MUNGKIN judul esai ini terkesan berlebihan. Tapi demikianlah kenyataannya. Lihat saja apa yang terjadi di Sekolah Bali Mandara warisan Gubernur Made Mangku Pastika.
Sekolah yang diperuntukkan bagi masyarakat miskin ini statusnya akan diubah menjadi sekolah reguler, sebagaimana SMA/SMK negeri yang lain di Bali. Banyak pertimbangannya, selain menyedot anggaran yang besar, analisa perbandingan persentase lulusan di PTN, dan capaian prestasi lulusan yang dianggap tidak jauh berbeda dengan SMA dan SMK lainnya.
Saya kurang tertarik membahas ini, karena terlalu teknikal melihat Pendidikan. Pendidikan tidak melulu berdimensi kuantitatif, sesuatu yang bisa diukur nilainya.
Jika kita hanya menganggap sekolah sebagai tempat mengukur atau melembagakan nilai, maka cibiran Ivan Illich dalam bukunya Deschooling Society menjadi relevan: sekolah memasukkan anak muda ke suatu dunia di mana segala sesuatunya dapat diukur, termasuk imajinasi dan diri mereka sendiri.
Padahal tak semua dimensi manusia bisa diukur. Maka dari itu, saya lebih tertarik melihatnya dalam sudut pandang budaya.
Kemiskinan di Bali tidak hanya persoalan struktural semata, tapi juga budaya. Biasanya anak-anak yang hidup dalam keluarga miskin mengalami inferiority complex, perasaan yang menerima dirinya lebih rendah dari yang lainnya, merasa diri lebih lemah dan tidak mampu dari yang lainnya.
Perasaan ini menghasilkan sikap yang dalam terminologi Bali: metilesang rage. Semacam kesadaran akan kemampuan dan posisi sosial. Keadaan ini lalu dibathinkan. Tentu saja ini berdampak pada cara mereka bergaul, berkomunikasi, dan cara mereka melihat yang lainnya.
Jika ingin mengubah kehidupan ekonomi mereka melalui jalur pendidikan, salah satu yang dilakukan tentu saja memperbaiki sisi-sisi kulturalnya yang terbentuk sejak lahir yakni mengubah mentalitas rendah diri mereka agar menjadi lebih percaya diri. Ini bukan pekerjaan mudah.
Mungkin ini salah satu alasan mengapa siswa-siswi di Sekolah Bali Mandara mesti mendapat perlakuan khusus, diberikan makan, mendapat asrama, menggunakan pakaian seragam, dan fasilitas lainnya.
Perlakuan khusus bagi siswa miskin melalui sekolah khusus juga berdampak pada munculnya perasaan “senasib sepenanggungan” di antara mereka. Mereka merasa memiliki nasib yang sama dan berada pada perjuangan yang sama yakni keluar dari gerbang kemiskinan.
Perasaan “senasib-sepenanggungan” ini mungkin tidak didapatkan jika mereka dibaurkan dengan anak dari keluarga yang mampu. Dulu perasaan “senasib sepenanggungan” inilah yang melahirkan semangat perlawanan terhadap kolonialisme.
Secara kultural, membaurkan antara anak miskin dan anak dari keluarga mampu berdampak pada dua hal: pertama mempertajam inferiority complex dan kedua, munculnya kekerasan simbolik. Mereka dipaksa masuk ke dalam “habitus” (pinjam istilah Bourdieu), semacam skema atau struktur kognitif yang terbentuk di dalam relasinya dengan lingkungan sosialnya.
Habitus ini akan membentuk skema kognitif mereka, sehingga tidak jarang yang terjadi adalah anak miskin berlagak kaya sehingga membebani orang tua mereka. Jika tidak demikian, mereka akan menggunakan segala cara agar tampak seperti anak dari keluarga mampu.
Sekali lagi, ini analisa “kampungan” saya, boleh setuju, bisa juga tidak—ketidaksetujuan adalah sah di dalam ruang demokrasi. Namun yang pasti pembauran ini memiliki sisi-sisi kultural yang mesti dipertimbangkan.
Maka dari itu, saya sepakat dengan pandangan para ahli antropologi pendidikan bahwa proses pendidikan tidak bisa dipisahkan dengan kehidupan manusia dalam rangka penciptaan budaya. Dalam konteks inilah ada keterkaitan antara pendidikan dan budaya. Pendidikan bisa dikatakan sebagai salah satu sarana pembudayaan—proses humanisasi, pemanusiaan manusia. Maka dari itu, ia tak melulu hanya bisa diukur secara kuantitatif.
Belum usai perdebatan seputar alasan rasional penyamaan status Sekolah Bali Mandara (SBM) dengan sekolah lainnya, malah muncul isu lain yakni sampradaya. Hal ini didasari atas rekaman digital beberapa aktivitas kelompok spiritual dilaksanakan di sekolah tersebut. Seolah-olah isu ini menjadi alasan pembenar bahwa SBM perlu disamakan statusnya dengan yang lain. Siapa yang menjadi korban atas sliweran isu ini?
Ya anak-anak miskin itu sendiri. Saya yakin mereka anak lugu yang tidak paham begituan. Jika benar dari mereka ada yang terpapar, itu bukan salah mereka, tapi salah pihak yang menjadikan mereka “obyek ideologisasi”. Jika ini benar, maka sekolah memang menjadi “medan pertarungan ideologi dan politik”. Dan korbannya bukanlah mereka yang bertarung, tapi siswa yang jadi obyek pertarungan mereka.
Saya barharap semua pihak lebih jernih dan tenang memahami persoalan ini. Tidak ada yang merasa paling benar argumentasinya. Apalagi mau menantang-nantang untuk adu argumentasi. Itu tak lebih dari pameran kepintaran saja dan terkesan egoistik. Sekalian saja adu tinju seperti tingkah para artis pemburu follower itu.
Sebagai manusia, Gubernur Bali saya yakin punya kepedulian dengan dunia pendidikan, apalagi beliau dibesarkan secara akademik dan politik oleh dunia pendidikan. Kebijakan Gubernur didasarkan pada argumentasi “keadilan” bagi seluruh warga miskin, sementara pihak yang kontra juga didasarkan pada argumentasi membela hak-hak siswa miskin dengan memberikan perlakuan khusus. Jadi kedua pihak sebenarnya punya kepedulian yang sama: membantu siswa miskin.
Jadi mari duduk bersama, musyawarah, dan saling mendengarkan. Kekuasaan jangan berlagak tuli, masyarakat juga jangan membisu. Kita sampaikan aspirasi secara intelek dan santun. Jangan jadikan sekolah sebagai medan pertarungan politik. Pendidikan adalah sarana pembudayaan, tempat memanusiakan manusia.
Kita tinggalkan kebiasaan buruk di dalam dunia politik Indonesia: yang satu sibuk mencari kesalahan, yang satu sibuk mencari alasan. Cuman gara-gara berbeda warna politik. Mari bersama mencari solusi! Terimakasih. [T]