Tidak banyak karya sastra dengan setting Bali mengambil tema rempah-rempah. Atau tidak banyak sastrawan di Bali tertarik mengelola tema atau sub tema tentang rempah-rempah dalam karya-karya mereka, seperti dalam puisi, cerpen, atau novel. Padahal di Bali, sumber-sumber teks mengenai rempah-rempah banyak tertulis dalam lontar, bahkan belakangan mulai banyak dibicarakan dalam diskusi budaya maupun ditulis di media massa.
Sastrawan di Bali tampaknya masih menganggap masalah-masalah adat seperti pertentangan kasta dan dampak-dampak kepariwisataan menjadi tema yang seksi, sehingga hingga pada zaman milenial ini tema-tema semacam itu masih tetap digarap, baik oleh sastrawan senior maupun sastrawan muda.
Konflik kasta dan kepariwisataan masih menjadi tema menarik hingga sekarang, seperti kata Nyoman Darma Putra, karena kedua isu itu senantiasa mewarnai wacana publik atau media massa di Bali sejak zaman kolonial hingga kini. Tema lain bukannya tidak ada, tetapi sangat jarang dan situasional.
Karya-karya dengan tema pertentangan kasta bertebaran dalam karya-karya sastrawan di Bali dan dibicarakan dalam berbagai seminar sastra dan tulisan-tulisan kritik sastra yang dimuat di berbagai media dan jurnal. Sebut misalnya cerpen “Kentongan Dipukul di Balai Banjar” karya Nyoman Rasta Sndhu (1975) hingga novel “Tarian Bumi” karya Oka Rusmini.
Gede Aryantha Soethama, cerpenis dari Bali peraih Katulistiwa Leterary Award (KLA) tahun 2016 lewat kumpulan cerpen “Mandi Api”, adalah salah satu sastrawan yang sangat intens menggarap tema-tema adat. Namun ia tampaknya belum tertarik mengolah tema tentang rempah-rempah dalam cerpen-cerpennya. Justru ia menyempatkan diri menulis tema rempah, meski pun tak terlalu mendalam, saat ia menulis esai untuk kolom Nusa Ning Nusa di Harian Nusa Bali. Salah satunya esai berjudul “Kuliner Penanda Kota” yang disiarkan 29 Agustus 2021.
Kegairahan menggarap tema kasta dan pariwisata tampaknya tidak terjadi pada tema rempah-rempah meskipun sesungguhnya rempah-rempah juga tak bisa dilepaskan dan dianggap penting, bahkan selalu ada, dalam kegiatan-kegiatan adat di Bali. Tidak banyak ditemukan cerita dalam cerpen atau novel yang secara khusus mengelola tema rempah, atau memberi porsi lebih banyak pada masalah rempah-rempah ketika misalnya sastrawan menulis masalah-masalah adat. Padahal, rempah-rempah dengan segala keunikannya bisa saja dimunculkan sebagai sumber konflik atau setidaknya bisa juga sebagai bumbu cerita dan jika diadon secara lebih rinci bisa membuat karya menjadi lebih sedap.
Dalam puisi, sejumlah penyair di Bali sebenarnya banyak yang tertarik menulis tema-tema kuliner dengan memasukkan diksi yang diserap dari dunia rempah-rempah. Salah satunya adalah penyair Wayan Esa Bhaskara. Misalnya, di tatkala.co, 30 Oktober 2021, Esa menulis sejumlah puisi bertema kuliner, antara lain “Ikan Bakar dan Seporsi Sore”, “Sambel Matah” dan “Nasi Men Darta”. Tetapi Esa Bhaskara, dan sejumlah penyair lain yang menulis tema kuliner, tampaknya tak punya minat secara serius mengekplorasi tema kuliner, termasuk bumbu dan rempah-rempah sebagai sebuah ladang pencarian dalam dunia penciptaan puisi. Diksi-diksi dari dunia bumbu atau rempah hanya muncul sesekali dalam puisi, dan itu pun kebanyakan hanya sebagai “penyedap” untuk membicarakan hal-hal universal semacam cinta, kasih sayang dan hubungan-hubungan antarmanusia atau hubungan keluarga.
Akhir tahun 1970-an muncul naskah drama Masan Cengkehe Nedeng Mabunga (Ketika Cengkeh Sedang Berbunga). Naskah itu adalah naskah juara pertama lomba menulis naskah drama yang digelar Majelis Pertimbangan Kebudayaan (Listibiya) Provinsi Bali tahun 1978 dan setelah itu naskah drama itu dicetak beberapa kali. Naskah itu menceritakan kegairahan petani di Desa Nyebah, Kayuamba, Bangli, Bali, menanam dan merawat cengkeh sebagai sumber mata pencaharian baru.
I Nyoman Darma Putra sebagaimana ditulis dalam buku “Heterogenitas Sastra di Bali” (Pustaka Larasan, 2021) naskah drama “Ketika Cengkeh Sedang Berbunga” menyajikan cerita dengan tema rempah, dalam hal ini cengkeh. Tema ini bisa dilihat secara langsung dari judul naskah drama itu. Dan tema ini tergolong langka dalam sastra modern di Bali, baik sastra modern berbahasa daerah atau berbahasa Indonesia. Darma Putra menyebut, terbatasnya sastra bertema rempah-rempah bisa dipahami karena Bali tidaklah termasuk daerah dengan rempah-rempah sebagai hasil bumi utama.
Di Indonesia terdapat sejumlah karya sastra mengambil tema rempah-rempah. Namun, menurut JJ Rizal sebagaimana dikutip republika.co.id dalam artikel “Riwayat Cengkeh dan Perannya Mewarnai Karya Sastra” yang disiarkan 10 Juli 2017, sastra Indonesia termasuk terlambat dalam mendokumentasikan kekayaan rempah. Sementara Eropa dan Arab sudah lebih dulu mendokumentasikan rempah-rempah dalam karya sastra sebelum Indonesia.
Sejumlah karya sastra di Indonesia, yang mengambil tema mengenai rempah-rempah terutama soal cengkeh dan pala, antara lain “Mirah dari Banda” karya Hanna Rambe dan novel “Ikan-Ikan Hiu, Ido, Homa” yang ditulis Romo Mangunwidjaya. Pramoedya Ananta Toer sebelumnya menuangkan kisah bagaimana bangsa Eropa datang dan mengambil alih rempah di nusantara dalam bukunya, “Arus Balik”.
Rempah dalam Novel Kulit Kera Piduka
Tahun 2020 di Bali, terbit sebuah novel yang ditulis oleh sastrawan Putu Juli Sastrawan. Novel ini berjudul “Kulit Kera Piduka” yang diterbitkan Mahima Institute Indonesia. Putu Juli Sastrawan termasuk sastrawan muda di Bali yang memiliki minat besar terhadap tema-tema yang jarang digarap oleh sastrawan lain di Bali, misalnya tema penyimpangan seksual.
Buku pertamanya adalah kumpulan cerpen yang berjudul “Lelaki Kantong Sperma”, sebuah buku yang cukup banyak dibicarakan dalam diskusi-diskusi sastra di Bali, termasuk di kota-kota lain di Indonesia. Cerpen-cerpen dalam buku yang juga diterbitkan Mahima Institute Indonesia (2018) ini seluruhnya mengandung tema soal seksual, lengkap dengan sisi-sisi gelap dan penyimpangan-penyimpangannya. Novel “Kulit Kera Piduka” adalah buku kedua Juli Sastrawan. Dalam novel ini Juli Sastrawan menyinggung tema soal rempah-rempah yang juga dikaitkan dengan masalah seksual.
Novel Kulit Kera Piduka bercerita tentang tokoh-tokoh dalam lingkungan keluarga dan lingkaran persahabatan (termasuk lingkaran perseteruan) di sebuah desa di Bali. Tokoh sentralnya adalah Piduka, Kenanga, Piranti, Kepuh, Arsa dan Parwa. Piduka, seorang ayah, menemukan ramuan asahan kulit kera pada sebuah manuskrip lama. Ramuan yang berhubungan dengan pengobatan masalah-masalah seksual itu ia pelajari cara pembuatannya termasuk manfaatnya. Selain untuk mengukuhkan kelelakiannya, Piduka ingin mengenalkan dan memberikan ramuan itu kepada anak perempuannya, Kenanga. Piduka berharap dengan ramuan itu, Kenanga yang disiapkan bakal menjadi penari joged akan laris dan menjadi idola para lelaki, sehingga grup joged di desa itu juga akan laris diupah ke desa-desa lain.
Dalam ramuan-ramuan itu tersebut rempah-rempah yang namanya mungkin terdengar akrab di telinga, mungkin juga asing. Ini sejumlah kutipan yang mendeskripsikan tentang resep dan ramuan yang disimpan oleh Piduka.
Obat pemanjang kelamin laki-laki, bahan: pijer cina dimar sela, dipipis, dicampur madu, diminum menghadap ke timur akan tercapai seperti apa yang anda harapkan.
Obat pembesar kelamin bahan: merica, buah jeruju yang berada di timur laut, dipipis, air santan kane, direbus hanya sebentar.
Obat kelamin laki-laki, bahan: hidung babi hutan, potong dan dipanggang (namun) jangan sampai masak (setengah matang) dimakan dengan kencur, bawang putih, merica, garam yang disangrai. Diminum bersama berem segar dan sudah keluar buihnya. Mantranya diucapkan tiga kali.
Obat (untuk) menormalkan air mani, bahan, akar duri hanan-hanan, kulit kayu jaran, dipipis (lalu) ambil airnya, disaring yang bagus, dicampur air susu segar, dicampur sedikit dengan garam.
Obat sperma kering, isi kelapa muda yang diparut, merica 21 butir, air madu (dicampur madu), direndam dalam mangkok, setelah matang makan setiap hari, dapat sembuh olehnya.
Obat impoten dan sakit kuning, bahan-bahannya, kunir yang tua 3 iris, semuanya dicampur diisi merica 7 biji, setiap satu biji dibubuhi madu, lalu dibakar setelah matang dikunyah! Satu lagi bahan obatnya, isen kulit gertas yang muda, dibakar bawang putih, garam uku, air ketan gajih, diminum menghadap ke timur, kembali sempurna olehnya!
Obat air mani encer bahan-bahannya, beras putih, direndam dengan santan, lalu dimakan bersama nira kelapa sedikit. Obat perangsang air mani, bahan-bahannya telur, ayam hitam, merica, garam uku, diminum.
Terdapat harapan besar novel Kulit Kera Piduka akan mengeksplorasi sepenuhnya soal rempah-rempah yang masuk dalam khasanah kebudayaan Bali yang cukup penting, apalagi jika dikaitkan dengan masalah seksualitas, pengobatan, dan tentu saja kuliner. Namun, meski menjadi unsur penting untuk menghidupkan cerita, tampaknya rempah-rempah dalam novel ini bukan menjadi tema sentral. Melalui cerita itu, Putu Juli Sastrawan secara lebih luas justru ingin menyampaikan dampak kemajuan perkotaan, termasuk pariwisata, terhadap perkembangan desa dan manusianya. Padahal, dalam cerpen-cerpen yang terdapat dalam buku “Lelaki Kantong Sperma”, Putu juli Sastrawan tampak begitu bergairah menggarap tema seksual. Kegairahan itu tak tampak dalam novel “Kulit Kera Piduka” meskipun diksi-diksi seksual begitu kuat muncul pada kutipan-kutipan naskah kuno yang disimpan Piduka dalam cerita itu.
Kenanga, dalam cerita novel itu justru diceritakan tak tertarik dengan ramuan yang dikenalkan oleh ayahnya. Ia tergoda rayuan pariwisata dan bercita-cita pergi ke selatan, ke kota. Ia justru ingin bekerja dan membantu orang tuanya. Sampai di situ, cerita soal rempah-rempah seakan selesai. Cerita yang dibangun Putu Juli Sastrawan dalam novel itu tidak memberikan porsi besar terhadap ramuan rempah-rempah, misalnya untuk dijadikan sumber konflik tokoh-tokohnya. Ramuan rempah-rempah sepertinya hanya ditempatkan sebagai bagian benda desa atau benda masa lalu, seperti juga benda-benda berharga lainnya, yang terkena dampak perkembangan kota dan pariwisata, sehingga Kenanga pun tak memperhatikannya. Konflik justru terbangun dari keinginan Piduka menjadikan anaknya sebagai penari joged, sementara Kenanga ingin bekerja di bidang pariwisata di kota. Konflik yang dihadapi tokoh Kenanga juga bukan pada ramuan rempah-rempah itu. Bangunan konfliknya adalah Kenanga suka menari, tapi lebih ingin bekerja di kota, dan ia tak memiliki uang, sedangkan orang tuanya melarang ia pergi ke kota.
Seperti tokoh Kenanga yang termakan rayuan pariwisata dan tak tergoda untuk mencoba ramuan kuno itu, pengarang juga lebih tertarik menggarap tema pariwisata atau perkotaan dengan dampak-dampak yang lebih banyak dihadapi oleh orang-orang desa. Tetapi, meski tak tergarap sepenuhnya, unsur ramuan kulit kera, rempah-rempah dan mantra kuno, bisa dianggap memberi warna lain dalam novel “Kulit Kera Piduka” . Rempah-rempah, sebagaimana juga benda-benda lain yang tersebut dalam novel itu, bisa jadi simbol betapa teks-teks tradisional yang menyimpan ajaran kehidupan yang penuh manfaat kini sudah ditinggalkan begitu saja. Upaya pengarang untuk melakukan riset tentang ramuan kulit kera yang terdapat dalam lontar Smara Krida Laksana juga patut dihargai, terutama untuk membuat novel ini menjadi lebih berwarna meskipun secara garis besar novel ini bicara tentang persoalan-persoalan umum, misalnya soal kearifan masa lalu yang pudar disapu zaman.
Cerita-cerita Rempah dalam Teks Tradisional
Agak mengherankan kenapa cerita soal rempah-rempah sangat jarang digarap pengarang yang menulis karya sastra Indonesia di Bali. Padahal, meski bukan hasil bumi utama di Bali, rempah-rempah dengan segala manfaatnya banyak ditulis dengan cerita yang menarik dalam teks-teks tradisional dalam wahana lontar.
Dalam artikel berjudul “Jelajah Pemanfaatan Rempah dalam Naskah Lontar” (tatkala.co, 26 Oktober 2021), Putu Eka Guna Yasa mengutip karya sastra geguritan berjudul “Megantaka” yang berisi cerita tentang pemanfaatan rempah sebagai parfum. Karya sastra ini mengisahkan petualangan cinta antara Raden Ambaramadia dengan putri Ambarasari. Salah satu godaan yang menguji kekuatan cinta mereka datang dari Ni Limbur, seorang perempuan biasa yang menggunakan guna-guna untuk mendapatkan cinta dari Raden Mantri Ambaramadia. Ni Limbur selalu mempersiapkan diri agar bisa tampil secantik mungkin di hadapan Raden Mantri Ambaramadia.
Wangi-wangian yang digunakan Ni Limbur dideskripsikan dalam cerita itu antara lain sebagai berikut: “Wangi-wangian (parfumnya) menggunakan sembilan campuran, lengkuas jahe kunir, lempuyang umbi paspasan, umbi gadung umbi teki, dan umbi keladi, disampur dengan buah enau, setelah selesai berhias, memakai guna-guna di alisnya, yang bernama ketog titih jaring bukal.”
Cerita yang tak kalah menarik tentang pohon dan rempah-rempah juga terdapat dalam Lontar Taru Pramana. Disebutkan seorang raja yang merangkap menjadi penyembuh, Raja Mpu Kuturan, tiba-tiba kehilangan kesaktiannya untuk menyembuhkan. Ia kemudian bertapa di kuburan. Tapanya berhasil dan Dewi Durga memberi anugerah kepada Raja Mpu Kuturan untuk bisa berbicara dan mendengarkan suara pohon. Dan pohon-pohon itu satu persatu bercerita kepada Mpu Kuturan, tentang batangnya, tentang daunnya, bunganya, kulitnya, dan bagian-bagian lain sekaligus dengan segala khasiatnya.
Cerita soal rempah juga ada di lontar Rukmini Tattwa. Teks dalam lontar ini menceritakan tentang Rukmini yang gelisah karena suaminya seakan terus menjauhinya. Rukmini merasa frustrasi. Ia sudah melakukan berbagai cara untuk merawat tubuh dan organ seksualnya tetapi tidak berhasil. Ia kemudian datang kepada Dewa Saci. Ia memohon petunjuk agar suaminya tidak berpaling ke lain hati. Maka diberikanlah Rukmini sebuah wejangan agar ia merawat dirinya dengan ramuan obat-obatan yang diberikan. Rukmini diminta untuk menjaga area kewanitaannya agar tetap terjaga dan selalu terasa seperti perawan. Ia diberikan sebuah sarana seperti air jeruk linglang, kelapa yang dibakar, manjakani, jinten, ulambet, merica, bawang putih. Campuran semua bahan itu dibuat sebagai jamu lalu diminum.
Kesimpulannya, sumber cerita tentang rempah-rempah sesungguhnya bisa disebut melimpah dalam teks-teks tradisional di Bali, tetapi pengarang sastra Indonesia tampaknya tak banyak yang tertarik mengolahnya menjadi tema atau sub tema cerita. Novel “Kulit Kera Piduka” mungkin bisa disebut sebagai pelopor untuk kemudian diikuti pengarang-pengarang lain di Bali. [T]