“Untuk apa kamu menjalin hubungan dengan orang jaba dan miskin itu? Bagaimana kehidupanmu nanti. Hidup bukan hanya perkara cinta!”
Itu kata Ibu kepadaku.
Ibu punya alasan kuno untuk melarangku berhubungan dengan Made Sila, kekasihku. Made Sila orang jaba. Aku orang berkasta. Aku tentu saja tak setuju perkataan Ibu. Membeda-bedakan kasta sudah bukan zamannya lagi. Aku tak pernah peduli dengan apa yang dikatakan Ibu.
“Apa salahnya, Bu? Bukankah ia juga manusia, sama-sama makan nasi, lalu apa yang membedakannya, Bu?” Aku membantah Ibu.
“Memang tidak ada salahnya, Ibu hanya ingin anak Ibu memiliki masa depan yang cerah dan hidupnya terjamin. Sekarang Dayu masih kelas tiga SMA, janganlah memikirkan asmara dahulu. Pikirkanlah sekolahmu, kau ini anak Ibu yang paling pintar, kamu pasti akan menjadi orang sukses nantinya,” kata Ibu.
Aku dipanggil Dayu, panggilan khas untuk gadis berkasta. Aku adalah anak Ibu yang paling disayang dan dimanja. Aku anak perempuan satu-satunya dalam keluarga, tiga adikku semuanya laki-laki. Aku memang termasuk murid unggulan di sekolah. Aku selalu mendapatkan ranking pertama, dan juga banyak menjuarai berbagai lomba-lomba. Banyak teman laki-laki yang mencoba mendekatiku namun tak satupun dari mereka kugubris, karena dalam hatiku, hanya ada nama Made Sila, anak kelas tiga jurusan IPS, gedung kelasnya tepat di depan gedungku, jurusan IPA.
Setiap bel waktu istirahat berbunyi, kami selalu memanfaatkan waktu untuk bercengkrama sembari makan nasi goreng di warung depan sekolah.
Made memang bukan berkasta. Ia juga bukan orang berada seperti diriku, dan ia juga bukan murid berprestasi di kelasnya. Namun aku tidak peduli dengan semua kekurangan itu, aku suka bagaimana ia memperlakukanku dengan romantis dan lembut, sama seperti serial drama korea yang sering aku tonton.
Entah mengapa aku sangat mudah luluh dengan Made, ia selalu saja merendahkan dirinya di depanku dan aku sangat tidak suka dengan hal itu.
“Dayu, kenapa sih kamu mau dengan orang yang serba kekurangan seperti diriku ini? Kita pun sepertinya tidak akan pernah bisa bersatu, karena sudah begitu jelas kita berbeda kasta. Aku hanya orang jaba yang miskin,” kata Made Sila suatu saat.
“Sudah ya Made, aku tidak pernah peduli dengan latar belakangmu, yang penting sekarang kita saling memiliki, cukup kita berdua saja,” kataku.
Aku dan Made menjalin hubungan sejak kelas dua semester awal. Ia merupakan murid pindahan, kabarnya ia murid yang bermasalah di sekolahnya terdahulu, namun menurutku dia orangnya baik, karena denganku ia tidak pernah macam-macam.
Suatu ketika Made datang ke kelasku saat bel waktu pulang sekolah berbunyi, ia membisik di telinga kananku.
“Dayu, tidakkah kau ingat ini hari apa?” tanya Made dengan tatapan riang.
“Ingat kok, hari ini kan hari di mana kita memulai semua perjalanan ini, tepat setahun sudah berlalu,” sahutku percaya diri.
“Iya betul, sebelum pulang ke rumah, ayo ikutlah denganku, kita rayakan dan nikmati hari ini berdua.”
“Tapi Ibu pasti akan khawatir Made kalau aku pulang terlalu sore!”
“Ahh, bilang saja kalau kamu ada kerja kelompok, pasti diizinkan!” kata Made meyakinkan diriku.
Awalnya aku ragu, namun karena desakan Made, aku memberanikan diri menelepon Ibu. Alangkah terkejutnya aku ternyata Ibu mengizinkan.
Akupun diajak Made ke suatu tempat yang sangat asing bagiku, aku tahu rumah Made, namun kali ini aku diajak kerumah yang berbeda, dan ia mengatakan bahwa itu adalah rumahnya.
Ternyata semua hal baik yang aku tahu dari Made sirna pada hari itu. Aku dinodai oleh Made, kekasihku sendiri. Aku telah masuk ke dalam jurang gelap dan melepas keperawananku di tangan Made. Aku merasa seperti bukan menjadi diriku, aku dengan mudahnya luluh dengan rayuannya, saking cintanya aku dengan Made. Walaupun Made bilang akan bertanggung jawab, tetap saja aku sangat takut pulang ke rumah.
Aku pulang dengan wajah penat dan muram, aku tidak menyapa Ibu sama sekali, tetapi mungkin Ibu berfikir bahwa aku sangat lelah, makanya ia tidak memarahiku. Aku tidak berani dan tak pernah memberitahu Ibu tentang hal itu.
Sebulan berlalu, aku telat haid. Namun menurutku itu hal wajar karena siklus haidku memang tidak bagus, namun aku merasakan nyeri dan mual-mual yang tidak biasa. Melihat hal itu Ibu pun tahu bahwa ada hal yang tidak wajar dari anaknya. Ibu membawaku ke dokter untuk diperiksa, dan alangkah terkejutnya Ibu, saat dokter menyatakan bahwa aku positif hamil.
Dalam perjalanan pulang ke rumah, Ibu hanya diam saja. Mungkin saja ia masih syok dengan hal tersebut.
Sesampainya di rumah Ibu marah sejadi-jadinya. Ayahku hanya diam saja dan tak peduli dengan apa yang terjadi, tapi tampak Ayah dan Ibu sangat kecewa.
Aku mengabari Made tentang hal ini. Ia terkejut.
“Katakan padaku, ini semua hanya bercanda, Dayu!”
“Aku tidak bercanda kali ini Made. Ini serius. Ini semua karena perbuatanmu hari itu!” Aku kesal dan terisak-isak menangis.
“Baik Dayu, aku akan bertanggujawab. Jangan menangis, tidurlah dan beristirahat!” ucap Made sebelum menutup telepon.
Malam kelam itu pun berlalu, dan beesoknya Ayah dan Ibu mengusirku dari rumah, saking kesalnya mereka. Mereka kesal dengan aku, anaknya yang tidak pernah bisa diberitahu.
“Carilah kekasihmu, Made bajingan itu, dan mintalah ia menikahimu dan menghidupi dirimu,” ucap Ibu marah sembari menangis.
“Lupakan saja keluarga ini, jangan pernah kamu kembali ke sini lagi. Aku tak sudi memiliki putri seperti dirimu, membuat hancur dan buruk nama keluarga saja!” Ayah kali ini ikut bicara penuh kemarahan.
Aku pergi meninggalkan rumah dengan tertatih-tatih, dan menangis sejadi-jadinya. Aku pergi ke rumah Made. Aku disambut ibunya. Dahulu aku sering singgah di rumah itu sekadar untuk membantu ibu Made membuat banten, karena ibunya adalah seorang penjual banten.
Ia bertanya mengapa aku membawa tas besar dan menangis seperti ini.
“Yehh, Gek Sanjani, ada apa gerangan Gek datang menangis terisak seperti ini?” tanya ibunya Made. Aku memang biasa dipanggil Gek Sanjani.
“Aaa anuu Bu…” suaraku lemas menjawab pertanyaan ibunya Made.
“Apa yang terjadi, Gek, bilang saja pada Ibu?”
“Gek mengandung Bu, ini semua kesalahan Gek sama Made…” sahutku sembari menangis.
Ibu Made terkejut dengan apa yang ia dengar. Tak lama kemudian Made datang dari luar rumah. Ibunya langsung menarik Made dan memarahinya sejadi-jadinya, sehingga Made tak sanggup berkata-kata apapun. Aku hanya terdiam melihat semua itu.
Setelah kejadian itu ibu Made mulai menenangkan dirinya dan mengizinkan aku untuk tinggal di sana.
Karena kondisi yang sudah tidak memungkinkan, aku dan Made putus sekolah. Kehidupan kami dibiayai oleh ibu Made. Aku selalu merasa kasihan dengan ibu Made, karena ia berjuang sendiri untuk menghidupi kami. Ayahnya Made telah tiada karena kecelakaan kerja sebagai kuli bangunan.
Tiga bulan berlalu kami akhirnya menikah dengan sederhana di sebuah griya. Setelah menikah Made pun mulai bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup kami agar tidak selalu menggantungkan diri pada ibunya Made.
Ibu Made sering berpesan kepadaku. “Janganlah pernah menyerah dengan segala keadaan, Gek. Memang Made orang yang nakal, sering pulang malam, tetapi sekarang ia sudah mulai mau bekerja, Gek bersabar saja ya, semoga dia bisa mengubah dirinya!”
Dua bulan kemudian, ibu Made menghembuskan napas terakhirnya, karena penyakit jantung yang selama ini dideritanya. Aku merasa sangat kesepian, karena hanya ibu Made yang bisa aku ajak bercerita dan berbagi keluh kesah.
Setelah kepergian ibunya, Made mulai tidak terarah. Apalagi ia kemudian dipecat dari pekerjaannya. Kehidupan kami mulai kacau. Made selalu berbuat sesukanya terhadap diriku. Ia selalu pulang larut malam dan ia selalu pulang dengan keadaan mabuk. Bahkan suatu ketika ia pulang membawa wanita lain dan bermesraan di depan mataku sendiri.
Begitu teganya dia memperlakukan istrinya yang tengah hamil lima bulan ini. Bukannya memperbaiki hidupnya, ia justru membuat suasana menjadi semakin kacau dan tidak terkendali.
“Apa yang kau pikirkan Dayu, sekarang aku sudah tidak punya siapa-siapa lagi! Kau pun sudah dibuang oleh keluargamu bukan? Ibuku pun sudah pergi meninggalkanmu, siapa lagi yang akan membelamu kini? Jika kau tidak kuat silakan pergi saja! Aku tidak peduli denganmu lagi!”
Aku sangat sakit hati mendengarkan semua perkataan kasar Made. Kepada siapa kini aku harus mengadu? Keluargaku sendiri telah mengusirku dan tidak menganggapku lagi. Ibu Made pun telah tiada, tidak ada lagi yang membela dan menguatkan diriku.
Aku sangat menyesali apa yang sudah kuperbuat. Mungkin memang benar, kenikmatan dahulu yang kudapatkan hanyalah sesaat, namun penderitaannya sepanjang hayat kurasakan.
Aku sudah tidak berguna lagi kini, lebih baik aku pergi, karena tiada satupun yang peduli dengan diriku. Lebih baik aku menyakiti diri sendiri, daripada membunuh orang karena rasa benci yang tertanam di hati. Aku tidak bisa berpikir jernih lagi, di setiap langkahku hanya terdapat penyesalan tiada henti.
“Maafkan Ibumu ini, anakku sayang!” Aku mengelus perutku yang terasa sakit. “Ibu sudah tidak kuat lagi untuk menghadapi segala penderitaan ini. Maafkanlah ibumu, anakku. Kita akan pergi bersama-sama, Nak!”
Catatan :
Jaba : Sebutan untuk orang biasa, tidak berkasta
Banten : Sarana upakara (sesajen)
Griya : Istilah hunian kaum Brahmana
[][][]