YAYASAN JANAHITA MANDALA dari tanggal 25 sampai dengan 27 November menggelar acara kebudayaan yang diberi tajuk Ubud Campuhan Budaya dengan mengusung tema “Tattaka Wisudha Citta, Telaga Benih Reka Budaya”.
Kegiatan kebudayaan merespon keutamaan telaga sebagai wadah bersemainya aliran air yang mengalir secara konsisten sebagai kredo dari gerakan penggalian pemikiran serta aktualisasi kebudayaan dalam pondasi neo-klasik.
Workshop Pengawak Lelambatan Pegongan adalah salah satu kegiatan edukatif mengenai penyusunan gending pengawak lelambatan pegongan dari kreator lelambatan bereputasi yaitu I Ketut Gede Asnawa, SS.KAR., MA pada hari Minggu tanggal 27 November 2022 bertempat di Wantilan Museum Puri Lukisan, Ubud.
Workshop pengawak lelambatan pegongan diikuti oleh para kreator gamelan, seniman gamelan, dosen, komunitas gamelan, mahasiswa ISI Denpasar dan para siswa SMK Negeri 3 Sukawati. Workshop mengenai pengawak lelambatan ini diberikan untuk memberikan pengetahuan mengenai penyusunan bagian pengawak dari kreator yang telah banyak dan berpengalaman melahirkan karya-karya lelambatan.
Lelambatan adalah salah satu bentuk gending dari gamelan pegongan. Gamelan pegongan merujuk pada barungan Gamelan Gong Gede dengan struktur sistem musikal terpusat pada tungguhan gong. Menurut Ketut Gede Asnawa berdasarkan analisis dari Collin McPhee gamelan pegongan memiliki komposisi untuk konteks seremonial dan memiliki formulasi yang bersifat komplek dan statis.
Bersifat statis dalam artian apapun nama repertoar yang dimainkan strukturnya tidak berubah seperti dimulai dari kawitan, pengawak, pengisep, bebaturan, embat-embatan, dan pengecet (tabuh telu atau gegilakan).
Kemudian lebih lanjut Ketut Gede Asnawa kembali menyarikan pemikiran McPhee mengenai bentuk gending yang diklasifikasikan ke dalam dua jenis yaitu Gending Ageng dan Gending Gangsaran. Gending ageng berorientasi pada kalimat gending yang panjang sedangkan gending gangsaran bersifat lebih cepat dan alurnya relatif pendek-pendek.
Dalam pemikiran lain I Wayan Madra Aryasa berpendapat dari segi bentuk komposisi terdapat dua tipe yaitu motif lelambatan dan motif gegancangan. Motif lelambatan bercirikan ukuran lagu bersifat panjang, bersifat metris dan terikat dengan pola komposisi yang ketat. Kemudian motif gegancangan ukuran lagu bersifat pendek dan tanggung, benyak menggunakan ornamentasi ubit-ubitan dan pola komposisi yang kurang ketat (1984/85:64).
Dari kedua pendapat mengenai bentuk gending bahwa dapat ditarik bahwa Gending Ageng turunannya adalah tipe gending pengawak dan gending gangsaran adalah bentuk tipe gegancangan.
Foto: Proses Praktik Penyusunan Pengawak Lelambatan
Pada gending lelambatan terdapat bagian gending yang disebut dengan pengawak. Untuk dapat mengetahui apa yang dimaksud dengan pengawak maka harus dianalisis dari akar katanya sebelum lebih jauh mengurai cara kerja musikal. Pengawak berasal dari kata awak yang berarti badan (body).
Dalam melacak esensi pengawak yang berasal dari kata awak berarti badan maka digunakan analogi yang disebut ‘sarwa telu’ yaitu mengklasifikasi menjadi tiga bagian kepala, badan dan kaki. Jika pengawak adalah badan maka terdapat kepala sebagai sumber dan kaki sebagai penyangga. Lebih lanjut jika berbicara pada ruang badan maka disana terjadi mengenai mekanisme dari organ-organ.
Dalam mekanisme badan organ-organ tersebut terdapat sistem dan struktur sehingga menjadikan kehidupan. Kepala sebagai sumber untuk memerintahkan alur mekanisme organ badan serta kemudian disangga oleh kaki. Analogi tersebut jika ditarik dalam cara kerja musikal pengawak adalah tempat terjadinya progresi melodi yang mengalir secara terstruktur menuju bagian frasa (palet) seperti jegog, kempli dan kempur yang juga bertugas sebagai penanda pungtuasi. Kemudian berakhir menuju identitas pengawak pada pukulan gong.
Asnawa mengatakan, dalam susunan mekanisme pengawak lelambatan selalu dimulai dengan dua hal yaitu memunculkan pertanyaan dan menjawab pertanyaan. Jika terdapat sebuah jawaban mengacu pada tonal tertentu seperti nada ‘nding” maka pertanyaannya bagaimana cara menuju tonal ‘ding’?.
Kemudian muncul beragam penjelasan untuk mengarah jatuhnya tonal ‘ding’ dengan segala aksen dan frasanya maka itu adalah bahasa lain dari cara kerja progresi nada dalam melewati dan menuju palet-palet pungtuasi seperti jegog, kempli dan kempur. Mengambil lintasan tinggi atau rendah dalam skala angkepan (sistem oktaf dalam gamelan Bali). Seberapa panjang progresi melodi melewati kanal-kanal pungtuasi tergantung frame tabuh berapa yang dipilih seperti jika memilih tabuh pat maka akan melewati dua baris yang dinamakan penyumu, empat pungtuasi kempli dan empat pungtuasi kempur baru kemudian melaju dengan dua baris disebut milpil sebelum diputus dengan gongan.
Lebih lanjut Asnawa memaparkan dalam menyusun pengawak lelambatan diperlukan tiga syarat teknis yang harus diperhatikan oleh para komposer yaitu 1) Keterampilan, 2) Sensitivitas dan 3) Imajinasi. Keterampilan merujuk pada penguasaan teknik permainan seluruh tungguhan dalam barungan gamelan sebagai modal penggarapan melodi dan pepayasan termasuk angsel.
Sensitivitas diperlukan untuk memberikan ekpresi rasa dalam konteks bayun gending, aes uncab, kenyang lempung pada setiap palet dalam satu pada. Imajinasi menentukan mengenai bentuk, alur, kountur dan dinamika dari melodi serta pepayasan. Ketiga syarat itu harus dipegang oleh komposer dalam penyusunan gending pengawak lelambatan dan bahkan untuk penciptaan gending gamelan lainnya.
Praktik Penyusunan Pengawak Lelambatan
Selain memberikan penjelasan secara pedagogis Asnawa juga memberikan tata cara penyusunan pengawak lelambatan dengan metode pratktik langsung. Pada sesi praktik, Asnawa memberikan peserta sebuah gending pengawak tabuh dua lelambatan yang diberi judul ‘Ding Ro’.
Tabuh dua sebagai skema dari pengawak terdapat dua kali pukulan kempur dan dua kali pukulan kempli dengan susunan dua baris penyumu yang diakhiri dengan jatuhnya pukulan kempur. Dua baris menuju angsel kempli dan dua baris menuju angsel kempur.
Mengingat sebagai tabuh kedua maka, setelah angsel kempur ke dua maka dilanjutkan dengan bagian milpil menuju final gong.
Adapun notasi pengawak tabuh dua Ding Ro seperti berikut di bawah ini:
Laras yang digunakan adalah laras pelog slisir dan notasi mengacu pada tabuhan tungguhan calung.
Gending pengawak tabuh Ding Ro yang digunakan materi praktik dalam work shop oleh I Ketut Gede Asnawa di dalamnya terkandung formulasi musikal yang sangat menarik.
Formulasi musikal yang dimaksud adalah progresi melodi pada angsel kempli dan angsel kempur. Pada angsel kempli jika diamati pada notasi di bawah ini sebagai bahan analisasi progresi melodi.
Pada baris kedua yang berujung pada jatuhnya pukulan kempli (secara keseluruhan disebut dengan angsel kempli) menggunakan karakter progresi melodi ngubeng. Melodi ngubeng adalah pergerakan melodi yang mayoritas nada penyusunnya hanya satu nada berjalan dari satu nada menuju nada yang sama. Pada bentuk melodi angsel kempli di atas dapat dilihat ujung palet gending jatuh pada nada dung (7), serta dalam perjalanannya terdapat empat tumpuk nada dung (7).
Formulasi kedua terdapat pada angsel kempur adalah progresi melodi menggunakan karakter mejalan. Melodi mejalan adalah sebuah pergerakan melodi yang berjalan atau berpindah dari satu nada ke nada yang lain, konvensionalnya menggunakan nada tetangga (satu nada di atas atau di bawah) sebagi nada lintasan. Analisisnya dapat dilihat pada notasi di bawah ini:
Pada notasi di atas dapat dilihat pada pada akhir kalimat angsel kempur dengan nada deng (5). Perjalanan sebelum jatuhnya pukulan kempur nada-nadanya bergerak menuju nada tetangga dari ding (3) menuju dang (1), dang (1) menuju dung (7) dan dung (7) menuju deng (5).
Dari analisis progresi melodi ngubeng dan mejalan dalam pengawak tabuh dua Ding Ro terdapat konsep keseimbangan yang disebut antara diam dan berjalan. Diam dan berjalan adalah sebuah cara untuk melahirkan variasi. Selain itu juga untuk memberikan nafas dalam perjalanan atau sistem sebuah melodi dalam menuju titik sentral yang disebut dengan gong.
Workshop pengawak lelambatan pegongan ini digelar untuk memberikan edukasi mengenai tata cara menyusun gending pengawak yang terarah dan terstruktur. Kemudian juga terdapat proses analisis untuk mengurasi “epistemologi” dari I Ketut Gede Asnawa dalam menyusun pengawak lelambatan.
Hasil analisis yang berpijak dari gending pengawak tabuh dua Ding Ro karya I Ketut Gede Asnawa menemukan formulasi pergerakan atau progresi nada beserta dengan teknik penyusunannya. Pengetahuan mengenai formulasi progresi nada seperti yang dijelaskan dan dibagikan oleh Asnawa bermanfaat dan dapat dikembangkan oleh para komposer gamelan Bali sesuai denga kebutuhan garapnya. [T]
Ketua Yayasan Janahita Mandala Ubud Cokorda Gde Agung Ichiro Sukawati dan Ketua Panitia Ubud Campuhan Budaya Cokorda Gde Bayu Putra menyerahkan piagam kepada I Ketut Gede Asnawa, SS.KAR., MA
Peserta workshop Workshop Pengawak Lelambatan Pegongan di Museum Puri Lukisan, Ubud