DALAM KEHIDUPAN kita sebagai umat beragama, khususnya sebagai umat Hindu di Bali, kita selalu disibukkan dengan aktivitas upacara keagamaan, baik dalam skala kecil maupun besar.
Sejak pagi kita melaksanakan dan menyaksikan aktivitas ritual dalam keluarga, seperti ngejot atau menghaturkan saiban sehabis memasak, hingga pada sore ngaturang canang di pelinggih masing-masig rumah.
Tak lupa juga kita melakukan kegiatan keagamaan pada purnama dan tilem. Juga kegiatan upacara lain yang lebih besar menyangkut manusa yadnya seperti ngotonin, tiga bulanan, metatah, juga kegiatan pitra yadnya seperti ngaben dan sejenisnya.
Juga kegiatan odalan di merajan atau pura keluarga, juga di Pura besar yang datang setiap 6 bulan atau ada yang datang setiap tahun. Kegiatan upacara juga dilakukan pada hari-hari raya besar umat, seperti Hari Saraswati, Pagerwesi, Tumpek Landep, Galungan, Kuningan, dan Nyepi.
Kegiatan masyarakat Hindu tidak lepas dari aktivitas ritual keagamaan, dan hal itu bisa disebut sebagai rutinitas.
Kegiatan-kegiatan seperti itu sepintas terkesan pemborosan, baik dari sisi materi, waktu dan tenaga. Belum lagi dampak dari bekas-bekas sesajen yang menjadi sampah, dan banyak orang meilai hal itu bisa mengotori lingkungan.
Padahal kalau kita lihat dengan lebih mendalam lagi, aktivitas kegiatan ritual yang merupakan kegiatan rutinitas itu adalah kegiatan ritual yang sarat dengan makna. Kegiatan ritual rutinitas itulah yang sebenarnya menjaga taksunya Bali, sehingga seperti sekarang ini, kita bisa rasakan Bali tidak saja dikenal secara nasional, bahkan dunia mengenal Bali. Dan justru kegiatan ritual umat Hindu itu merupakan daya tarik wisata manca negara.
Daya tarik wisata merupakan dampak atau bonus dari ritual kegiatan rutinitas yang sudah turun temurun diwariskan oleh leluhur kita, yang sebenarnya kegiatan ritual itu sarat dengan makna dan pesan untuk dipakai sebagai pegangan dalam menjalani kehidupan di dunia ini.
Tujuan tertinggi dalam agama Hindu adalah “Moksartham jagadhita ya ca iti dharma”, yang berarti dengan dharma kita mewujudkan kedamaian semua mahluk dan keharmonisan alam semesta, serta mencapai pembebasan dari roda samsara (moksartham). Dari tujuan tersebutlah kita diajarkan sejak dini melalui ritual dan upacara-upacara untuk menjaga keharmonisan alam semesta dan mewujudkan kedamaian semua mahluk hidup.
Budaya sesajen yang menjadi warisan leluhur kita ternyata memiliki nilai dan manfaat untuk keharmonisan alam semesta.
Yuji Uehara, peneliti dari Jepang, menyatakan bahwa budaya sajen ternyata bagian dari upaya manusia untuk membentuk energi positif pada alam dan manusia.
Ditemukan bahwa pada budaya sajen, terdapat bunga-bungaan, buah-buahan, wewangian atau dupa dan lain-lain, yang ternyata menghasilkan reaksi kimia (NANO) yang mempengaruhi alam sekitarnya. Ditemukan, setiap 1 Nano mampu mengubah kuaalitas energi seluas 15 meter persegi menjadi energi positif.
Dalam satu sajen saja, contoh bunga, ada bertriliun-triliun Nano. Bisa dibayangkan berapa meter persegi kualitas energi yang didapat setiap kali digelar upacara dengan sajen. Dan dikatakan juga bahwa hanya masyarakat Bali yang masih rutin dan teratur melaksanakan upacara sajen itu.
Budaya sajen juga merupakan sarana persembahan kita kepada Sang Pencipta. Juga dalam upacara-upacara adat yang setiap saat kita jalani, ini pun memiliki nilai yang disebut budaya ngayah — memiliki makna melakukan segalanya dengan ikhlas.
Dalam budaya dari sebuah kegiatan upacara, kita diajarkan untuk belajar melepaskan. Yakni melepaskan diri dari keterikatan, diawali dengan memberi dengan ikhlas. Karena sejatinya hanya orang yang memberi akan menerima. Ini bisa kita saksikan ketika ada hari raya, ibu-ibu, orang tua sangat penuh antusias dan semangatnya menjalankan kewajibannya, dan bukan malah menjadi sakit tapi justru tampak gembira, senang dan sehat.
Apa yang menyebabkan mereka tampak gembira, senang dan sehat? Salah satunya adalah keikhlasan menjalankan kewajibannya.
Inilah proses latihan yang dihadirkan dan merupakan warisan leluhur kita. Proses latihan tersebut adalah latihan melepaskan dengan memberi berupa persembahan kepada Sang Pencipta sehingga disebut sembahyang.
Dalam menjalani kehidupan kita menyadari bahwa semuanya adalah titipan. Anak istri, suami, kedudukan, serta materi, pada saatnya harus ditinggalkan.
Pertanyaannya, sudahkah kita memiliki persiapan untuk menghadapi hilangnya atau lepasnya sesuatu yang mengikat kita? Takut atau tidak, mau atau tidak mau, saatnya itu akan datang. Semakin kuat kemelekatannya, semakin sakit dirasakan ketika saatnya harus kita melepaskannya.
Sebuah nilai yang diwariskan oleh leluhur kita juga adalah budaya “aget” atau untung. Setiap kejadian yang tidak mengenakkan kita selalu kita dengar kata aget atau untung. Bahkan ketika seseorang sudah meninggal pun sering kita dengar, “Untung meninggal, kalau hidup bisa cacat dia”.
Budaya aget atau untung ini adalah budaya untuk mengajarkan kita agar senantiasa bersyukur terhadap segala sesuatu yang harus kita terima. Baik-tidak baik yang saat ini diterima kita diajarkan untuk senantiasa bersyukur.
Kedamaian bisa terwujud tentunya dimulai dari diri sendiri, dan kegiatan rutinitas ritual tersebut adalah sebuah proses melatih diri kita. Budaya sajen, budaya ngayah dan budaya bersyukur, ini tentunya akan menjadi latihan kita sehari-hari yang pada akhirnya akan berbuah harmonisasi dengan Tuhan, sesama mahluk hidup dan alam semesta. Semoga damai untuk kita bersama akan terwujud. [T]
BACA esai-esai lain dari penulis DOKTER CAPUT