EVA PUSPITA maju dengan percaya diri. Di depan, di sebuah tempat yang agak lebih tinggi, di teras Danke Coffee di Jalan Udayana Singaraja, ia memandang meja kecil di hadapannya.
Di atas meja berjajar sejumlah benda. Nama-nama benda itu mungkin hanya familiar di kalangan pecinta kopi dan pemilik coffeeshop.
Ada V60 driper yang cukup menonjol, coffee server, paper filter, grinder, digital scale, dan coffee grind collector. Oh, ya, ada benda umum yang namanya tetap udik: ketel.
Eva Puspita mempersiapkan benda-benda itu dengan percaya diri. Lalu ia mulai beraksi:
“Kali ini saya akan menyeduh kopi arabika wanagiri natural anaerob,” kata Eva sembari tangannya bergerak.Tangannya bergerak, kadang lembut, kadang terkesan tegang, untuk menyeduh kopi.
Eva Puspita saat itu memang sedang ikut lomba menyeduh kopi atau lomba barista dengan V60 driper. Tajuk keren lomba itu adalah “Singaraja V-60 Fun Battle”. Lomba ini diselenggarakan Singaraja Coffee Movement, sebuah komunitas anak muda pecinta kopi di Singaraja.
V60 adalah alat manual untuk menyeduh kopi. Bentuk alat ini seperti cangkir yang berbentuk kerucut pada bagian bawah, yang akan mengalirkan kopi yang sudah disaring oleh paper filter atau kertas saring.
Disebut V60, V melambangkan bentuk alat kopi manual tersebut seperti huruf V, sedangkan 60 adalah tingkat kemiringan saat menuangkan air dari ketel leher angsa. Sistem pembuatan kopi menggunana metode ini yaitu dripting. Air kopi yang diseduh akan menetes kepada server yang disediakan.
Eva Puspita bernama lengkap Ni Kadek Eva Puspita Damayanti. Ia adalah gadis mungil yang masih kelas 3 SMA, tepatnya di SMA Candimas, Desa Pancasari, Sukasada Buleleng. Ia datang ke lomba di Danke Coffee itu bersama teman-teman sesama SMA dan guru serta kepala sekolah.
Yang dia lawan pada lomba itu adalah orang-orang yang sudah berpengalaman dalam seduh-menyeduh kopi. Beberapa bahkan sudah mengelola coffeeshop.
Namun Eva Puspita maju ke final. Di final hanya ada dua peserta. Ia dan seorang lelaki, Kadek Hendrik. Konon, Kadek Hendrik sudah punya banyak pengalaman untuk menang.
Di final itu, Eva beraksi dengan menggunakan 12 gram kopi, grind size No 1, dengan suhu air 90°C, dengan perbandingan rasio 1:15.
Total air yang digunakan 180 ml yang dibagi menjadi 3 kali seduhan.
Untuk pouring-an ke 1 dengan jumlah air 30 ml dengan waktu blooming 1 menit. Untuk pouring-an ke 2, tuangan air sebanyak 105 ml dengan waktu blooming 1 menit 30 detik. Untuk pouring-an terakhir, air sebanyak 180 ml, dengan waktu blooming 3 menit.
Dengan kesimpulan pouring-an 1 dan ke 2 berjumlah 85 ml. Dan tuangan ke 2 dan ke 3 berjumlah 75 ml.
“Dari seduhan ini saya harapkan target rasa yang balance, dimana rasa pahit, manis, asam itu seimbang,” kata Eva setelah mengerjakan proses itu dengan cermat dan teliti.
Dan, setelah dinilai oleh dewan juri, Eva Puspita ditetapkan sebagai pemenang utama. Kadek Hendrik harus puas sebagai runner-up
Kenapa Eva Puspita tertarik ikut lomba dan tampak sangat serius jadi barista?
“Dulu saya ingin menjadi bartender, tapi saya pribadi takut dengan efek alcohol. Maka dari itu saya memutuskan untuk terjun di dunia barista,” kata Eva.
Ia pun giat belajar jadi barista di sekolahnya yang memang membuka department untuk pendidikan menyeduh kopi. SMA Candimas adalah SMA Penggerak sehingga bisa mengembangkan pendidikan vokasi untuk siswa. Salah satu pendidkan vokasi yang dipilih adalah pendidikan barista kopi karena di sekitar Pancasari memang terdapat daerah penghasil kopi, Wanagiri. Selain itu, Pancasari juga dikenal sebagai kawasan pariwisata, masih dekat dengan Bedugul.
Eva Puspita memang gadis yang punya motivasi tinggi. “Motivasi saya, jika kamu mempunyai tujuan namun menutupi apa yang kamu sukai, maka ikuti tujuan itu, tapi dengan rasa dan cara yang berbeda,” katanya.
Tantangan yang dihadapi Eva dalam belajar perkopian adalah susahnya mengenal dan mengetahui rasa dan karakter dari sebuah biji kopi. “Mungkin dari tantangan itu solusinya hanyalah tetap belajar dan terus mendalami tentang biji kopi,” kata Eva semangat.
Gede Pandu Darma Putra dari Panamena Coffee Shop yang menjadi ketua panitia dalam lomba itu mengatakan, metode V60 merupakan metode dasar penyeduhan kopi. Battle ini pun dilakukan bukan hanya untuk barista namun juga penikmat kopi. “Ini lomba untuk umum. Siapa pun bisa ikut. Dari barista hingga siswa. Sampai penikmat kopi,” ujarnya.
Menurut Pandu, kebanyakan untuk manual brew V60 menggunakan kopi jenis arabika. Sebab arabika memiliki lebih banyak varian rasa dibandingkan robusta. Dan cenderung memiliki rasa yang lebih lembut. Jika menggunakan robusta, maka rasa yang dihasilkan cenderung lebih strong atau pekat.
“Jadi ini balik lagi ke selera masing-masing. Mau pakai arabika bisa, pakai robusta juga silahkan,” katanya.[T][Ole]