Bekerja pengarsipan tidaklah mudah sebab diperlukan kesabaran, ketelitian, dan pengelompokan data-data yang tepat. Entah mengapa pengarsipan menarik minat saya dan sejak kapan mulai tertarik saya juga kurang begitu ngeh, yang jelas pengarsipan atas dokumen-dokumen berupa foto, tulisan, wawancara, dan video saya masih kumpulkan dalam perangkat keras penyimpanan saya meskipun tentu tidak begitu rapi. Selain dokumentasi digital saya juga mengumpulkan dokumen fisik berupa katalog-katalog pameran seni rupa baik yang saya ambil dan beli pada waktu pameran berlangsung atau yang diberikan setelah acara oleh teman-teman yang berpameran.
Dari catatan waktu dalam arsip seni rupa digital saya tercatat dari tahun 2009 – hari ini berupa dokumentasi pameran dan video, beberapa kali juga sempat saya tuliskan dalam blog pribadi saya akan tetapi kegiatan itu juga tersendat-sendat. Secara personal yang saya rasakan dalam melakukan pendokumentasian seni rupa adalah ketika akan melakukan riset atau penelitian atau bahkan ketika ingin membuat tulisan singkat berupa warkat maka waktu dapat diefisiensikan karena data-data sudah tersedia meskipun data tersebut berupa data awal yang hanya berisi 5-10 foto dokumentasi akan tetapi tentu sangat membantu sekaligus memudahkan diri untuk mengingat pengalaman yang terjadi pada momen data tersebut didapat. Selain itu, untuk arsip berupa video dapat saya manfaatkan sebagai konten untuk diunggah pada platform digital Youtube.
Pengalaman yang membuat saya ngeh dengan pentingnya pengarsipan adalah pada saat penulisan buku I Gusti Made Deblog bersama Komunitas Gurat Institute yang kini berada dalam divisi Komunitas Gurat Budaya Indonesia. Dokumen-dokumen wawancara dan foto pada tahun 2014-2015 sangat membantu ketika proses pengerjaan buku pada tahun 2020 meski kemudian banyak juga arsip-arsip yang baru kami temukan pada saat itu.
Beruntungnya, apa yang telah terdokumentasikan pada tahun 2014-2015 beberapa sudah tidak ditemukan lagi pada tahun 2020 tersebut, hal itu cukup mengejutkan akan tetapi beruntungnya pengarsipan sebelumnya telah kami dapatkan filenya. Hal yang sama terjadi saat wawancara, dengan narasumber kunci yang sudah semakin menua mengakibatkan daya ingatnya mulai menurun jadi data wawancara terdahulu sangat membantu untuk dilakukan studi perbandingan. Singkat kata, pengarsipan menjadi penting dalam konteks ini sebagai pembanding sekaligus penyelamat ketika objek berupa karya seni yang sebelumnya ada kini sudah tidak ada.
Saya sangat berterimakasih kemudian dengan adanya IVAA (Indonesia Visual Art Archive) berdomisili di Yogyakarta fokus dengan pengarsipannya, melalui arsip digitalnya beberapa katalog pameran Pesta Kesenian Bali pada awal-awal berlangsungnya masih tersedia dan dapat diakses. Dari sini kemudian timbul pertanyaan-pertanyaan mengenai dunia seni rupa dan pengarsipan di Bali.
Kesadaran akan mengarsipkan karya seni oleh seniman sendiri mungkin tidak begitu dianggap penting, meski demikian syukurnya beberapa seniman yang peduli dengan arsipnya menyimpan dengan apik, dibuatkan copy dan dihibahkan kepada Pro-Docs di Komunitas Budaya Gurat Indonesia, meski demikian kesadaran untuk mengolahnya menjadi sesuatu yang berguna tentu masih sangat kurang, mengingat data yang baru-baru ini terpublish mengenai tingkat kegemaran baca di Indonesia, Bali tidak termasuk ke dalam 10 besarnya. Hal itu menandakan kelemahan di Bali adalah membaca sekaligus efeknya adalah kesadaran untuk mengolah arsip, logikanya adalah untuk dapat menulis maka diperlukan membaca, untuk dapat membaca maka diperlukan sebuah ruang baca dengan ketersediaan bahan bacaan.
Hal ini juga menjadi indikator mengenai penelitian-penelitian dan publikasi bacaan-bacaan mengenai seni rupa Bali yang tidak banyak tersentuh, mungkin juga akibat dogma bahwa “menjadi seniman ya berkarya seni, menjadi penulis ya menulis, kamu harus pilih salah satu!.” Statement tersebut sering saya dengar diucapkan oleh teman-teman seniman akan tetapi jangan lupa di masa yang dikata seni kontemporer adalah masa ketika lintas disiplin ilmu saling baur membentuk wujudnya kekinian, “artist are painter, photographer, actor, writer, producer,etc”.
Belum lagi persoalan arsip dalam dunia akademik rumpun ilmu seni rupa di Bali, arsip menjadi sesuatu yang dingin untuk di sentuh, apalagi kesadaran mengolahnya, saya teringat dengan salah satu teman semasa study magister tahun 2012, ia ingin mencari data-data baik berupa karya maupun tulisan mengenai gambar wayang Kamasan akan tetapi tidak banyak ia temukan di perpustakaan. Darinya juga saya berfikir tentang pentingnya pengolahan arsip, meski hanya berupa warkat jika itu banyak dan merinci objeknya akan sangat berguna.
Hal lainnya tentu saja persoalan kemudahan mengakses data-data, kemudahan mengakses akan sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan dunia pengarsipan di Bali yang berdampat pada dunia literasinya. Di Yogyakarta kita dapat menemukan kartu sakti perpustakaan yang hanya dibuat pada satu perpustakaan dan dapat dipergunakan di perpustakaan instansi lainnya sehingga apa yang kit acari di tempat A misalkan maka kita akan dirujuk ke tempat B yang sekiranya koleksinya lebih lengkap.
Sebenarnya masih banyak persoalan pengarsipan dan data-data dalam seni rupa Bali, singat kata untuk mengakhiri tulisan ini bahwa persoalan pengarsipan seni rupa di Bali tidak hanya persoalan mengenai pendokumentasian visual dan pencatatan tertulis akan tetapi menjadi perkara bagaimana menumbuhkan kesadaran guna menghidupkan arsip-arsip yang telah kita kumpulkan. ”Cetana pinaka dilah” – “kesadaran adalah api!!!” [T]
Pohmanis, 21 Maret 2021