Tulisan ini seharusnya dibuat dan dimuat sebulan atau dua bulan yang lalu, saat tahun belum berganti dengan yang baru. Sayangnya, kesibukan menjelang akhir tahun, adanya training kerja, beberapa test kemahiran berbahasa, dan urusan-urusan lain yang tak bisa ditinggalkan begitu saja, membuat saya baru sempat dan baru punya mood yang bagus untuk menuliskannya.
Jadi begini, saya selaku penggagas Ceritanya Creative Movement, kembali mengadakan screening film dan diskusi bertajuk Expect the Unexpected di Tabanan pada Rabu, 21 Desember 2022. Acara saat itu bertempat di Sumber Nikmat, sebuah local space berlokasi di Jalan Ahmad Yani Lt. II Alfamart dan belum lama berdiri di Tabanan, namun kehadirannya sudah cukup digandrungi banyak kalangan. Para owner dari Sumber Nikmat pun menyambut baik acara tersebut.
“Kami ingin Sumber Nikmat menjadi sarana kreatif semua lini seni, akan sangat menyenangkan terus bisa bekerja sama dengan teman-teman musik, film, art work, dan lain-lain. Semoga acaranya berjalan lancar. Rahayu,” kata salah seorang dari para owner yang ada. Wah, terima kasih banyak saya ucapkan secara tulus, Bli.
Sumber Nikmat memang menjadi ruang yang bagus untuk acara-acara kreatif. Makanannya enak, minumannya tak kalah nikmat. Signature drink-nya apalagi. Wih, mantap dan terjangkau pula harganya. Hanya saja, karena peserta saya saat itu kebanyakan anak-anak sekolah menengah atas, belum menginjak usia 17, dan masih berada di bawah pengawasan orang tua, akan sangat bersalah sekali rasanya jika saya menyarankan mereka untuk minum minuman agak keras. Jadilah saya merekomendasikan mereka untuk memesan teh es dengan berbagai varian rasa, pun makanan dan cemilan cocok sebagai teman menonton film.
Suasana acara screening film dan diskusi Expect the Unexpected di Sumber Nikmat | Foto: Indra Nata.
Acara screening film dan diskusi bertajuk Expect the Unexpected itu dihadari oleh 30 peserta. Sebagian dari mereka adalah perwakilan dari SMA/SMK yang selalu mendapat undangan dari saya, diantaranya SMAN 1 Kediri, SMAN 1 Tabanan, SMAN 2 Tabanan, dan SMKN 1 Tabanan. Sebagian lagi dari komunitas-komunitas anak muda di Tabanan yang patut diakui keberadaan dan kiprahnya di bidang masing-masing, seperti Forum Anak Daerah Kabupaten Tabunan, Forum Generasi Berencana Kabupaten Tabanan, dan Teater Jineng SMAN 1 Tabanan.
Sisanya ya teman-teman saya sendiri yang jauh-jauh datang dari Denpasar untuk men-support acara saya katanya. Kehadiran mereka sebenarnya membuat saya terharu. Pasalnya, satu jam sebelum acara dimulai, hujan tiba-tiba turun tanpa aba-aba. Tanpa isyarat apa-apa. Tanpa hitungan satu dua tiga.
Saya mulai panik saat itu. Berharap hujan yang turun hanya hujan main-main alias hanya ingin memberikan mental shock kepada saya selaku penyelenggara acara. 10 menit pertama hujan masih turun, 10 menit selanjutnya hujan masih tetap turun, 10 menit kemudian barulah hujan sedikit reda. Saat itulah satu persatu peserta mulai berdatangan. Ada sedikit noda basah di beberapa sisi pakaian yang mereka kenakan.
Saat jam dinding menunjukan pukul 19.00 WITA, acara pun dimulai. Ada 4 film pendek pilihan yang ditayangkan malam itu, yaitu “Pengen HP” karya I Made Suarbawa, “Tergila-gila” karya Nirartha Bas Diwangkara, “Leak” karya Dread Team, dan “On That Day I Met Marry” karya I Kadek Indra Agustina.
Moderator memperkenalkan para pembicara | Foto: Indra Nata
Film-film pendek tersebut memang dibuat oleh sineas atau filmmaker lokal berbasis di Bali, namun karya-karyanya sudah tembus di berbagai gawang festival film, baik nasional maupun internasional, seperti AntiCorruption Film Festival yang diadakan oleh KPK RI, serta Indonesia Raja dan Minikino Film Week: International Short Film Festival yang diadakan oleh Minikino.
“Pengen HP” (14:00) bercerita tentang Sekar, seorang gadis remaja berusia 16 tahun yang ingin sekali memiliki HP baru yang lebih canggih dan mutakhir, agar bisa tetap gaul. Namun ibunya yang bekerja sebagai tukang setrika dan menerima pesanan Canang (sesajen), tidak mampu memenuhi keinginan Sekar. Di antara konflik Sekar dan Ibu, hadirlah Ayu, salah satu teman sekolah Sekar yang berbaik hati memberikan HP yang bisa dicicil kapanpun bila Sekar ada uang. Dalam usaha melunasi HP baru tersebut, Sekar mengupayakan berbagai cara termasuk melalui jalan pintas yang ditawarkan Ayu.
“Tergila-gila” (15.55) mengisahkan seorang gadis berusia 14 tahun yang sedang menghadapi kebangkitan seksual dan dorongan alami yang kemudian membawanya pada ketertarikan fisik terhadap pamannya yang menderita skizofrenia. Sementara pada saat ia juga menginginkan seorang anak laki-laki populer di kelasnya. Tumbuh adalah hal yang sulit, terutama ketika tidak ada yang mempersiapkan segalanya. Seks adalah topik yang tabu dalam percakapan keluarga, seperti halnya keluarga yang menderita skizofrenia. Film ini bertujuan untuk sedikit mengungkap kehidupan masyarakat Bali.
“Leak” (17:18) menayangkan empat orang mahasiswa yang berencana membuat penelitian tentang penyihir jahat di Bali yang disebut Leak. Berawal dariinformasi yang diberikan oleh Jero Mangku (pendeta adat di Bali) terhadap keberadaan Leak, mereka pun sepakat untuk menuju kuburan di waktu malam hari. Penelitian yang mereka lakukan seketika berubah menjadi teror saat leak yang mereka cari justru memburu mereka berempat.
“On That Day I Met Marry” (08:53) mengisahkan Daniel yang diminta untuk menjaga sebuah humanoid bernama Marry ciptaan pamannya yang merupakan seorang ilmuwan. Tinggal berdua di rumah yang sama Marry membangkitkan perasaan yang berbeda di hati Daniel. Ia jatuh cinta dengan humanoid tersebut. Film ini menjadi salah satu film yang sangat disukai para penonton. Kemajuan teknologi yang menjadi subteks menghadirkan latar futuristik yang tentu saja menjadi ketertarikan bagi generasi saat ini.
Mengupas Proses Kreatif adan Rasa Penasaran Manusia
Dalam acara screening film dan diskusi malam itu, saya menghadirkan 2 orang pembicara. Keduanya masih teman saya juga, yaitu Eka Dirgantara dan Wulan Dewi Saraswati. Terima kasih kepada mereka berdua jauh-jauh dari Denpasar sudah berkenan hadir di Tabanan, menerobos hujan di tengah dinginnya malam.
Eka Dirgantara adalah salah satu penggagas Dread Team, sebuah kelompok kreatif yang dibentuk tahun 2014 untuk menciptakan karya audio visual berbasis horror, thriller dan teman-temannya, pun memuat mitos-mitos yang lekat dengan kehidupan sehari-hari. Bli Eka, bersama dua temannya, Gung Yudha dan Gung Ws mengangkat tema horror sebagai salah satu cara untuk melestarikan konsep bercerita, yang berkaitan dengan isu-isu lokal di tengah masyarakat. Di Bali sendiri ada banyak penikmat horror, namun sedikit sekali dan sangat jarang ada ynag mau memproduksi film horror secara serius.
Wulan Dewi Saraswati, merupakan seorang penulis, sutradara, pendiri sekaligus direktur kreatif Komunitas Aghumi, sebuah komunitas sastra, teater, dan musik berdasarkan tarot. Ia pernah menjuarai berbagai lomba dan sayembara menulis, seperti Juara 1 Penulisan Naskah Drama se-Bali tahun 2018 oleh Dinas Kebudayaan Provinsi Bali, pemenang Sayembara Cipta Puisi Nasional Solusi Buku Tahun 2020, pemenang pertama Unspoken Bali Poetry Slam 2018, dan menjadi penulis skrenario film pendek “Samsara”. Naskahnya dihimpun dalam antologi “Penjarah” terbitan Dinas Kebudayaan Provinsi Bali (2017) dan “Protozoa dari Mulut Egri” (2021).
Pembicara berbagi proses kreatif mereka dalam dunia perfilman | Foto: Indra Nata
Bli Eka menuturkan ia bersama Dread Team membuat film dari rasa iseng untuk mengangkat isu lokal yang ada di Bali dan yang dekat dengan kehidupan masyarakat Bali. Ia bercerita tentang proses kreatif dibalik film-film yang mereka produksi, terutama film “Leak”.
“Sebelumnya kita bikin film mitos berdurasi 2-3 menit, kemudian kita coba bikn film yang lebih panjang, sekitar 10 menitan. Nah, kita itu modalnya sangat kecil. Yang kemera itu sebenarnya jadi aktor juga. Itu kita bikinnya saya sih ide pertamanya coba bikin yang erat kaitannya dengan Bali, makanya kita bikin ceritanya tentang Leak itu tadi. Terus kita bertiga berembug, ceritanya kaya gimana, siapa aktornya, dan jadilah filmnya,” ujar Bli Eka.
Proses syuting yang ia dan teman-temannya lakukan hanya 2 hari. Kenapa mereka membuatnya dalam waktu 2 hari? Karena budget. Film semakin lama hari pembuatan filmnya, budget-nya juga akan semakin membengkak. Itulah mengapa dalam waktu 2 hari proses syuting harus sudah selesai dilakukan. Hari pertama untuk adegan mengobrol bersama Jro Mangku. Besoknya, mereka langsung tancap gas menuju perbatasan Bangli dan Gianyar. Mereka pergi ke rumah salah seorang teman mereka. Di sana, halaman belakangnya cukup bagus untuk dijadikan lokasi syuting. Mirip seperti lokasi di kuburan di Bali pada umumnya, luas, dipenuhi pepohonan dan semak belukar.
“Rencana awal kita jam 7 malam sudah mulai, tidak mau lebih dari jam 10, kan horror juga karena di teba (halaman belakang). Jeleknya pas syuting tiba-tiba hujan dari jam 8 sampai jam setengah 11. Akhirnya jam 11 sampai jam setengah 1 kita baru selesai shooting.” imbuhnya.
Bli Eka juga menuturkan, adegan yang paling menguras tenaga adalah saat para pemain harus berlari-lari karena dikejar leak. Mereka menghabiskan waktu hampir 3 jam hanya untuk mengambil scene tersebut. Dalam pembuatan film Leak tersebut, mereka tidak terlalu memikirkan pengambilan gambar, karena mereka ingin menghadirkan kesan nyata dan realistis kepada siapapun yang menontonnya. Dengan begitu, penonton seperti berada langsung di dalam film tersebut.
“Kalau film-film biasa ada take ulang. Nah film Leak ada yang sekali take, ada beberapa yang ngobrol sama Jro Mangku kita take ulang karena di sana kan informasinya lebih padat ya. Produksi paling susah itu pas editingnya, hampir 3 – 4 hari. Biasanya itu yang lama, di editing yang lama, kalau ambil gambar kembali ke budget. Brarti syuting 2 hari, editing 3 sampai 4 hari. Kira-kira seminggu lah ya.” sambungnya lagi.
Sebagai orang Bali, sebelum memulai proses syuting, ia juga sudah meminta izin terlebih dahulu dengan menghaturkan canang dan pejati. Terlebih karena lokasi syuting mereka ada di teba dan dilakukan saat tengah malam. Terlebih lagi, karena film yang mereka buat berkaitan dengan hal-hal mistis. Syukurlah, selama proses syuting, tidak terjadi hal-hal gaib atau ganjil.
Menyoal mengapa Dread Team memilih untuk membuat film-film horror, Bli Eka berkata karena ia dan teman-temannya memang menyukai genre tersebut, meski sebenarnya mereka bertiga adalah penakut. Horror yang disuka pun berbeda-beda. Bli Eka sendiri menyukai horror bertemakan sadis, gore, dan sebagainya. Bli Gung Yudha lebih ke horror yang memang ada hantu dan makhluk gaibnya.
“Kalau kita bikin film harus suka dulu, itu yang pertama. Dan penemuan-penemuan idenya ya karena suka, kalau film-film dikit banget yang ambil genre horror, kebanyakan genre drama, dokumenter, makanya kita mengambil tema horror itu.”
Wulan Dewi Saraswati berbagi kiat-kiat mengembangkan ide cerita jika ingin membuat sebuah film pendek. Ia sendiri juga adalah seorang penikmat film-film indie yang hadir dalam berbagai festival film, pun pernah terjun langsung merasakan bagaimana membuat film pendek di masa kuliah dan mendapat kesempatan untuk membuat scenario film pendek “Samsara” belum lama ini.
“Halo selamat malam. Perkenalkan aku Wulan. Jadi proses membuat film itu dari pembuatan cerita harus sangat sangat padat dan sarat akan makna kehidupan. Karena singkat, tidak seperti film avatar yang 3 jam, tidak seperti series atau drama Korea yang 12 episode, tetapi bagaima caranya dalam waktu 12 menit kalian sudah mendapatkan premis. Kalau dalam story telling, jika kita mau membuat naskah yang terpenting adalah premis. Premis itu apa sih Kak? Premis itu ada sebab akibat. Jadi ketika kamu penasaran bisa dijawab dengan sesuatu, misal ketika kamu berbuat jahat maka kamu akan menjadi Leak, ketika kamu melanggar peraturan kamu akan dimakan Leak. Nah, itu premis dari film Leak yang saya tangkap dari segi penonton. Temukanlah premis-premis seperti itu,” ujar Wulan di hadapan para peserta.
Menurut Wulan, film pendek bukan tentang peniruan, tapi tentang hakekat kehidupan manusia. Dari film-film yang sudah disaksikan bersama itu, dapat disimpulkan bahwa manusia punya rasa penasaran yang tinggi, sehingga tidak bisa membendung dan kemudian melanggar aturan.
“Menurutku film-film yang hadir tadi adalah sebauh ungkapan emosional rasa penasaran seorang individu terhadap suatu hal, entah penasaran terhadap hasrat seskual, hasrat mistis, ada penasaran terhadap hasrat-hasrat tertentu yang kemudian dijawab dengan tindakan-tindakan dan impact terhadap dirinya. Nah rasa penasaran itulah yang dicoba digarap oleh Bli Eka dan teman-teman membuat film itu. Menruutku bagusnya film pendek, apalagi film yang ditayangkan tadi adalah dengan mengeskplorasi rasa penasraan kemanusiaan itu. Kalau kalian tidak punya rasa penasaran, tidak punya rasa gelisah, jangan jangan kalian robot.” sambung Wulan.
Ia juga mengatakan penonton sangat bebas menginterpretasikan makna-makan dan pesan-pesan yang disampaikan dari film-film yang mereka tonton. Di sanalah letak menariknya film pendek untuk ditayangkan, karena ada multiinterpretasi dan pemaknaan yang lebih luas lagi.
Menyoal Kepenulisan Naskah
Seiring berjalannya waktu, semakin banyak peserta yang mulai mengajukan pertanyaannya, mencari jawaban atas rasa penasaran mereka seputar proses kreatif membuat film, atau tentang film-film yang sudah mereka tonton bersama. Salah seorang dari mereka bertanya tentang kebingungan yang pernah ia alami saat membuat film. Naskah yang ia buat sebenarnya sudah jadi. Namun saat dibaca-baca lagi, ia baru menyadari mengapa ada beberapa adegan atau scene yang tidak nyambung. Lalu bagaimana cara mengatasinya?
“Ee tunggu sebentar. Ceritanya sudah selesai, tapi baru kamu sadar ceritanya tidak nyambung. Berarti ceritanya yang salah itu. Jangan dulu buat scenenya. Selesaikan dulu plotnya. Nah plot jangan dulu dijadikan cerita. Cerita plot alur kan berbeda ya. kalau dalam bahasa Indonesia kan ada kalimat utama. Buat kalimat utamanya dulu, buatin plot dulu. Plot 1 dia makan, plot 2 dia ketemu teman. Lho kok jauh ya tiba tiba ketemu teman, berarti dari plot 1 dia makan plot 2 dia ketemu teman, di tengah tengahnya ada temannya datang saat dia makan. Jadi jangan dulu dijadikan scene ketika plot belum rapi,” ujar Wulan menjawab pertanyaan.
Bli Eka juga mengutaran jawabannya. Baginya yang pertama yang harus ditentukan adalah premis ceritanya. “Kalau saya sih Dread Team bikin premisnya dulu, dari premis baru bikin alurnya, kemudian bikin naskahnya. Adegan pertama misalnya Eka bangun tidur, dari kata-kata itu diperpanjang lagi. Habis itu dari sana sudah kebayang naskahnya kaya gimana.”.
Para peserta menonton bersama film-film yang ditayangkan | Foto: Indra Nata
Menyoal genre mana lagi yang bisa dieskplorasi, Wulan mengatakan saat ini high technology memang menjadi tema yang cukup digemari, terutama oleh sineas-sineas muda generasi milenial. Tapi, menurutnya, genre yang sangat penting untuk dieskplorasi adalah genre yang berkaitan dengan mental health atau isu-isu kesehatan mental. Baginya, sangat perlu untuk menyebarkan kesadaran kesehatan mental kepada banyak orang. Salah satunya caranya adalah dengan mengemasnya menjadi film pendek yang terkesan ringan namun satir, sehingga bisa ditonton dan dinikmati tidak hanya oleh teman-teman yang bertipikal serius, namun juga oleh semua orang. Saat ditonton sekali atau dua kali pun makna dan pesan yang ingin disampaikan sudah ditangkap oleh penontonnya.
“Tapi bukan seperti film-film snack gitu ya sekali nonton sudah ngerti maksudnya, tapi ada juga kesadaran baru. Biasnnya hal-hal seperti itu kalian bakal temukan di stand up comedy, biasanya stand up comedy kan bersifat kritikan. Nah film pendek itu juga bisa mengkritisi sesuatu, seperti film pertama “Pengen HP” tadi, kan dia mengkritisi sesutu, ada fenomena seosial yang dibawa. Nah bagaimana fenomena sosial kita bawa ke hal satir atau anekdot. Bagi saya belum banyak yang mengeskplorasi itu, belum banyak yang menjamah dan meramunya menjadi ramuan yang pas, biar humornya dapat, maknanya dapat, mental health-nya juga dapat. Nah itu 3 topik yang sulit untuk digarap.”
Terkait dengan proses penemuan ide. Wulan menyarankan untuk mengangkat hal-hal yang ada di sekitar dulu. Menurutnya, kehidupan yang sedang dijalani terkadang bisa menjadi lebih fiksi dari cerita fiksi. Maka dari itu, jika hendak membuat pementasan atau membuat film, cobalah perhatika di sekitar terlebih dahulu. Mungkin tidak perlu menjadikan itu terlalu fiksi, justru bisa dibuat serealistis mungkin.
Hal senada disampaikan oleh Bli Eka. Tidak hanya dalam penemuan ide, namun saat riset lokasi pun sebenarnya tidak perlu jauh-jauh. Yang terpenting, lokasinya bisa dipakai dan dekat dengan rumah masing-masing, mengingat budget yang dimiliki untuk film indie tidak terlalu besar.
“Kalau kita punya budget gede, kita buat seperti filmnya Joko Anwar berjudul “Modus Anomali” yang syutingnya di tengah hutan. Karena budget terbatas, makanya kita syutingnya di tempat yang kelihatan seperti hutan, padahal itu tegalan biasa. Jadi memang tidak perlu jauh-jauh dulu, cari yang dekat saja supaya proses produksi gampang. Film pendek lokasinya tidak usah banyak-banyak,” ujar Bli Eka.
Pembicara berbagi proses kreatif mereka dalam dunia perfilman | Foto: Indra Nata
Salah seorang dari penonton kembali bertanya tentang penulisan naskah. Sehabis membaca naskah, biasanya naskah akan dibaca ulang. Saat membaca itulah, ada bagian yang dirasa kurang bagus atau boring. Nah, bagaimanakah caranya agar penonton tidak bisa menebak alur ceritanya?
Bagi Wulan, wajar ketika saat membaca naskah ada hal-hal tidak sesuai yang ditemukan. Naskah yang bagus memang bukan naskah yang sekali jadi, tapi mengalami proses revisi dan editing. Jika menemukan hal-hal yang dirasa boring, itu bisa diedit, entah dihilangkan, entah diganti, tergantung bagaimana bentuk ketidakcocokannya.
“Kalau naskah sudah jadi, dan ada orang yang melihat naskahmu kurang ini atau kurang itu, ya itu memang harus diedit. Tapi balik lagi siapa yang memberimu saran. Kalau yang memberimu saran ternyata orang yang tidak mengerti film ya buat apa? Tapi kalau menurutmu dia adalah orang yang mengerti film, ya sudah kamu perlu mendengarkan itu, jadi tergantung siapa yang memberimu saran. Tapi yang paling penting, proses editing yang perlu kamu dengaran adalah dari timmu. Semuanya reading, cameramen, lighting, yang megang sound, editing semuanya harus baca naskahnya, dari sana baru mereka bepikir, oh ini tidak nyambung, partnya lompat-lompat, nanti tinggal kamu edit dan diperhalus lagi. Kalau memang ada adegan yang membuang-buang waktu, di-cut saja, tidak apa-apa.”
Di akhir acara diskusi, masing-masing Bli Eka dan Wulan Dewi Saraswati memberikan closing statement atau kalimat penutup.
“Teman-teman ketika ingin membuat film pendek atau karya kesenian apapun, banyaklah mengkonsumsi hal itu dulu. kalau teman-teman mau bikin film pendek tapi nontonnya drakor, itu tidak bisa, Bro. Tetapi mungkin akan bisa dengan hal-hal interdisipliner, kalian mau buat film pendek nih tapi kalian sukanya ngopi, nah itu bisa digabungkan. Tapi yang ingin aku sampaikan, kalau teman-teman mau bikin film pendek, perbanyak mengkonsumsi hal-hal itu, perbanyak ikut diskusi-disuksi seperti ini,” ujar Wulan.
“Kalau tema-teman mau bikin film, teman-teman harus suka dulu. Kalau teman-teman mau bikin film horror tapi temen-teman sukanya drama ya tidak bisa. Upayakan pas bikin film teman-teman harus happy, terhadap hasilnya dan terhadap proses-prosesnya. Jangan takut bikin film,” ujar Bli Eka.
Acara diskusi tersebut ditutup dengan tepuk tangan para peserta. Harapan saya semoga semakin banyak lagi filmmaker atau sineas muda Tabanan yang film-filmnya terpilih dalam berbagai festival film berskala nasional atau internasional, di dalam negeri atau di luar negeri. Acara sudah selesai, saya mengarahkan para peserta untuk mengambil foto bersama.
Pesan dan Kesan Peserta
Saya berkesempatan menanyakan beberapa dari para peserta terkait apa yang mereka rasakan atau pikirkan saat mengikuti acara screening film dan diskusi yang saya adakan.
“Kesan dan pesan saya terhadap film yg ditayangkan itu cukup “strange” atau asing ya karena ini kali pertamanya saya menonton film-film indie berdurasi 15 menit. Dari segi narasumbernya, cukup informatif apalagi yang didatangkan adalah seorang penikmat film tersebut dan juga pembuatnya. Dari segi tempat tentu tempatnya sangat estetik dan menyenangkan, minuman yg ditawarkan memiliki kualitas seperti di café-cafe bintang 5.
Pesan saya adalah pengalaman film screening ini bisa menjadi lebih berkesan apabila film yang ditayangkan itu memiliki makna yg cukup dalam. Sekian dan terima kasih,” kata Revan Hastina Triantara, Forum GenRe Kabupaten Tabanan.
Foto bersama di akhir acara | Foto: Indra Nata
“Saya mendapat pengalaman yang sangat menyenangkan bersama teman-teman, dari segi film tidak hanya menarik tetapi mampu mengambil nilai” positif dalam kehidupan. Untuk narasumber sangat menginspirasi, dimana saya mendapat ilmu yang sangat bermanfaat tentang proses pembuatan suatu film. seperti memilih latar, alur, menyusun plot, acting, dan lain-lain ada terasa suatu kebersamaan, kerjasama, dan kekompakkan dalam satu team, dan pesan saya semoga ke depannya bisa memproduksi film-film yang lebih menarik lagi, mengikuti perkembangan zaman juga, dan mampu menginspirasi kami sebagai kaum milenial dalam dunia perfilman. Mungkin cukup sekian pesan dan kesan saya, terima kasih,” kata Andreas Radithya Satria Wibawa, OSIS SMA Negeri 1 Kediri.
“Soal filmnya itu 97% bagus-bagus semua dan selama aku nonton juga feel-nya dapet banget, bahkan aku sama teman-teman FAD (Forum Anak Daerah) yang lain sampai kaget-kaget sama beberapa plot twist-nya dan memang kebawa banget sama alur filmnya. Aku memang dibikin tergila-gila sama kayak judul filmnya karena seperti yang dibilang Kak Wulan, makna dari film itu sendiri nggak bisa diinterpretasikan dalam 1 perspektif saja. Narsumnya juga keren-keren, lumayan asik juga apalagi aku jadi tau lebih soal film pendek, dan gak cuma narsumnya yang keren, tempatnya juga anak tongkrongan abiezz, masuklah feelnya sama film yang di tonton kemarin. Cuma kayaknya aku salah ambil tempat duduk jadinya lumayan pegel karena ngambil kursi recycle dari drum itu, tapi semuanya terbayarkan dengan keseruan filmnya,” kata Ni Putu Rahayu Utara, Forum Anak Daerah Kabupaten Tabanan. [T]