Tiba-tiba seorang wanita paruh baya, memakai helm proyek, kedua tangannya menggenggam bejana kuningan, batang pemukul dan segenggam dupa, melintasi sirkuit di depan tribun utama. Di bawah hujan yang masih mengguyur, ia melangkah dengan penuh keyakinan sembari melakukan sebuah gerakan metodis.
Setiap mata, sesaat berhenti mengedip menyaksikan peristiwa unik dalam perhelatan balapan motor internasional yang sangat modern di sirkuit Mandalika, Lombok Tengah tadi sore. Rasanya dalam sejarah balapan Moto GP (Grad Prix Motorcycle Racing), baru kali ini terjadi peristiwa perpaduan tradisi lokal yang begitu tua dengan turnamen olahraga otomotif yang sangat modern, yang sedemikian ramai terekspos media.
Era digital media sosial dan jurnalisme warga begitu terasa dampaknya bukan hanya dalam hal kemudahan akses informasi untuk masyarakat, namun juga variasi berita yang begitu kaya dan berwarna. Sebelum era digital saat ini, dalam budaya masyarakat Bali, tradisi nerang atau menangkal hujan oleh seorang pawang hujan, dilakukan dengan “bersembunyi” di belakang layar.
Saya meyakini, karena hal-hal yang bersifat kebathinan atau “kesaktian” itu tidak perlu dipamerkan. Namun zaman telah berubah, ritual memindahkan awan, yang merupakan cara untuk menangkal hujan, kini dilakukan secara terbuka dan menjadi viral. Kita yakin, itu bukanlah hal yang salah atau sebuah kesombongan, namun lebih dipengaruhi oleh perubahan zaman belaka. Bahkan kita melihatnya bahwa pawang hujan saat ini lebih fair dan berani karena, baik jika berhasil maupun gagal semua orang akan mengetahuinya.
Maka peristiwa unik itu telah memecah rasa jenuh dan tegang bukan hanya untuk para biker yang tertunda palagannya akibat hujan yang nakal, juga bagi kita semua rakyat Indonesia yang was-was. Pagelaran prestisius ini telah menyejajarkan bangsa kita dalam satu garis kecemerlangan dengan bangsa-bangsa maju. Dan meski cuaca atau hujan bukanlah sebuah human error, namun kita sangat menyesal jika race batal atau ditunda karena sirkuit becek, sungguh sayang sekali.
Sang pawang hujan pun telah mencuri perhatian dunia dengan aksinya. Sejumlah pebalap dan timnya tersenyum riang menyaksikan peristiwa langka tersebut. Bahkan Fabio Quartararo, pebalap Yamaha itu, berusaha meniru gaya pawang hujan dari paddock-nya sambil tertawa gembira.
Kita yang terus berharap hujan segera reda seakan-akan hati kita telah bersatu dengan sang pawang, meskipun sebelumnya mungkin bersikap apriori dengan ritual ini. Tentu saja generasi yang milenial dan scientific tak lagi akrab dengan tradisi yang terkesan spekulatif ini.
Namun realitanya, ritual menangkal hujan tetap berkelindan dalam budaya masyarakat kita hingga kini. Secara pribadi, mendiang kakek saya sendiri adalah salah seorang pawang hujan terpandang dan disegani di desa saya. Bahkan almarhum, memiliki tak sedikit murid yang ikut belajar menjadi pawang hujan. Namun, betulkah ritual memindahkan awan ini spekulatif?
Secara matematis, jika ada dua kemungkinan, sukses atau gagal, maka peluang sukses tentu akan selalu 50%. Jika ini disebut spekulatif, ya boleh saja. Kita memang harus akui, metode mengusir awan dengan energi supra natural itu tidak akan pernah dapat dikaji secara ilmiah dan belum pernah ada riset terkait tingkat keberhasilannya.
Maka pada titik ini, nuansa spekulatif dapat dimaklumi. Para pawang hujan pun tak pernah meminta untuk diakui oleh masyarakat ilmiah, karena dasarnya adalah keyakinan, menyerupai keyakinan terhadap agama.
Dalam filsafat masyarakat Bali, ritual ini didasarkan pada konsep Dasa Aksara, huruf suci yang mengaitkan energi personal dengan energi alam. Mantra-mantra suci akan menghantarkan harapan-harapan kerendahan hati kita kepada energi yang maha agung di dalam alam semesta untuk diberikan hari yang cerah dan terang.
Saya sering bertanya-tanya, apakah yang akan terjadi misalnya pada saat yang sama ada pawang lain yang memohon sebaliknya, yaitu hujan deras? Tidakkah ada kemungkinan, di sirkuit internasional Pertamina Mandalika ada pawang yang bersembunyi dan meminta hujan? Bukankah, sejak pagi cuaca cukup cerah dan bahkan sangat panas, namun hujan tiba-tiba tumpah ketika race utama akan dimulai? Maka sebuah spekulasi akan selalu diikuti oleh hantaman-hantaman spekulasi yang lain.
Bahkan sebagai generasi modern pun kita masih sering keliru terhadap realitas. Masih banyak yang salah tentang “sinar laser” pemecah awan. Lampu sorot yang sinarnya di arahkan ke angkasa tersebut bukanlah sinar laser. Itu sebetulnya lampu sorot biasa yang digunakan sebagai petanda bahwa dari sumber sinar tersebut ada sebuah kegiatan dan cahaya yang dihasilkannya diharapkan menarik perhatian warga untuk menghadirinya. Sementara sinar laser merupakan sinar khusus yang penggunaannya diatur sangat ketat, terutama di bidang medis maupun industri mengingat efek samping yang bisa diakibatkannya. Dan lampu sorot tersebut pun tidak mempunyai kemampuan untuk memecah awan, baik karena keterbatasan kekuatan suhunya maupun jarak awan yang terlampau jauh tinggi.
Hal yang secara ilmiah memang terbukti dapat mencegah hujan di suatu lokasi adalah, dengan menaburkan butiran halus garam dalam jumlah yang besar. Garam atau zat dengan rumus kimia NaCl tersebut merupakan material hidrofilik yang dapat mempercepat kondensasi titik-titik air dalam awan sehingga lebih cepat menjadi hujan agar tidak jatuh di lokasi yang diharapkan cerah. Inilah yang dikenal sebagai rekayasa hujan, karena awan dapat dihentikan, di atas laut misalnya dan turun sebagai hujan di sana.
Hal ini sebetulnya sudah dilakukan untuk kepentingan penyelenggaraan seri Moto GP ke-2 tahun ini di sirkuit Mandalika. Beberapa pesawat Cesna TNI AU telah menaburkan garam sekitar 3 ton pada awan yang diperkirakan menuju desa Kuta. Namun pada detik-detik start akan dimulai, hujan justru tetap mengguyur begitu deras di sana.
Dalam kegalauan semua pihak, tiba-tiba seorang wanita paruh baya, memakai helm proyek, kedua tangannya menggenggam bejana kuningan, batang pemukul dan segenggam dupa, melintasi sirkuit di depan tribun utama. Di bawah hujan yang masih mengguyur, ia melangkah dengan penuh keyakinan sembari melakukan sebuah gerakan metodis. Beberapa saat kemudian, ajaib, hujan pun reda dan adu kebut para pebalap kelas dunia memuaskan hati seluruh bangsa dan penggemar Moto GP di seantero dunia. [T]