Tan Lioe Ie pada mulanya adalah pemusik. Ia menjadi gitaris pertama pada grup band sekolah saat ia menempuh pendidikan di SLUA1 Saraswati Denpasar. Sempat juga ia menjadi gitaris Group Band Ariesta, Denpasar. Saat kuliah di jurusan arsitektur di Universitas Jakarta, ia masuk band Goudeamus.
Namun kini ia dikenal sebagai penyair. Puisi-puisinya dimuat di sejumlah media dan diterbitkan dalam buku antologi tunggal dan antologi bersama, dan puisi-puisi itu dibicarakan di mana-mana, bukan hanya di dalam negeri, melainkan juga di luar negeri.
Tampaknya musik dan puisi adalah bagian dari hidupnya yang tak bisa diceraikan. Maka, saat ini ia dikenal sebagai penekun puisi-musik, atau istilahnya bisa disebut musikalisasi puisi. Ia menggubah puisi-puisi untuk bisa dinyanyikan dengan iringan alat musik, semacam gitar dan alat musik lain.
Bagaimana ceritanya Tan Lioe Ie bergerak dari musik, lalu puisi, lalu puisi musik?
“Saya sebenarnya mulai menulis puisi bukan sejak kecil,” kata Tam Lioe Ie memulai ceritanya.
Tan Lioe Ie biasa dipanggil Yoki oleh teman-temannya. Ia lahir di Denpasar, Bali, 1 Juni 1958, Keluarganya sebagian besar menjadi pengusaha, dan ia sendiri melenggang sangat serius berada pada pusaran dunia seni, dunia sastra dan dunia musik.
Sarah seninya mengalir dari ayahnya. Ayahnya adalah seorang guru, pemain biola dan dan pemain piano. Ayahnya juga atlit basket, badminton, dan voli. Adik-adik perempuannya jadi pengusaha, karena “ikut” suaminya. Adik laki-lakinya, biasa dipanggil Yung, mulanya diajak omnya, Amir Syamsuddin, mengelola tambak, lalu kerja di kelompok usaha ipar, belakangan menggeluti usaha pie susu.
Tan Lioe Ie mulai menulis puisi pada usia 31 tahun ketika ia bertemu dengan sejumlah penyair dari Sanggar Minum Kopi (SMK). Saat itu, tahun 1989, SMK menggelar lomba baca puisi, dan ia diminta menjadi juri pembanding dari bidang lain.
“Pada akhir tahun itu juga, saya mulai menulis puisi,” kata Tan Lioe ie.
Puisi memang mempesona kemduian di mata Tan Lioe Ie. Semakin hari ia semakin akrab dengan puisi, yang mendorongnya menulis puisi.
Tan Lioe Ie saat beraksi dalam pentas puisi-musik | Foto diambil dari laman facebook Tan Lioe Ie
Pada periode awalnya dia dibimbing Penyair Frans Nadjira, dengan metode yang disebut Frans sebagai “Sparing Partner”, metode yang juga diterapkan di SMK dan dibawa ke Jogja oleh Raudal Tanjung Banua dalam Komunitas Rumah Lebah yang didirikannya.
Puisi-puisinya dimuat, dalam lebih dari 30 antologi bersama, juga di berbagai media dalam dan luar negeri, seperti Bali Post, Berita Buana, Kompas, Suara Merdeka, Media Indonesia, Horison, Jurnal CAK serta di majalah dwi bahasa (Indonesia Inggris, yang dirintis Heather Curnow dan Nurhidayat Poso) Coast Line, lalu Paradox yang dirintis Heather Curnow, di Lebanian, Perancis, Orientirungen Jerman.
Puisinya telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, Bulgaria, Mandarin, Belanda, Jerman, Perancis. Tan Lioe Ie pernah diundang ke berbagai acara sastra di berbagai daerah di Indonesia dan ke luar negeri, seperti Tasmania, Suriname, Afirka Selatan, Belanda, Perancis, Jerman, dan Belgia.
Buku Puisi tunggal pertamanya, “Kita Bersaudara”, versi Inggrisnya “We Are All One”, terjemahan Dr Thomas Hunter. Buku puisi kedua yaitu “Malam Cahaya Lampion” yang diterbitkan Bentang Pustaka, Yogyakarta, 2005, dengan versi Belanda “Nacht Van De Lampionnen” diterbitkan Uitgeverij Conserve, The Netherlands, 2008, terjemahan Linde Voute.
Buku tunggalnya yang ketiga adalah “Ciam Si, Puisi-puisi Ramalan” yang diterbitkan Buku Arti, 2015, dan versi Perancis berjudul Poemes divinatoires terbitan Pustaka Ekspresi, Bali, 2017 yang terjemahan Elizabeth D Inandiak.
Dengan buku Ciam Si, ia bahkan disebut-sebut sebagai penyair pertama Indonesia yang melakukan eksplorasi atas ritual dan mitologi Tionghoa dalam puisi bahasa Indonesia. Itu menurut Sutardji Calzoum Bachri dalam sebuah wawancara di harian Kompas. Meski kental dengan nuansa etnik, puisi-puisinya tetap mempunyai daya pikat untuk berbagai kalangan.
Selain media-media umum dan buku antologi tunggal, puisi Tan Lioe Ie juga dimuat dalam antologi bersama di Bali The Morning After, Antologi Menagierie 4, Perjalanan, Mimbar Penyair Abad 21, Bonsai’s Morning, “Living Together”, Tafsir dalam permainan, Utan Kayu International Literary Biennale, dan banyak lagi yang lainnya.
Puisi Tan Lioe Ie juga pernah dibacakan dalam program Poetica radio ABC, Australia. Menurut Mike Ladd dari radio ABC, saat itu Tan Lioe Ie adalah orang ketiga setelah Rendra dan Goenawan Mohammad dari Indonesia yang disiarkan di program Poetica Radio ABC.
Buku Malam Cahaya Lampion masuk ke dalam “long list” Katulistiwa Literary Award, buku Ciam Si masuk 10 besar dalam penghargaan buku Hari Puisi. Sementara puisinya Tangis Musim Semi Azerbaijan memenangkan Lomba Cipta Puisi Nasional, Sanggar Minum Kopi, dan puisi Abad yang Luka memenangkan Taraju Award, dalam lomba nasional yang diadakan Yayasan Taraju, Sumatera Barat.
[][][]
Tentang gubahan puisi-musik, Tan Lioe Ie awalnya menggubah puisi-puisi Umbu Landu Paranggi. Ia awalnya biasa tampil sendiri dengan hanya menggunakan gitar akustik. Pengalamannya belajar gitar klasik dari Sodiq dan Arthur Sahelangi, memberi sentuhan yang berbeda pada permainan gitarnya.
Tan Lioe Ie awalnya menggubah puisi Umbu Landu Paranggi ke musik sebagai apresiasi atas kesetiaan Umbu terhadap Puisi.
Gubahannya sempat direkam TVRI Denpasar dalam rangka membuat feature tentang Umbu Landu Paranggi. Saat direkam, ia tak tampil sendirian, melainkan ditemani pemain musik lain dan penyanyi sebagai backing vocal.
“Saat itu, saya berada di Singaraja, dan berkat jasa Pak Sunaryono Basuki Ks, saya dikenalkan dengan seorang giraris pria dan dua backing vokal perempuan, ditambah Alit Jatendra asal Denpasar, pada biola,” ceritanya.
Menurut Tan Lioe Ie, puisi-musik bisa menjadi cara lain untuk mencapai segmen penikmat selain penikmat puisi yang “konvensional”. Dan terbukti berbagai kalangan serta lintas usia dari anak-anak hingga dewasa, bisa menikmati puisi yang dihadirkan dalam bentuk puisi-musik.
Tan Lioe Ie dengan gaya panggungnya yang khas, baik dalam membaca puisi maupun dalam memainkan puisi-musik | Foto diambil dari facebook laman Tan Lioe Ie
Cara Tan Lioe Ie membawakan puisi tidak hanya diapresiasi di dalam negeri, juga di luar negeri. Pada saat ia berada dalam acara Tasmnia Writers’ & Readers’ Festival, oleh Direktur Tasmania Writers Center, sesi tampilnya ditambahkan dengan persetujuan Tan Lioe Ie.
Saat tampil juga pernah terjadi permintaan tambahan dari penonton, sehingga MC – nya mengatakan: “The first on call in the festival” atau “permintaan tambahan pertama dalam festival”.
Selain diundang sebagai peserta festival, Tan Lioe Ie juga sempat memenangkan tiket untuk menjadi “Writer in Residence” bersama Novelis Perancis Merrie Gaullis dan beberapa penulis Australia. Menurut Heather Curnow saat itu, mungkin Tan yang pertama dari Asia yang menjadi Writer in Residence di Tasmania. Sebagai Writer in Residence, ada sesi Tan Lioe Ie memberikan workshop menulis puisi di Tasmania.
Tan Lioe Ie juga pernah terlibat dalam pembuatan “buku dengar” atas cerpen-cerpen Belanda yang disiarkan radio Belanda seksi Indonesia. Selain menulis karya asli, Tan Lioe Ie juga melakukan terjemahan ke bahasa Indonesia atas puisi penyair dari beberapa negara, dari versi Inggris-nya.
[][][]
Tan Lioe Ie tak berasal dari Fakultas Sastra. Setelah lulus pendidikan SD hingga SMA di Kota Denpasar, ia pernah kuliah di Fakultas Teknik Arsitektur Universitas Jakarta, namun tidak tamat. Ia kemudian kuliah hingga tamat di Fakultas Ekonomi jurusan Managemen, Universitas Udayana, Bali. Yang menarik, di Fakultas Ekonomi ia justru terkenal sebagai pemain basket.
Tan Lioe Ie bersama teman-temannya di Sanggar Minum Kopi yang dilanjutkan Yayasan CAK, sempat menerbitkan jurnal CAK, di mana dia juga menjadi salah seorang editornya. Keistimewaan jurnal CAK, kata Tan Lioe Ie, adalah, pada setiap edisi menghadirkan local genius, antara lain I Gusti Nyoman Lempad, Geruh, hingga yang muda Wayan Gde Yudane.
“Ini memberi warna bagi Indonesia yang kerap mengabaikan “tokoh daerah” dalam liputan di masa itu,” kata Tan Lioe Ie.
Tan Lioe Ie juga pernah menjadi editor tamu dan editor majalah dwi bahasa Coast Line dan Paradox, Kurator UWRF dan Toya Bungkah Literary Festival. Ia juga pernah diwawancarai dan direkam baca puisinya oleh Radio ABC, Australia bekerjasama dengan radio BBC London untuk disiarkan di negara-negara berbahasa Inggris di luar kedua negara asal radio tersebut.
Saat di Suriname, Tan Lioe Ie juga diwawancarai radio setempat dan menyanyikan puisi Umbu Landu Paranggi yang digubahnya menjadi puisi-musik, sambil bermain gitar.
Tan Lioe Ie dan kawan-kawannya juga melahirkan album puisi-musik, yaitu album puisi-musik Kuda Putih versi kustik yang terdiri dari 8 puisi karya Umbu Landu Paranggi dan 2 puisi karya Tan Lioe Ie.
Puisi-musik hasil gubahannya itu biasa dibawakan Tan Lioe Ie baik secara tunggal atau bersama kawan-kawannya dalam acara sastra serta acara-acara lainnya. Album puisi-musik kedua, yaitu EXORCISM yang khusus menggubah puisi-puisi Tan Lioe Ie yang dibawakan bersama kawan-kawannya dalam band Bali Puisi-Musik.
Sedangkan album puisi-musik Kuda Putih Remastered terdiri dari 3 puisi Umbu Landu Paranggi dan 3 puisi Tan Lioe Ie dibawakan juga oleh Bali PuisiMusik.
Bersama kawan-kawan kelompok akustiknya (personalnya bisa berubah jumlah dan orangnya saat “Live”), Tan Lioe Ie pernah pentas di Yogyakarta, Cirebon, Tasikmalaya (dalam rangka peluncuran album Kuda Putih versi akustik), dan di Badan Bahasa (Dulu Pusat Bahasa) Jakarta.
Bersama band Bali PuisiMusik, juga pernah pentas di Jakarta Convention Center, Panggung Kedai Lalang, Jakarta, Festival Seni Surabaya, Pekan Seni dan Budaya Aceh, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) di Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, TSI di Ternate, dan Maluku Utara.
Tan Lioe Ie ternasuk satu dari sekian seniman Indonesia yang cukup banyak diliput media luar negeri. Bahkan sebuah tulisan di Media Suriname tentangnya, berjudul De Leeuw Van Bali (Singa dari Bali), “julukan” yang membawa nama Bali ini juga disertakan pada cover buku Malam Cahaya Lampion versi Belanda Nach Van De Lampionnen. Tentu saja, pengantarnya atas permintaan penerbitnya serta disetujui Tan Lioe Ie.
Tulisan itu dibuat oleh Cynthia Mc Leod, Sastrawan asal Suriname, putri presiden pertama Suriname. Selain pernah jumpa langsung dengan Tan Lioe Ie di Suriname, ia juga ikut dalam program penulisan cerita yang melibatkan penulis Afrika Selatan, Belanda, Curacao. Tulisan ini dimuat bersambung.
Untuk segala pencapaiannya itulah Tan Lioe Ie diberikan penghargaan Bali Jani Nugraha di bidang sastra, sebagai penyair, oleh Pemerintah Provinsi Bali serangkaian dengan Festival Seni Bali Jani (FSBJ) IV, Tahun 2022. [T][Ole/*]