Dimabuk kata. Film ini telah membuat saya dimabuk kata.
Film “Walking Through Words” diputar Selasa, 6 September 2022, dalam rangkaian Minikino Film Week 8 (MFW8) di Rumah Belajar Komunitas Mahima. “Walking Through Words” adalah program film pendek dokumenter Korea yang diproduksi oleh Sesiff di tahun 2021.
Sesuai judulnya, film ini mengajak kita menelusuri kota melalui kata-kata. Sang aktor sekaligus narator bercerita bagaimana kata-kata di kotanya telah menjadi rangkaian imaji, secara visual dan imajinasi membentuk refleksi terhadap kehidupan manusia yang dinamis di kota itu.
Kamera bergerak menelusuri tiap kata yang ditemukan oleh aktor narator tunggal, ke seluruh pelosok kota, di permukaan tembok lusuh, di gerbang toko, di tepi jalan, di taman kota, di mana-mana.
Kata yang sebelumnya tidak hidup, dimaknai kembali, dan diresapi hingga ke dalam. Mendadak kota itu terasa hidup sekaligus bergeliat kadang lambat kadang cepat. Mari membayangkan bersama.
Salah satu adegan dalam film “Walking Through Words” yang diputar di Komunitas Mahima serangkaian Minikino Film Week 8 | Foto: Dok. MFW 8
Bayangkan sebuah kota yang dibangun dengan kata-kata. Dihidupkan oleh kata-kata. Diarahkan oleh kata-kata. Macam-macam kata.
Kata yang hampir terhapus, kata yang pernah ada, kata yang tertempel, kata yang mengarahkan, kata yang membakar, kata yang merayu, kata yang menghianati, kata yang menyebalkan, kata yang mengumpat, kata yang menghakimi, kata yang memotivasi, kata yang membuat apa saja menjadi renungan.
Adalah sebuah kota di Korea Selatan yang menjadi subjek film ini. Kata-kata hadir di sepanjang (sependek) film selama 6.36 menit. Membuat kita merenung bahwa kadang benar, hidup ini adalah rangkaian kata-kata yang kadang kita abaikan.
BACA JUGA:
- “Kadillak dhe Manaferra”, Potret Perlawanan Albania 1975 | Catatan Menonton Minikino Film Week 8
- Festival Film Wartawan Indonesia : 123 Judul Film Siap Dinilai
Kata, pada akhirnya sebuah pertanda besar dari kehidupan yang maha besar dan luas. Kata yang terbangun dari beberapa simbol huruf yang mewakili simbol bunyi, mewakili simbol ide, rasa, emosi, perlawanan, pertahanan, kecemasan, keberanian, kegilaan dan apa saja.
Melalui film ini kita melihat bahwa kata membangun kemanusiaan sebuah kota. Wajah kota, dilihat dari kata-katanya. Bahwa kata-kata yang kadang diabaikan ini telah menjadi sebuah identitas kota.
Dan sepertinya berbagai jenis manusia turut menyumbangkan suara melalui kata-kata yang ada. Manusia yang marah menulis kata “bajingan” sebagai sebuah coretan vandalisme. Manusia yang sedih menulis kata-kata sedih, manusia penjual memakai kata pada brosur promosi, lalu manusia kesepian dihibur oleh kata-kata motivasi receh di tepi-tepi jalan.
Suasana menonton film serangkaian Minikino Film Week 8 di Komunitas Mahima | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Apa yang ingin ditunjukkan oleh Hyemin Park melalui dokumentasi pendeknya ini? Kalau melihat backgroundnya sebagai mahasiswa doktoral bidang ilmu teori politik, tentu kita bisa hubungkan bahwa ia sedang melihat kota dan kata tumbuh saling berkelindan dan saling mengadakan.
Kata adalah simbol ekspresi identitas manusia, voice of the society. Kata Byrne (2015) kata-kata mewakili suara, mewakili identitas, mewakili makna. Sedangkan Hoffman mengatakan bahwa kata membuka sejuta makna (Hoffman, 1993).
Kota yang hidup dalam kata, atau kata yang hidup dalam kota adalah kota yang mindful, kota yang berpikir. Dalam konteks kota yang mindful, manusia di dalamnya juga adalah manusia yang mindful karena mencerna kata dengan baik.
Hall (2015) mengatakan bahwa pembacaan yang mendalam mengantarkan kita pada mindful literacy, sebuah sudut pandang baru dan sebuah konteks baru yang diperbaharui terus menerus. Kota dalam kata, atau kata dalam kota menjadi sebuah sudut pandang yang tidak berhenti dibangun.
Suasana menonton film serangkaian Minikino Film Week 8 di Komunitas Mahima | Foto: Dok. Komunitas Mahima
Lalu apa kabar dengan kota saya di Singaraja? Atau di Denpasar? Atau kota-kota lain di Indonesia?
Kota saya adalah juga kota yang mindful. Kota yang berpikir. Di benak yang berpikir saja. Di kota saya, akan sulit menemukan kata-kata seperti puisi dipajang di baliho kota yang mentereng, atau dipajang di tengah pusat kota lainnya.
Membayangkan puisi semacam “jika kota ini mungkin hilang, ingatlah kata-kata akan tetap ada” hanya ada di benak saja. Atau kata-kata semacam “tetaplah terlihat bahagia meskipun kita semua berpura-pura” tidak mungkin dipajang di sudut kota saya.
Jadi sementara ini, kota saya hidup di kepala. Kepala masing-masing orang seperti saya. Sebab jika mau jujur, kebanyakan kota saya dibangun oleh kata-kata “pecel lele”, “bakso”, “sate”, “mie ayam”, dan nama-nama toko, juga baliho politik. [T]
References:
- Byrne, G. (2015). Narrative inquiry and the problem of representation: ‘giving voice’, making meaning. International Journal of Research and Method in Education, 40(1), 36–52.
- Hall, M. et al. (2015). The power of deep reading and mindful literacy: An innovative approach in contemporary education. Innovación Educativa, 15(67), 49–59. DOI: https://doi.org/10.31231/osf.io/56pty
- Hoffman, Th.R. (1993). Realms of meaning. Longman Publishing