“The Water Soul“, sebuah garapan tari yang merekam sekaligus menerjemahkan bahasa air ke dalam bahasa tubuh. Garapan ini dibawakan Dekgeh Dance Art Community dari Singaraja pada Festival Seni Bali Jani (FSBJ) ke-4 di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Art Center, Provinsi Bali, Senin malam, 10 Oktober 2022.
Prosesnya mungkin bisa diangap sederhana. Koregrafer merekam gerakan air, menyelami makna-makna, lalu menirukan kembali dalam sebuah gerakan tari. Namun sesungguhnya tak sesederhana itu.
Ada proses panjang yang harus dilewati, semacam perenungan, pengendapan, penuangan, pencairan, pengentalan, bahkan penguapan. Ada pengalaman lama yang harus dipelajari kembali, ada tujuan ideal yang harus dicapai. Pada proses semacam itu, kerja-kerja koreografi bisa jadi bukan sesuatu yang bisa dibayangkan dengan mudah.
Proses semacam itulah yang barangkali dilewatai koreografer I Made Tegeh Okta Maheri saat menggarap “The Water Soul“ bersama kelompok Dekgeh Dance Art Community. Setidaknya ia melakukan upaya-upaya penerjemahan dari apa yang ia lihat, dari apa yang ia rasakan, ke dalam sebuah garapan tari untuk dilihat dan dirasakan oleh banyak orang.
Ceritanya berawal dari sebuah mata air yang kecil dan bening, kemudian mengalir menuju berbagai kisah manusia. Kisah manusia memanfaatkan air, manusia membutuhkan air, manusia merawat air, juga tentang manusia yang abai pada lingkungan sehingga air menerbitkan bencana.
Semua kisah itu diolah oleh Dekgeh—panggilan I Made Tegeh Okta Maheri—menjadi bahasa tubuh yang dimainkan para penari di atas panggung. Kisah itu mengalir seperti air, yubuh-tubuh bergerak serupa air.
Made Tegeh Okta Maheri dalam The Water Soul
Dekgeh melibatkan 35 penari dan 7 pemusik. Penari-penar itu bergerak, dan setiap gerak didukung iringan musik, sehingga keseluruhan sajian menjadi kuat dan berkesan.
Garapan tari ini menggunakan alat musik kolaborasi, seperti gamelan pelog 5 nada, jimbe, drum elektrik, perkusi elektric, keyboard yang dimainkan dengan gaya khas Palawara Music Company dengan komposer Ary Wijaya.
Dengan paduan gerak tari dan musik digarap sungguh-sungguh, garapan sepanjang hampir 100 menit jadi tidak membosankan.
Dekgeh, jebolan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar membagi garapan ini menjadi beberapa babak. Pada babak pertama, menggambarkan mata air yang terlahir dalam kegelapan dan kesunyian bumi. Lahir perlahan dan mulai menyatukan segala energinya untuk keluar dan menjelajahi tanah dan bebatuan serta bersatu dengan mata air yang lainnya serta mengalir.
Babak kedua mengisahkan bersatunya mata air dan menjadi aliran sungai yang kecil dan besar serta mengalir ke segala arah dan mengalir dari atas ke bawah sebagai air terjun. Menjelajahi bumi dengan menerima dan memberi manfaat bagi manusia. Jujur dalam segala kisahnya dengan melebur baik dan buruk dalam tubuhnya.
Babak ketiga mengisahkan kegiatan manusia yang memanfaatkan air dalam kehidupan sehari-hari, beberapa penari gerabah dalam mengambil air, suasana desa yang penuh dengan suka cita dan juga kesombongan serta konflik dalam masyarakat yang dipicu oleh keegoisan manusia. Lalu, Babak IV menceritakan kemurkaan alam dalam melebur kebaikan dan keburukan alam berupa gelombang besar, banjir, dan hujan badai.
Babak kelima menggambarkan pembersihan bumi, diri dan semesta, kembali menjadikan air sebagai unsur hidup suci yang menaungi segala bentuk kehidupan dunia beserta isinya. Menggali lagi esensi air yang murni, jujur,menerima dan memberi manfaat serta memberi bencana bagi mereka yang tidak mampu menghargai, menjaga alam.
Lalu, seluruh babak itu ditutup dengan kembali dengan hening sunyi. Lalu dentang waktu yang mengiringi perjalanan kisah air yang bening, keruh dan bening lagi, sesuai dengan perputaran peradaban manusia. [T][Ado]