Siwa menyiapkan semua keperluannya dengan tergesa-gesa untuk tugas sore ini di rumah sakit. Ia sangat cemas dan tertekan karena saat melirik jam dinding, jarum jam sudah mendekati angka 7 malam dan di luar mulai tampak gelap. Ia terlambat bangun dari tidur siangnya.
Harusnya ia mulai bertugas jam 2 sore. Dan, astaga, sudah terlambat jauh sekali. Sepertinya tidur siangnya hari ini telah didera beragam mimpi buruk yang serba aneh, membuat tidurnya menjadi begitu panjang.
Dalam ingatannya, ia tadi mulai berbaring tepat jam 12 siang. Ketika terbangun, alih-alih tubuh segar yang ia rasakan, justru yang ia kini merasakan tubuhnya lelah dan pikirannya kacau.
Ia memeriksa isi tasnya sekali lagi, stetoskop, senter kecil, termometer, sarung tangan medis, tongue spatel dan pulse oxymetri. Lengkap. Satu lagi apa ini? Ia kaget saat mendapati ada buntalan kain putih yang tak dikenalinya, teronggok samar di salah satu sudut tas prakteknya.
Ia memungut dan memeriksanya, terasa padat dan samar tampak tulisan huruf Bali yang mulai memudar pada kain putih penutupnya. Ia hendak melemparnya ke bak sampah di sudut kamar saat tiba-tiba ada suara yang mengejutkannya.
“Jangan dibuang. Itu akan menjaga keselamatanmu!”
Siwa memalingkan wajahnya ke arah suara di belakangnya. “Oh nenek, kapan nenek datang?”
Ia sedikit gelagapan karena yang ia tahu, neneknya tinggal di desa dan tidak ada berita beliau akan datang ke kota tempat tinggalnya. Kamar tidur Siwa memang terpisah sendiri dari bangunan utama yang besar di belakang pekarangan rumah keluarganya yang luas.
Dari jendela kamar tidurnya, Siwa bisa melihat petak-petak sawah yang tersisa sangat sedikit di kota itu yang langsung berbatasan dengan area pemakaman warga keturunan Cina kota itu.
“Jam 12 tadi siang Siwa!” Suara neneknya serak. Suara yang mestinya ia kenali, namun terasa asing malam itu. LagipuIa rasanya ia belum sempat membuka pintu kamarnya yang selalu ia kunci kalau tidur siang. Tapi neneknya kok bisa masuk?
Buru-buru ia mengembalikan buntalan itu ke dalam tas prakteknya dan bergegas ke garasi untuk mengambil sepeda motornya, segera berangkat ke rumah sakit. Ia harus menjalani tugas praktek sebagai seorang dokter muda. Ia baru sadar, dari meninggalkan kamarnya menuju garasi, neneknya hilang begitu saja. Mungkin sudah masuk ke rumah besar, Siwa menenangkan pikirannya.
Siwa menerobos malam yang pengap, mendung namun hujan tak kunjung turun. Sampai di parkir rumah sakit yang lengang ia meninggalkan sepeda motornya begitu saja, bergegas menuju ruang Flamboyan, salah satu ruangan tempatnya berpraktek malam ini.
Pintunya tertutup, maka ia perlu mengetuk pintu untuk meminta izin masuk ruangan. Seorang suster yang tampaknya segera akan pensiun, tiba-tiba sudah berdiri di hadapannya, wajahnya sudah keriput, membuka pintu begitu cepat dan membuatnya kaget.
“Maaf suster, saya terlambat,” Refleks mulut Siwa mengeluarkan kalimat.
Suster menjawab, “Oh tidak apa-apa, Dok. Kebetulan tidak ada pasien malam ini di sini,” ucapan suster itu datar tanpa emosi, dan… kok ia merasa kenal dengan warna suara suster itu.
Tidak ada pasien? Bukannya senang, Siwa justru merasakan kejanggalan. Biasanya ruangan ini selalu penuh. Ruang perawatan pasien jiwa. Ia melangkah masuk didampingi suster yang tanpa ia sadari sudah duduk di kursi di belakang meja nurse station yang agak panjang.
“Yang lain ke mana, Suster?” Siwa menanyakan keberadaan suster jaga yang lain, matanya menyelidik, kerongkongannya terasa kering.
Masih dengan tatapan tanpa ekspresi dan nada suara datar, suster menjawab, “Saya bertugas sendiri, Dok. Karena ruangan kosong. Sampai kemarin cuma ada tiga orang pasien di sini.”
Siwa buru-buru menanyakan, “Oh ya, sudah dipulangkan semua ya, Sus?”
Suster menggeleng pelan, matanya tak pernah mengedip. “Semuanya meninggal, Dok.”
Apa? Meninggal semua? Siwa makin heran dan pikirannya makin berat.
Seakan bisa membaca pikiran Siwa yang sedari tadi masih berdiri, suster yang belum juga sempat diketahui namanya itu meneruskan, “Mereka itu masih satu keluarga. Sejak dulu diketahui ada gangguan kejiwaan. Kemarin malam di rumahnya, mereka nekat mau bunuh diri bersama dengan minum racun serangga. Baru semalam dirawat di sini. Mereka meninggal semua. Tadi siang jam 12.”
Siwa cuma mengangguk dalam perasaan aneh dan ngeri.
Suster terus berbicara, “Dokter istirahat saja dulu di ruang jaga atau mungkin ada ruangan lain yang harus dikunjungi. Silakan, Dok.”
Siwa menarik napas panjang dan membalas secepatnya, “Terimakasih suster, kalau begitu saya ke Ruang Melati dulu untuk visite ke sana.”
Siwa berbalik cepat dan menyadari sudah berada di selasar menuju Ruang Melati. Suara suster itu masih terngiang di telingnya dan ia merasa pernah mendengarnya di tempat lain.
Saking cepat langkahnya, ia tiba-tiba sudah berkumpul dengan beberapa suster di nurse station Ruang Melati.
“Kok tergesa-gesa, Dok?” Salah seorang suster muda membuka percakapan sambil mengedipkan kelopak matanya.
Dibandingkan suasana Ruang Flamboyan, jelas ruangan ini jauh lebih hangat. Kedipan mata suster muda tadi lebih menghangatkan lagi, itu punya beragam makna. Sudah menjadi rahasia umum, sering ada hubungan yang memang hangat antara dokter-dokter muda praktek dengan suster-suster ruangan karena seringnya perjumpaan. Tak sedikit kemudian di antara mereka menjalin hubungan serius, bahkan hingga pernikahan.
Keresahan hati Siwa terasa menjadi lebih ringan sekarang. Ia pun bisa duduk rileks dan bisa ngobrol santai dengan beberapa orang suster yang sedang melengkapi dokumen rekam medik.
“Iya, Sus, saya tadi terlambat dari rumah.” Sambil nyengir ia jujur bercerita, “Hampir jam 7 malam baru bangun dari tidur siang.”
Tawa suster pecah mendengar cerita Siwa yang tidur siang sampai jam 7 malam. Mata mereka membelalak. Salah seorang suster menggoda, “Saya tebak, dokter pasti mimpi nikah ya? Hahaha!”
Yang lain menimpali, “Jangan-jangan habis nikah lalu lanjut mimpi kawin ya, Dok?”
Semua tertawa, Siwa pun ikut. Ia baru menyadari, baru kali ini ia tertawa. Sudah lama sekali rasanya ia tak pernah tertawa, bahkan tersenyum pun tidak.
Ia bercerita lagi. “Syukurnya di ruang Flamboyan tadi gak ada pasien. Jadi saya bisa langsung ke sini. Cuma seorang suster bertugas di sana.”
Tawa langsung berhenti. Ada tatapan ngeri pada mata semua suster. Mereka berhenti menulis. Bahkan seorang sampai menjatuhkan pulpennya karena sangat terkejut.
Nyaris bersamaan mereka menahan teriakan, “Ruang Flamboyan? Ruang Flamboyan mana, Dok?”
Siwa terperangah dan hanya dengan jarinya menunjuk ruangan Flamboyan di sebelah utara yang baru saja disinggahinya. Ia bingung dan sekejap kembali ingatannya pada suasana ruangan Flamboyan yang seram.
Tiba-tiba ia baru menyadari kalau suara suster di ruangan Flamboyan itu mirip suara serak neneknya.
Salah seorang suster di ruangan Melati kemudian berbicara dengan suara bergetar penuh kengerian, ”Maaf, Dok, Ruang Flamboyan sudah tidak ada lagi. Enam bulan lalu terbakar sampai ludes. Seorang pasien gila dengan sengaja membakar kamarnya dan api melalap seluruh ruangan. Semua pasien ikut meninggal terbakar. Juga seorang suster yang terjebak panik saat berada di kamar mandi. Suster Siwi namanya. Ia sudah lansia dan mestinya akan segera pensiun. Kasihan sekali.”
Suster itu terengah-engah, seakan tak mampu menyelesaikan kalimat-kalimat berikutnya. Yang lain melanjutkan, dalam suara parau dan kengerian yang sama,
“Sekarang bekas Ruang Flamboyan telah rata tanah. Semua suster di sana dialihkan ke sini. Beritanya kan masuk surat kabar dan media on line, Dok. Viral banget saat itu!”
Siwa bergidik, seketika berdiri dan menoleh ke utara menyusuri selasar yang tadi dilaluinya. Pada ujungnya tampak di bawah kegelapan malam, puing-puing bekas bangunan yang hampir rata dengan tanah.
Nama suster yang terbakar itu Siwi? Terasa keringat membasahi tengkuk dan keningnya saat bisikan-bisikan para suster bercampur aduk, memintanya untuk istirahat saja di ruang jaga dan saat Siwa menoleh, mereka sudah pada masuk ke ruangan jaga perawat.
Terdengar samar salah seorang suster menghubungi petugas keamanan untuk tidak lupa patroli ke ruangan Melati karena ada seorang pasien sakit jiwa yang dirawat di ruang isolasi paling ujung selatan, karena terus mengancam petugas dan mengamuk. Tiba-tiba terdengar suara memekakkan telinga dari dinding, lonceng jam, tepat jam 12 malam.
Siwa meloncat ke ruang jaga yang disiapkan untuk dokter muda jaga malam. Ia hendak mengunci pintu ruang jaganya namun kuncinya macet. Astaga, ia baru menyadari dari jendela kaca ruang jaganya ia bisa melihat areal bekas Ruang Flmboyan yang seram.
Suara lonceng jam dinding terasa begitu lama bertalu-talu dalam keheningan yang menakutkan. Ia berusaha menenangkan diri. Tak paham dan sangat heran dengan apa yang baru saja ia alami. Betul-betul aneh. Terbangun dari tidur siang yang kemalaman. Buntalan asing yang ia dapati dalam tas jaganya. Neneknya yang tiba-tiba ada di dalam kamarnya yang terkunci. Parkir rumah sakit yang lengang.
Rasa takut kian mendera saat ia mengingat kejadian di Ruang Flamboyan dan bertemu suster Siwi. Oh, diakah itu? Suster yang terjebak di kamar mandi lalu tubuhnya terpanggang oleh api kejam akibat ulah seorang pasien gila? Ia menggeleng-gelengkan kepalanya, tak mampu mencerna semua yang terjadi begitu cepat namun nyaris membuatnya gila.
Setelah lonceng jam berhenti meneror, kini ia mulai mendengar pukulan-pukulan pada dinding. Ya, rasanya dari dinding pada salah satu kamar di bangsal Melati ini. Ia berharap itu cuma ilusinya saja. Namun seketika ia menyadari di salah satu ruangan, memang ada pasien gaduh gelisah yang suka mengancam dan mengamuk.
“Kenapa satpam tak datang lebih cepat,” harapnya.
Pukulan pada dinding makin keras dan terdengar bantingan pintu disusul suara langkah kaki kasar dari kamar bagian selatan mendekati ruang jaganya.
“Astaga!” Ia membatin. “Ini pasti pasien gila itu, bisa saja membunuhku, mencekikku atau bahkan membakarku hidup-hidup di kamar keparat yang tak bisa kukunci ini!”
Entah tenaga dari mana, dalam ketakutan dan kebingungannya ia lari secepat-cepatnya meninggalkan ruang jaganya, di bangsal Melati menuju gerbang rumah sakit untuk melarikan diri.
Seorang dokter jaga melarikan diri!
Ada kira-kira 10 menit lamanya ia telah berlari sekencang-kencangnya meninggalkan gerbang rumah sakit. Ia melihat ada sekelompok lelaki berkumpul di sebuah pos di pinggir jalan. Oh, mungkin pangkalan ojek, pikirnya.
Ia segera mengendorkan langkahnya, agar tampak berjalan seperti biasa. Tas jaganya masih tergantung di bahunya. Sepeda motornya ia tinggalkan di halaman parkir rumah sakit. Rasa takutnya yang memuncak tak sanggup mengatur jalan pikirannya untuk mengambil sepeda motornya lagi.
Ia hampir sampai di pos tersebut saat seseorang menyapanya ramah, “Butuh jasa ojek, Dik?”
Lega sekali hatinya saat menyadari perkiraannya tepat, itu memang pangkalan ojek. Ia mengangguk.
“Ayo dudk dulu, Dik!” Si abang ojek yang ramah terus merayu. Yang lain tampak asik bermain kartu.
Siwa menjatuhkan bokongnya pada kursi kayu di samping pos, mengistirahatkan tubuhnya yang ketakutan dan kelelahan.
“Adik dari mana? Tadi, kok tampak terburu-buru?” Suara tukang ojek itu ditindih suara kendaraan yang lalu lalang.
Siwa mencoba menyembunyikan kejadian yang sesungguhnya, “Tadi saya besuk keluarga sakit di rumah sakit, Bang. Maunya bermalam di rumah sakit. Tapi gak jadi karena sudah banyak yang menunggu. Sebentar saya mau pulang saja.”
Si abang ojek kaget, rekan-rekannya pun semua menoleh. “Lha, rumah sakit di mana, Dik? Di sini kan sudah tidak ada rumah sakit?”
Siwa ikut kaget, tergagap ia berusaha menjawab, “Itu, Bang,, rumah sakit di sebelah ini, masih di pinggir jalan ini.”
Kecuali Siwa, semua yang ada di sana tertawa geli. Yang lain menjelaskan, “Sudah lama, lama sekali, rumah sakit di sebelah ditutup, Dik. Banyak kejadian aneh-aneh gosipnya. Kebakaran gara-gara ulah pasien gila. Dokter gantung diri. Macam-macamlah pokoknya. Kita-kita percaya aja. Sekarang, orang kalau mau berobat jadi agak jauh, mesti harus ke rumah sakit propinsi.”
Siwa tak berani berkata-kata lagi, jiwanya seakan nyaris meledak. Ia menahan diri agar tidak berteriak. Tubuhnya mulai kaku, diikuti rasa nyeri yang luar biasa. Tulang-belulangnya seakan meretak dan remuk. Sakit tak tertahankan. Mata dan hidungnya mulai mengeluarkan cairan.
Badannya limbung, saat begitu cepat abang ojek yang tampak samar-samar mendekapnya. Dibantu rekannya yang lain, memboncengnya di atas sepeda motor. Kini ia ingin berteriak, ke mana saya akan dibawa? Namun ia tak berdaya, ia pasrah,
“Biar saja, entah ke mana mereka membawaku,” batinnya.
***
“Berapa kali anak saya akan mengalami gejala seperti itu, Dok?” Terasa ada harapan begitu besar dalam pertanyaanyan ayah Siwa.
Dan seperti biasa, Dokter Gunawan, seorang dokter ahli spesialis jiwa atau psikiater, selalu menjawab dengan hangat dan tenang. “Nah, itu yang disebut sakaw, Pak. Atau gejala putus zat. Mungkin Bapak pernah juga mendengar istilah withdrawl, itu sama. Bapak tidak usah khawatir, perlahan namun pasti gejala itu akan berkurang dan hilang. Gejala demikian memang akan dialami saat seseorang pemakai narkoba berusaha berhenti menggunakan narkoba.”
Ayah Siwa mengangguk-angguk, didampingi istrinya. Mereka berada di sebuah klinik rehabilitasi, mendampingi anak semata wayangnya yang sedang menjalani program detoksifikasi dan rehabilitasi untuk lepas dari obat-obatan terlarang.
Akibat terjerumus narkoba, Siwa sampai putus kuliah di fakultas kedokteran. Ia sebetulnya sangat terobsesi menjadi seorang dokter untuk meneruskan profesi neneknya yang seorang perawat, di bidang kesehatan.
Psikiater baik hati itu melanjutkan, “Jika kita tak kuat dan teguh, setiap Siwa mengalami sakaw lalu kita kasi lagi shabu-shabu, maka ia takkan pernah bisa lepas dari obat-obat jahanam itu. Bapak dan ibu jangan khawatir, sakaw ini takkan mencelakainya.”
Ibu Siwa begitu sedih dan sangat cemas kalau-kalau anaknya sudah menjadi gila. “Dok, kok sampai begitu parah ya keadaan anak saya. Tadi dokter dengar sendiri bagaimana ia bercerita khayal sudah praktek di rumah sakit, bangsal yang terbakar, suster yang meninggal sampai cerita ke pangkalan ojek segala?”
Tak terasa air mata telah membasahi pipi ibu Siwa.
Dokter Gunawan yang selalu empati menjelaskan, “Tenang, Bu, itu semua memang efek dari narkoba yang ia gunakan. Shabu-shabu dapat membuat seseorang mengalami waham atau keyakinan yang salah. Sama seperti pemakainya dapat dibuat menjadi seorang pembohong yang sangat meyakinkan.”
“Kami bingung sekali, Dok, sudah sampai kehabisan akal menangani Siwa. Kenapa dia sampai separah itu. Bahkan ada yang sampai memberi saran, untuk mengganti saja namanya, karena Siwa dianggap nama yang berat. Nama dewa pemusnah. Bagaimana menurut dokter?” kata ibu Siwa.
Kembali Dokter Gunawan tersenyum. “Kalau diganti juga boleh saja, Bu. Namun yang penting sekarang adalah, ibu dan bapak siap mendampingi Siwa menjalani rehabilitasi sampai tuntas dan nantinya terus mendampingi dan mengawasi. Semoga Siwa kelak tetap meraih cita-citanya sebagai seorang dokter. Kesempatan masih panjang, Bu, Siwa masih muda. Nama Siwa juga baik, sastrawan terkenal mengatakan, apalah arti sebuah nama? Dokter Siwa spesialis jiwa!”
Mereka semua tertawa.
_____
KLIK UNTUK BACA CERPEN LAIN