Catatan mengalami peristiwa kenangan bersama Teater Satu Lampung dalam pertunjukan “Semalam Masa Silam Mengunjungiku”
Pertunjukan “Semalam Masa Silam Mengunjungiku” Teater Satu Lampung | Foto: Raihan Robby
Apa yang tersisa dari masa lalu, selain, mungkin bagian dari diri yang sengaja ‘dilupakan’, ‘dipendam’ atau berharap tak pernah dialami. Tetapi, sesekali, memori-memori itu berkelebatan. Sekali kita tangkap kelebat memori itu, maka ia akan membantun kita ke dalam masa silam. Masa yang telah lampau dan pernah terjadi, masa yang membuat kita merasa terasing dan bertanya, “inikah kenanganku?”.
Memori tentang masa lalu, selalu menyimpan hal-hal traumatis, menyenangkan, hingga sesuatu yang kita tak merasa pernah menjalaninya. Kita di masa kini, sedang mencetak masa lalu untuk masa depan. Namun, kita di hari ini, adalah kita yang sebagai pasca-traumatis diri. Jika, kita menganggap (dan telah sembuh) bahwa memori hanya menyimpan hal yang menyakitkan.
Sehingga apa yang kita lakukan adalah mengalami nostalgia. Ada bagian dari diri kita yang masih ada di masa lalu, bagian yang tetap berada di sana dan memanggil kita untuk mengunjunginya. Bagian itu berupa banyak bentuk, ia bisa berupa diri kita saat duduk di bangku sekolah, ia bisa berupa dongeng yang dibacakan ibu ketika menjelang tidur, ia bisa berupa harum hujan di pagi hari, ia bisa menjadi suara kelam dari banyak kekerasan yang hendak kita lupakan, ia bisa berupa kota, jalan, setangkai mawar, atau segigil tubuh yang merasa asing pada diri sendiri.
Nostalgia menyisakan banyak hal melalui imaji-imaji buram (jika menggunakan kenangan sebagai satu-satunya medium menuju masa lalu, katakanlah). Imaji-imaji itu, terkadang mencuat keluar dalam setangkap bayang, sepintas harum, sesentuh rasa, dan penginderaan sementara, namun tetap membekas, sebab kita pernah mengalaminya.
Lantas, bagaimana jika justru masa silamlah yang datang mengunjungi kita? Mampukah kita menghindarinya? Akankah kita terus menciptakan ilusi masa lalu dalam nostalgia hal-hal yang indah dan telah lewat itu? Kembali ke pertanyaan awal, adakah yang tersisa dari masa lalu?
Tanjungkarang dan hal-hal yang karam dalam ingatan
Dengan gegap akan perubahan yang cepat, perpindahan kultur masyarakat pedesaan menjadi perkotaan, monumen-monumen urban yang menghilangkan sawah, kebun, dan sungai itu. Teater Satu Lampung membuka pertunjukan “Semalam Masa Silam Mengujungiku” ini dengan narasi yang pahit.
Pertunjukan ini berangkat dari puisi panjang karya Iswadi Pratama yang juga sutradara pertunjukan ini. Ia semula menulis naskah “Nostalgia Sebuah Kota” pada tahun 2004 dan dipentaskan di berbagai kota di Indonesia, seperti Makassar, Bandung dan Jakarta) serta Jerman pada tahun 2010 yang diperankan oleh para aktor dari berbagai negara. Pada tahun yang sama, naskah itu mengalami transformasi menjadi “Kisah-Kisah yang Mengingatkan” dan dipentaskan di Jakarta, naskah tersebut terus tumbuh menjadi “Dongeng Nala” hasil kerjasama dengan Monash University (belum dipentaskan), hingga pertumbuhan itu, kini menjadi “Semalam Masa Silam Mengunjungiku: Nikmati Tehmu” yang dipentaskan pada tiga kota: Lampung (gedung teater tertutup, Taman Budaya Lampung), Jakarta (Komunitas Salihara), dan Yogyakarta (auditorium teater ISI Yogyakarta).
Pertunjukan “Semalam Masa Silam Mengunjungiku” Teater Satu Lampung | Foto: Raihan Robby
Di awal pertunjukan, panggung telah penuh dan dihidupi oleh para tokoh. Tiga tokoh dengan payung di bagian belakang, lelaki tua yang menggigil di kursi panjang, sepasang kekasih menggenggam muka jendela berenda merah, dan hujan. Mereka berjalan, bergerak, menciptakan dimensi dengan ritmis. Suatu pembuka pertunjukan yang memorable. Awal pertunjukan yang puitik dan indah, namun juga getir dan sakit.
Lalu terdengar pembacaan puisi “Bluebird” karya Charles Bukowski, penyair yang kental dengan dirty realism atau realisme najisnya itu. Pembacaan puisi tersebut menjadi serpihan yang bertabrakan dengan banyak hal di atas panggung, gerak para aktor yang serupa aluran ombak, video proyektor menampilkan potongan-potongan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Indera penonton seakan dijejali oleh banyak keindahan itu. Keindahan gerak, suara, visual, keselarasan yang cepat berganti dan berloncatan.
Seluruh peristiwa itu, ingin menceritakan bagaimana Tanjungkarang, bukan hanya sekadar tempat yang dekat dengan Teater Satu Lampung, tetapi juga sebagai rumah bagi para manusianya, rumah bagi kenangan yang terus tumbuh. Tanjungkarang yang telah tergerus oleh urbanisme, oleh modernitas dan budaya kapital.
Maka, sepanjang pertunjukan yang hampir selama dua jam ini, energi yang dibawa oleh Teater Satu Lampung begitu dahsyat, penonton diajak turut memasuki Silam (sebagai tokoh) dan Tanjungkarang sebagai rumah kenangan yang berubah itu.
Iswadi Pratama dengan cemerlang menampar kita para penonton, ia seakan ingin berbicara pada penonton bahwa kota-kota telah merenggut apa yang kita punya, dan tak ayal kita adalah pasien dari rumah sakit, yang sekarat dan terluka. Sebab kota perlahan mengaramkan kita menjadi tiada. Manusia menjadi robot yang fungsional dan kaku, yang tak berperasaan dan tak dapat lagi menari dengan makna.
Melalui medium sejarah itu, Teater Satu Lampung benar-benar menyadarkan kita. Di tengah derasnya arus sejarah yang objektif dan akademistik, dan melupakan unsur masyarakat sebagai pelaku dari sejarah. Yang dilakukan Iswadi Pratama menjadi sangat dekat dengan kita, ia menggunakan sudut pandang pesejarahan secara subjektif dan kenangan yang sangat personal.
Pertunjukan ini setidaknya, mengingatkan saya akan buku Urban Plimpsests and the Politics of Memory, karya Andreas Huyssen. Hubungannya dengan Teater Satu Lampung adalah mereka tidak terjatuh pada romantisme yang mengikat kita untuk mengunjungi masa lalu dengan penuh melankolia. Melainkan, masa silam yang mengunjungi kita. Sehingga, masa silam itu menjadi representasi dan lebih dekat dalam masa kini. Ia menjadi gambaran bagaimana seharusnya kita menjalani masa depan.
Salah satu contoh dari politisasi sejarah, yang paling dekat dengan Yogyakarta semisal. Adalah revitalisasi tembok-tembok dari benteng baluwerti keraton. Proyek revitalisasi itu setidaknya memakan banyak hal, di samping biaya, ada pula penggusuran rumah hingga pertokoan kepunyaan warga. Fungsi dari revitalisasi itu pun untuk membangkitkan nilai historis sebagai benteng pertahanan keraton saat melawan penjajahan dulu.
Yang menarik, dengan proses pemugaran itu, mengganti tembok benteng dengan warna yang baru, dan unsur-unsur pembangunannya yang baru pula. Akankah nilai historis itu tumbuh? Atau bentuk sejarah ini menjadi lambang dari kuasa keraton di Yogyakarta dalam konteks masa kini? Yang tentu bentuk kuasa tersebut akan semakin langgeng dan kuat selama sistem kerajaan masih mengakar pada masyarakatnya.
Pandangan kritis inilah yang digunakan Teater Satu Lampung dalam memandang Tanjungkarang, mereka mungkin mengalami nostalgia, tetapi tak dalam nada-nada sesal atau sedih, namun dengan sudut pandang yang tajam, yang memikir dan membedah kembali makna Tanjungkarang yang bukan sekadar nama tempat, melainkan sebagai produksi dari kenangan itu.
Pertunjukan “Semalam Masa Silam Mengunjungiku” Teater Satu Lampung | Foto: Raihan Robby
Transformasi puisi menuju panggung puitik
Bagaimana Iswadi Pratama bersama Teater Satu Lampung dapat membuat jalinan spektrum tentang Tanjungkarang menjadi luas dan bercabang, saling bersinggungan dan menyentuh. Membuat kompleksitas Tanjungkarang sebagai tempat, memori, dengan para manusia, bangunan dan kenangan-kenangan. Seperti yang telah dijelaskan di awal, bahwa naskah ini pun tumbuh dengan organik dan seakan tak pernah selesai, barangkali dengan cara puitik dan karena Iswadi Pratama juga seorang penyair itulah ia mampu menumbuhkan naskah ini.
Sebab, ia adalah penyair yang resah, terlihat jelas dari caranya menangkap hal-hal yang menyelusup dalam dirinya, pun di luar dirinya. Memaknai segala kesepian itu. Bagaimana jalinannya sebagai manusia dengan kenangan, dengan kota yang berubah cepat, dengan zaman yang menawarkan banyak informasi, tanpa adanya jalinan manusia di dalamnya. Ia sebagai penyair, menjadikan puisi, bukan hanya sebagai medium penyampaian keresahannya. Melainkan, meminjam istilah Wislawa Szymborska, menjadikan puisi sebagai garis hidupnya, sebagai takdir yang ia jalani. Puisi adalah hidupnya.
Melihat transformasi teks, dan tumbuh kembangnya kemungkinan-kemungkinan yang hadir seiring berjalannya waktu, menandakan bagaimana Iswadi Pratama, mempunyai ingatan yang baik dan kuat, serta keterbukaannya pada gagasan yang terus tumbuh. Singkatnya pertunjukan (dan teks) itu menjadi hidup. Tak hanya hidup di atas panggung, tapi juga hidup di dalam benak para aktornya, pengusung artistik, hingga penonton, terus terbawa hingga keluar gedung pertunjukan. Pertunjukan dan teks itu menjadi kenangan yang tumbuh diam-diam.
Pertunjukan ini, meminjam istilah semiotika Riffaterre, mempunyai indirection signs atau ketidaklangsungan ekspresi yang biasa ditemukan di dalam puisi. Kita akan menemukan penggantian, penyimpangan dan penciptaan arti. Bukan hanya melalui medium bahasa puisi, melainkan juga menggunakan medium tubuh. Itulah sebabnya metafora-metafora bahasa yang hadir di dalam puisi, yang mana seringkali penyair seolah memberikan makna pada metafora itu.
Di pertunjukan ini, metafora itu mencuat dan memberikan pemaknaan pada dirinya sendiri, maka metaforaisasi seperti hujan yang menari secara perlahan dan ritmis, seutas jalan, payung-payung yang memenuhi kota, jendela dengan renda merah, para perempuan, hingga Aku Lirik benar dihadirkan sebagai tokoh yang menyuarakan keresahannya sendiri akan memori yang mereka punya.
Saya membayangkan bagaimana Iswadi Pratama, melakukan migrasi kenangan itu di benak para aktornya, sebelum para aktor itu menjadi tokoh. Migrasi kenangan tentang Tanjungkarang, tentang kesepian dan kesakitan menjadi tua, tentang desa dan kota urban, bahkan tentang kenangan itu sendiri. Hal ini menjadi lentur dan seolah berangkat dari diri aktor sendiri saat berhasil memerankan tokoh-tokoh yang sepenuhnya adalah metafora bahasa di dalam puisi Iswadi.
Penonton seakan membaca pertunjukan, bukan lagi menonton. Dengan banyaknya lalu lintas disiplin yang ditunjukkan Teater Satu Lampung, seperti tari, lukisan, visual art, musikhingga seni peran itu sendiri saling berpangku menciptakan keutuhan metafora sesungguhnya di dalam pertunjukan. Penonton seakan dapat memilih bagian mana yang dapat menjadi fokus mereka di dalam pertunjukan. Di tengah tegangan dan tarikan itu, para aktor tak jarang “membatalkan” lakuannya. Menjadi humor yang segar.
Seolah para penonton diajak untuk merenungi tentang masa lalu dan seakan-akan ada yang menepak tubuh kita, lantas kita menyadari realitas masa kini. Pertunjukan SMSM, dengan cemerlang menciptakan itu semua. Hingga penonton merasa samar, mana yang kenangan, mana yang realita, apakah kenangan itu juga bagian dari realitas masa kini?
Apa yang dilakukan Teater Satu Lampung, setidaknya membuktikan dua hal kemungkinan: bahwa, teater dapat menjadi produksi memori yang memberikan pandangan kritis terhadap perubahan zaman, dan kemungkinan pertumbuhan memori itu menjadi memori kolektif.
Ya, ketika bangsa Indonesia dapat bertumbuh dari memori kolektif yang sama, maka kita tak akan lagi dipolitisasi dan disekatkan dengan konstruksi sejarah yang ditulis oleh penguasa. Jika memori kolektif ini terbentuk, maka akan ada perasaan yang sama yang membentuk identitas kolektif bangsa. Di samping itu, selayaknya metafora yang menyembul keluar di pertunjukan itu, sudah seharusnya kita meraih makna kita sendiri akan hidup ini, dan memberikan pandangan yang kritis terhadap kota dan memori di dalamnya. [T]
Yogyakarta, 2022