BAYANGKAN, aku sudah duduk di café ini sejak pagi, saat mereka baru saja meletakkan papan menu spesial hari ini di depan pintu. Pelayan mempersilakanku masuk dengan ramah, lalu aku memesan segelas kopi dan roti bakar paket hemat seharga 20 ribu rupiah.
Kubuka laptop dengan riang sambil berharap dengan bekerja di tempat yang lebih terlihat mahal dibandingkan dengan ruang kerja rumahku yang sumpek penuh barang di sana sini, bisa membuka dan menerangi jalur imajinasiku yang gelap gulita. Bukan lagi pemadaman bergilir yang melanda tapi hampir pemadaman permanen.
Karena sekarang sudah lewat tengah hari, telah pula tandas tiga paket hemat dan sebungkus rokok, layar laptop masih seputih kulit Putri Salju. Gawat ini gawat.
Ke mana perginya kata-kata? Entah pikiran ini sedang kosong atau malah terlalu banyak narasi yang berebut ingin dituliskan. Perlombaan yang tidak dimenangkan oleh cerita manapun kali ini kurasa. Karena tak satu pun di antara mereka yang memperlihatkan dirinya di layar.
Alunan musik jazz dan beberapa orang di sampingku terlihat begitu sibuk dengan laptop masing-masing. Sesekali mereka meneguk minuman pesanan di atas meja. Aku pun setia berkutat dengan laptopku sendiri, juga secangkir kopi dan roti bakar paket hemat yang kupesan lagi.. Kupandangi layar yang masih putih di hadapanku.
Terlalu banyak yang terjadi membuat imajinasi seperti mengurungkan niatnya muncul. Ia memilih menyembunyikan diri di balik tumpukan kejadian yang terekam acak di dalam otak. Biasanya, ia dengan jemawa menyombongkan diri dan menghasilkan fiksi yang membuat pembacanya larut.
Apakah beberapa waktu ini ia menjadi pemalu karena realita jauh lebih fiksi dari imajinasi itu sendiri?
Aku rasa begitu, banyak yang dirasakan tubuh ini. Saking tak terhitungnya, mata dan telinga memilih untuk pingsan sementara. Namun, otak enggan rehat dan memilih meneruskan kegiatannya memikirkan hal-hal yang tidak seharusnya dipusingkan. Memaksa mata terbuka dengan malas. Rasa tak suka ditunjukkan dengan perih yang teramat sangat hingga air mata menyeruak di sudutnya.
Sial, pikirku. Perdebatan otak dan kepala yang tidak terelakkan membuat rasa kopi susu manis ini hambar. Begitu pula jari-jari yang biasanya menari dengan liarnya di atas papan huruf seketika kaku. Ia lebih semangat menyulut rokok, mengarahkannya ke bibir untuk mengepulkan asap beraroma mint segar. Berharap dari asap itu, imajinasi mendapatkan sedikit keberanian untuk memunculkan entah ujung rambut atau melongokkan sedikit kepalanya.
“Kau sedang menulis apa?”
Wawan, seorang teman sesama penulis mengintip layarku penasaran. Sedari tadi ia cekatan mengetik ratusan bahkan ribuan kata di sebelahku. Imajinasinya berhamburan di atas layar.
“Kosong?” tanyanya heran sembari memandangiku yang sedang menyalakkan sebatang rokok lagi.
“Kepalaku buntu. Otakku semrawut,” jawabku singkat. Menoleh sedikit ke layar laptop Wawan yang penuh tulisan, aku meringis.
Nutrisi otak Wawan lebih berkualitas dariku. Ia memberi asupan yang bergizi dengan membaca banyak buku dan jurnal penuh ilmu. Segala isi buku dikunyahnya lahap. Ia mampu mengingat hal-hal menarik dari huruf-huruf yang ia baca. Aku iri. Sedangkan aku, aku tak pernah mengingat hal penting dari dalam buku.
Aku lemah dalam menelaah filsafat maupun topik dengan isu yang berat. Berpikir mendalam bukan kapasitasku, hanya cerita fantasi dan fiksi ringan yang ku nikmati dengan senang hati. Isi kepalaku terlalu rumit untuk hal sederhana tapi terlalu sederhana untuk hal rumit.
Aku bersandar dan memandang langit-langit café sambil memilah ingatan yang mungkin cukup menarik untuk diceritakan ditambah racikan bumbu di sana sini. Kejadian demi kejadian silam satu per satu mulai berputar pelan namun kusut. Sial. Kucari ujungnya, kutarik perlahan. Berharap jika kulakukan tidak terburu-buru, kecarutmarutan ini bisa lepas dan lega. Mungkin kisah-kisah itu tumpang tindih, saling gelut, saling ikat hingga terlalu sulit menemukan ujung dan mulai mengurainya kembali. Bahkan jika aku salah menarik ujungnya, bisa-bisa carut marut itu makin terkunci dan membuatku menjadi gila.
Sudah tidak produktif, gila pula. Kurang apa lagi? Bagaimana bisa kusebut diriku penulis jika otakku berbuat semaunya?
Kecemasan mulai menghantui, kelak kala teman-teman sepenulisanku telah menerbitkan karya mereka di media nasional maupun internasional, menjadi pembicara di sana sini, bahkan jadi kritikus sastra, aku akan tetap begini-begini saja. Hanya menjadi penulis cerita pendek yang di-publish di blog sendiri dengan pembaca yang tidak seberapa.
Satu-satunya judul buku yang telah kuterbitkan hanya dibeli teman-teman yang kasihan karena tabunganku habis untuk biaya cetak. Sangat menyedihkan.
“Sudah makan? Mungkin kau butuh makanan untuk mengisi perutmu dan otakmu bisa bekerja lagi.” Wawan menawarkan semangkok penuh kentang goreng dengan asap mengepul di atasnya. Aroma gurih kentang begitu menggoda.
“Bagaimana kalau aku menulis tentang kentang goreng?” tanyaku antusias.
Wawan mengambil satu kentang lalu mengunyahnya lahap.
“Boweeh juhaa,” jawabnya di sela kunyahan kentang goreng yang panas.
Aku kembali menghadapi layar laptop dan papan huruf sambil memandangi sepiring kentang goreng hangat yang sedikit demi sedikit berkurang isinya, lahap dikunyah Wawan. Seandainya kehangatan itu bisa mencairkan perang yang sedang berlangsung di kepalaku. Perang dingin sudah berlangsung hampir seharian.
Ketika alunan musik berganti untuk yang entah keberapa kalinya, jari-jariku seperti kesurupan. Ternyata aroma kentang goreng dipiring Wawan akhirnya mampu menggugah imajinasi. Sambil mengetik dengan tergesa, mataku terpaku pada sepasang kekasih yang sedang bertengkar di meja pojok samping jendela.
Muka mereka sangat masam, aku teringat masamnya bau ketiak seorang pria yang pernah kukencani hanya selama dua hari. Jika lebih dari dua hari, aku takut tidak hanya kehilangan waktu tetapi juga indera penciumanku. Apa susahnya sih mandi dua kali sehari memakai sabun atau mengoleskan deodoran setelahnya? Otakku kembali mengingat hal yang tidak penting. Aku menepuk kedua pipiku untuk tetap fokus sebelum aroma kentang ini sepenuhnya bersemayam di dalam perut Wawan.
Masih memandangi pasangan itu dari kejauhan, kali ini si wanita menangis tanpa suara. Dia berusaha menyembunyikan kesedihan dan kekecewaannya dengan menutup mulut menggunakan kedua tangannya, tapi air mata terus mengalir dari kedua mata sembabnya.
Si pria dengan angkuhnya menyilangkan tangannya sambil menunjuk-nunjuk wajah si wanita. Jarakku tidak cukup dekat untuk menguping pembicaraan mereka yang amat dramatis itu.
Aku sangat penasaran, rasa ingin tahu malah membuat jariku semakin sulit dikendalikan. Huruf demi huruf tercetak di sana mengarang cerita tentang romantisme juga peliknya dilema pasangan di samping jendela itu, bagaimana mereka bertemu, mengapa mereka bertengkar, apakah bau badan si pria juga sama masamnya dengan laki-lakiku dulu. Aku tersenyum senang. Akhirnya aku bisa menulis lagi.
“Heiii Kauuu!”
Laki-laki di samping jendela berteriak dan mengacungkan jarinya padaku. Aku menoleh ke kanan, kiri, depan, dan belakang. Tidak ada orang lain, hanya diriku. Sudah jelas pria itu mengarahkan jarinya kepadaku. Tapi, ke mana Wawan? Mungkin aku tidak menyadari kepergian Wawan karena asyik mengetik.
“Hei! Hei!” teriaknya lagi, membuatku terlonjak mundur dan jatuh dari kursi.
Aku mencoba membuka mata dan berusaha bangkit dengan tergesa. Namun, badanku tertempel di lantai, kedua kaki ini menolak bergerak, begitu pula mata yang sedari tadi berusaha kubuka masih betah terpejam. Jantungku berdetak tak karuan. Begitu takut lelaki tadi akan mencercaku dengan kalimat makian.
Tanganku mulai menggapai-gapai udara. Ingin sekali berteriak meminta bantuan siapapun. Jangankan berteriak, mengeluarkan satu kata saja aku tidak mampu. Dalam kepanikan, samar terdengar panggilan yang memanggil namaku. Aneh, kenapa laki-laki itu tahu namaku?
“Hei! Bangun, Uning! Kemuning. Bangun!” kata seseorang.
Saat mata terbuka sepenuhnya, bukan laki-laki itu yang kulihat, melainkan Wawan dan pegawai café yang berjongkok di depanku.
“Hei, Uning. Café ini sudah mau tutup. Ayo bangun!” ucap Wawan sedikit berteriak sembari mengulurkan tangannya untuk membantuku berdiri.
“Tutup? Mana lelaki yang tadi berteriak padaku? Lalu perempuan yang menangis tadi?” tanyaku pada Wawan.
Wawan hanya menghela napas sambil menepuk pundakku. Aku memperhatikan sekeliling, café ini sudah sepi. Hanya tersisa kami bertiga dan layar laptopku yang masih kosong. [T]
[][][]