan politik adalah bagian dari demokrasi Indonesia yang tidak bisa dihindarkan. Hal tersebut jadi ajang menuangkan ekspresi kesukaan dan dukungan terhadap tokoh-tokoh yang mereka dukung.
Namun patut diingat bahwa kelompok-kelompok relawan ini hadir untuk sebuah tujuan—tidak hanya untuk mencapai tujuan kelompoknya, tapi juga ada tujuan pribadi masing-masing dari mereka. Bukankah pesta demokrasi hari ini sangat amat bisa dimanfaatkan semua orang sebagai ladang mencari nafkah? Jadi jangan dihujat, cukup perhatikan dan maklumi saja. Hehehe. [T]
BACA artikel lain dari penulis TEDDY CHRISPRIMANATA PUTRA