DALAM PERAYAAN GALUNGAN yang jatuh pada hari Rabu tanggal 2 Januari 2023 ini ada yang menarik karena warga berbondong-bondong membawa jot-an jerimpen.
Ngejot jerimpen merupakan salah satu tradisi di Desa Adat Kelampuak, Desa Tamblang, Buleleng, Bali, dengan memberikan buah, jajan, sate atau bentuk lain seikhlasnya yang disusun dalam tamas (alas berbentuk bulat yang terbuat dari daun kelapa) disertai canang kepada keluarga yang memiliki anak pertama dan melewati rahina Galungan pertama kali.
Mungkin di desa lain sangat banyak hal serupa sesuai dengan desa kala patranya. Hal ini bertujuan mendoakan si kecil agar selalu sehat dan kelak berguna untuk sesama.
Menurut Sudarsana (2001), jerimpen berasal dari kata “jeri” dan “mpen”. Jeri berasal dari suku kata “jari” yang menjadi Asta (Asta Aiswarya) berarti delapan penjuru dunia. Sedangkan kata kedua, mpen, yaitu “empu” yaitu Sang Putus (Maha Suci).
Dengan demikian jerimpen merupakan simbol permohonan kepada Sang Hyang Widhi di kedelapan penjuru untuk anugrah baik secara lahiriah dan batin. Terlebih dari itu, memberikan seikhlasnya kepada orang lain salah satunya melalui ngejot jerimpen ini sangat membantu meningkatkan kekerabatan, saling mengenal, dan melatih melakukan sesuatu dengan ikhlas terhadap sesama.
Dalam konteks ajaran Tri Hita Karana yaitu pawongan merupakan jalan yang ditujukan untuk mencapai keselarasan serta hubungan yang baik dengan sesama. Pawongan berasal dari Bahasa Jawi Kuna yaitu wong yang berarti orang. Diharapkan dengan mengamalkan ajaran Tri Hita Karana terjalin suatu keselarasan dan kesejahteraan dengan lingkungan, manusia, dan Tuhan. Luar biasa peninggalan ajaran dari leluhur ini kepada anak-anak dan keturunan saat ini bahkan di masa depan di masa kali yuga.
Masa kali yuga digambarkan menurut kitab Nitisastra IV.7 bahwa watak manusia lebih mementingkan material di jaman kali yuga. Pengalaman penulis sendiri ada bapak-bapak berpakaian lusuh membawa jerimpen, ada yang pakaian mewah dan wajah klimis juga membawa jerimpen, bahkan sesepuh desa dan juga pemuka agama seperti sulinggih dengan tulus dan ikhlas membawakan jerimpen. Dengan adanya tradisi ngejot jerimpen tidak hanya menyamarkan keegoisan, namun juga ketulusan dari semua kalangan.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh Kelian Suka Duka Desa Adat Kelampuak, Nengah Sukradana. “Ngejot jerimpen yang merupakan warisan orang tua diharapkan menjadi jalinan persaudaraan antara warga dan saling menyayangi”. “Terhadap generasi muda untuk bisa melanjutkan bahkan meningkatkan persaudaraan yang ada,” katanya.
Kelian Suka Duka Desa Adat Kelampuak, Nengah Sukradana
Melalui tradisi ngejot jerimpen karakter yang bisa dibangun begitu banyak mulai dari religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, mandiri, demokratis, bersahabat/komunikatif, dan cinta damai.
Menurut Kelian Desa Adat Kelampuak, Made Sukeastawa mengatakan “Dengan tradisi ngejot jerimpen otomatis akan saling mengenal antara karma lama dan baru”.
Berbeda dengan di Desa Adat Kelampuak-Tamblang, hal ini juga terjadi di desa-desa lain seperti di Nyitdah untuk pasangan yang baru menikah pada Hari Raya Galungan akan mendapatkan jerimpen dari masyarakat yang bertujuan mendoakan pengantin baru agar kehidupan baru tidak mengalami rintangan.
Namun apapun itu perbedaanya, tradisi ini dapat menjadi wahana pendidikan yang baik untuk anak-anak karena sesungguhnya pendidikan sendiri tidak hanya di bangku sekolah, namun di lingkungan keluarga serta masyarakat.
Kelian Desa Adat Kelampuak, Made Sukeastawa
Kedepan saya berharap, ngejot jerimpen tidak hanya dibawakan oleh kaum orang tua, namun anak-anak yang sangat haus akan pedidikan karakter. Ketimbang bermain di dunia maya, maka melatih karakter sosial dengan kehidupan nyata akan menjadi pengalaman indah yang terpatri dalam benak anak-anak.
“Belajar tanpa berpikir tidak ada gunanya, tapi berpikir tanpa belajat sangat berbahaya” -Ir Soekarno-