Pernah saya membaca kritik dan ulasan beberapa media di Indonesia yang menyebutkan bahwa, Leos Carax merupakan sutradara atau filmmaker film aneh paling hebat. Sangat frontal tentunya, dan tak menimbang-nimbang. Entah itu hanya kiasan atau semacamnya. Tapi memang, sebutan filmmaker film aneh sangat melambangkan karakteristik Leos Carax dalam pergulatannya terhadap film yang dibuat.
Apalagi, ketika film garapannya, Holy Motors pada tahun 2012 lalu, banyak menjadi perbincangan di kalangan pegiat film. Namun, agaknya untuk mengakui bahwa Carax paling jago dalam menyulam keabsurdan perfilman, saya mungkin sedikit tak setuju.
Melihat bahwa tak hanya Leos Carax saja yang memiliki ide aneh dan imajinasi lepas. Di timur tengah, kita melihat langkah nekat kreativitas Abbas Kiarostami yang mengaburkan batas rekayasa dan nyata dalam film Close Up (1990). Sedangkan di Asia Tenggara, kita punya gagasan aneh dengan balutan sinematografi minim kesegaran ketika Apichatpong Weerasethakul menyatupadukan ruang gaib dan ruang realitas sebagai premis, dalam film Lung Bunmi Raluek Chat (2010).
Artinya, Leos Carax tentu lihai dan hebat membuat film aneh, namun dia bukanlah satu-satunya. Seperti nama-nama yang saya sebutkan di atas, dan masih ada banyak lagi. Leos Carax berada di jalur yang sama dengan mereka, mendobrak gaya-gaya bertutur yang bisa dibilang sudah basi di jagat perfilman dunia.
Dan satu lagi, mari kita bergeser jauh ke ujung selatan semenanjung Balkan, di bagian tenggara Eropa sana, yaitu Yunani. Di sana, Yorgos Lanthimos tak bisa kita abaikan dari catatan nama-nama filmmaker tergila dan teraneh dalam penuturan-penuturan sinemanya.
Yorgos Lanthimos, lewat The Lobster (2015), menyajikan sebuah dunia distopia yang mana urusan selangkangan tak lagi bersifat privasi, namun sudah menjadi persoalan krusial negara. Dan urusan cinta, diatur oleh ekosistem sekelompok masyarakat yang termarjinalkan..
Sementara dalam The Killing of a Sacred Deer (2017), sineas Yunani itu mencoba sesuatu yang lebih langit lagi. Dengan bermain-main dalam atmosfer kekuasaan yang merefleksikan kekuatan menyerupai Tuhan, yang kalau tinggal bilang kun maka fayakun.
Namun, jauh sebelum The Lobster dan The Killing of a Sacred Deer, Yorgos telah lebih dulu memperlihatkan implikasi dari sebuah perasaan takut yang buta. Dan juga telah menciptakan proyeksi tentang kekuasaan super fasis dalam lingkup yang lebih sempit, yakni rumah.
Adalah Dogtooth (2009), film kedua yang melengkapi keseluruhan jati diri sineas Yunanti itu. Lewat pola film-filmnnya yang begitu ganjil, gerak pemeran yang terbatas, juga krisis dialog sepanjang film, Yorgos Lanthimos banyak menyampaikan hasil akhir dari sebuah tempurung kekuasaan yang membelenggu orang-orang, tak terkecuali keluarga di rumah.
Tentunya, bukan menjadi hal tabu bagi kita para penonton terhadap film-film yang mengangkat persoalan keluarga, yang elemen-elemen di dalamnya dekat dengan kita. Namun yang disuguhkan Yorgos Lanthimos ini bukan persoalan keluarga yang biasa, melainkan kegilaan dan keanehan yang luar biasa.
Menampilkan sang Ayah, seorang pekerja di sebuah pabrik, yang menjadi sosok sentral terhadap transmisi kengerian, kebrutalan, dan hal-hal yang menakutkan di luar rumah kepada ketiga anaknya. Dan sang Ibu, rela mengurung diri bersama ketiga anaknya. Hanya untuk keberhasilan pendidikannya dan suami terhadap ketiga anaknya.
Alih-alih menceritakan seorang ayah sebagai orang tua yang bijak, dengan hanya membatasi anak-anaknya dalam berinteraksi dengan dunia luar, dan memberikan pendidikan yang lebih masuk akal, Dogtooth lahir dengan segala kegilaan juga pola di luar nalar. Semacam disfungsional parenting dari seorang Ayah dan Ibu.
Ketiga anaknya, yang terlihat berusia 30-25 tahun dan sudah bukan lagi remaja, masih terselimut dalam fase pola pikir yang seharusnya sudah jauh dilewati. Segala interaksi antara anak satu dan anak lainnya bukan lagi pembicaraan yang dewasa, melainkan anak-anak seumuran 10 tahun. Seperti perbincangan di awal pembuka film, mereka sudah terlihat seperti sekelompok bocah yang sedang membincangkan sebuah permainan yang tak membosankan.
Film ini didominasi oleh latar yang kecil. Sebagian besar di ruang-ruang dalam rumah, tak sedikit halaman, kolam renang di rumah. Walau begitu, gagasannya mengarah ke sesuatu yang lebih besar. Dogtooth (2009), mencoba menyingkap konsekuensi dari tabir kekuasaan fasis, dengan abnormalitas penuturannya.
Sosok orang tua yang paranoidnya sudah overdosis, menjelma diktator yang membatasi gerak gerik sang anak. Tak ada toleransi untuk anak-anaknya menginjakkan aspal di depan pagar rumahnya. Televisi dan saluran telepon, semuanya diputus, menilai benda-benda itu adalah rahim lahirnya keburukan dunia luar. Mereka hanya diizinkan melihat rekaman-rekaman terdahulu, yang alur rekaman di dalamnya mereka sudah hapal di luar kepala, pun percakapan-percakapan yang ada.
Sang Ayah, otak di balik kegilaan mendidik ketiga anaknya, orang tua yang toxic, sikap strict parents yang keluar batas, mengalienasi keluarganya sendiri dari ruang-ruang sosial yang ada. Sepanjang film, hanya satu yang ia percayai, yaitu Christina, seorang wanita yang bekerja sebagai petugas keamanan di pabrik yang sama dengannya. Setiap minggu sekali, Christina dibayar untuk melakukan hubungan seksual dengan putranya.
Namun, kepercayaan terhadap Christina tak berlangsung lama. Wanita itu dianggap menyodorkan hal buruk ke anak sulungnya. Alhasil, Christina tak lagi pernah menuntaskan birahi putra tunggalnya. Untuk mencegah hal itu terulang, dan menjaga anak-anaknya tetap steril. Sang Ayah dengan rasa tak bersalah, memberikan otoritas ke putranya untuk memilih satu dari kedua saudara perempuannya untuk berhubungan intim, gilak gilak gilak.
Saking menjaga satu putra dan dua putrinya dari keburukan dunia luar. Pasangan suami istri itu mempelintir beberapa kata yang sangat jauh dari pengartian pada umumnya. Contoh, kata “zombie” adalah bunga kecil berwarna kuning, “keyboard” artinya vagina, “laut” adalah kursi sofa berlengan kayu, “jalan raya” yang artinya angin yang sangat kuat, dan lainnya dan lainnya.
Kegiatan yang lebih aneh lagi adalah, ketika membangunkan orang tuanya, mereka tak diperintahkan menggoyang-goyangkan tubuh, melainkan menjilat-jilati bagian tubuh. Seperti anak bungsu, ketika membangunkan sang Ayah, ia menjilati tangan dan dada agar sang Ayah bangun dari tidurnya.
Kegilaan dan keanehan gaya bertutur Yorgos Lanthimos, adalah karakteristik dari sinemanya. Dalam film-filmnya, Yorgos bukan hanya mengejar sisi estetik, dan keabsurdan film-filmnya pun bukan tak beralasan.
Berorientasi film festival, Yorgos Lanthimos adalah salah satu garda terdepan di perfilman Yunani saat ini, dalam gerakan Greek Weird Wave. Mengembalikan pandangan dunia ke arah tanah lahirnya para filsuf itu. Utamanya, menjadi api besar yang membakar semangat sutradara-sutradara indie, untuk lebih berani dan mengambil tempat dalam jagat perfilman yang dipenuhi produksi film mainstream secara masal.
Selalu mengangkat cerita dunia-dunia ganjil, dan membentuk teritorial keabsurdan tersendiri di setiap filmnya, Yorgos Lanthimos tidak semata-mata mengutamakan kekuatan artistik saja, dan seenaknya menyodorkan sinema yang tak jelas. Namun, kepadatan narasinya lewat dialog-dialog yang minimalis, adalah pisau tajam darisudut pandang sosial dan politik.
Banyak sineas yang setia menggunakan struktur cerita yang umum, dan tak keluar dari ranah kelaziman, entah itu horor, drama, dan sebagainya. Namun dari film-film itu, saya banyak menemukan, ternyata filmnya tak bergerak ke mana-mana, minim penceritaan, banyak dialog-dialog yang tak perlu dihadirkan, namun dipaksa untuk masuk.
Sedangkan film-film gila dan aneh seperti yang diciptakan nama-nama sebelumnya, memiliki kepadatan serta proporsional yang sesuai. Dan mereka tahu, bobot mana yang mesti muncul di durasi ini dan durasi ini. Jadi tak terkendali oleh nafsu untuk terburu-buru menduduki puncak klimaks dari film yang disajikan.
Dan di sini, saya juga tak mau terburu-buru berucap bahwa Yorgos Lanthimos adalah filmmaker paling aneh. Yorgos memang aneh, imajinasi liar, dan menghancurkan standar moral di lingkaran sinema. Namun, dia bukan satu-satunya filmmaker yang paling aneh di dunia ini. [T]