Pikiranku menjadi ucapan,
Ucapanku menentukan laksana,
Laksanaku adalah nasibku…
Tuhan mestinya nol, Ia netral. Bukan angka satu atau sepuluh, bukan pula minus dua, Ia selalu netral, nol. Hanya angka nol yang sendiri. Jika angka satu, masih ada minus satu. Atau kalau angka minus delapan, masih ada angka delapan. Baik angka satu maupun delapan, keduanya selalu punya lawan. Cuma angka nol yang diam, karena tak punya lawan. Tak perlu pula kode minus atau plus, sebab keduanya tak berpengaruh.
Nol, seakan tak ada, dalam deretan angka nyatanya angka nol jelas tertera. Tiada namun ada. Angka nol seakan tak penting, namun nilainya tak terhingga. Ia syarat dasar ilmu matematika dan matematika mendasari rasio. Rasio adalah bingkai alam semesta. Ia berposisi di tengah-tengah, netral. Ia justru berubah sesuai nilai yang akan kita berikan.
Nol menjadi minus lima jika kita memberinya nilai negatif lima. Sebaliknya menjadi plus lima jika kita menambahkan nilai positif lima. Lalu dengan mudah kita mengembalikannya ke nilai nol dari minus lima dengan menambahkan nilai positif lima, demikian sebaliknya. Uniknya Ia tak mau dikalikan atau dibagi-bagi. Mau digandakan berapapun atau dibagi berapa saja, Ia tetap nol.
Perkalian, sering memberi hasil yang tak adil. Hanya jika perkalian angka plus dengan plus memberi hasil yang adil yaitu plus. Sisanya, jika perkalian plus dengan minus hasilnya akan memilih minus, sementara perkalian minus dengan minus hasilnya justru menjadi plus. Demikian pula dalam hal pembagian.
Angka-angka yang berurutan sederhana telah menyimpan misteri personafikasi Tuhan. Dengan angka nol, Tuhan tak pernah bisa digandakan atau dibagi. Itulah ironi yang saat ini manusia lakukan dengan berbagai anasir. Dari propaganda terselubung hingga peperangan terbuka. Sejarah manusia sudah lelah mencatat tragedi perebutan Tuhan yang sesungguhnya nol atau menggandakannya untuk dijual ke sana ke mari. Perkalian dan pembagian adalah sebuah konspirasi.
Hasil perhitungannya adalah keinginan dari kedua angka yang bertransaksi. Jika dua dikalikan tiga hasilnya adalah enam atau jika sepuluh dibagi dua hasilnya adalah lima. Nol tidak mau berkonspirasi. Dengan tegas, angka berapapun yang hendak melakukan perkalian atau pembagian dengan nol, dihukum menjadi sirna.
Sirna pula yang kita saksikan saat ini di mana bangsa-bangsa yang tak henti-hentinya memperebutkan iman seperti Suriah juga Afghanistan. Fenomena serupa pun kita lihat pada kelompok-kelompok yang hendak berkonspirasi dengan Tuhan untuk mendapatkan keuntungan berlipat-lipat di bidang politik dan kekuasaan. Nyatanya mereka sirna atau suatu saat akan sirna karena tentu saja Tuhan itu nol.
Bangsa-bangsa yang matematika dan statistiknya lebih maju, mereka tak suka bertransaksi dengan Tuhan mungkin karena mereka sudah paham nilai nol pada diri Tuhan. Mereka lebih membumi berinteraksi positif dengan angka-angka lain sebagai personafikasi sesama manusia dan lihatlah hasilnya, angka-angka positif luar biasa. Nama-nama seperti Facebook, Twitter, Google atau Amazon.com adalah transaksi-transaksi yang memberi hasil fantastis.
Dalam tradisi masyarakat timur, termasuk Bali, kita sering mengajak Tuhan untuk berkonspirasi dengan mengajukan kaul atau sesangi kalau di Bali. Ini sangat unik karena cukup banyak yang merasa berhasil mengajak Tuhan untuk bekerjasama dalam hal ini. Yang menarik kemudian adalah jika ada dua petinju bertarung dan keduanya mengajukan kaul, lalu siapa yang akan diterima oleh Tuhan untuk berkonspirasi?
Apakah yang nilai kaulnya lebih besar atau lebih meriah? Bagaimana kemudian cara Tuhan untuk menerima suap tersebut? Karena kocaknya lagi, yang kemudian menikmati kaul tersebut, sebutlah yang dijanjikan adalah persembahan babi guling, akan kembali lagi kepada yang mengajukan kaul tersebut. Fenomena ini memang cukup menggelikan, namun faktanya cukup banyak yang menuturkan berhasil meraih apa yang diharapkannya berkat pertolongan Tuhan melalui kaul yang diajukan.
Jika angka nol ditambahkan atau dikurangi dengan angka lain, maka hasilnya adalah cuma angka yang digunakan untuk menambah atau mengurangi tersebut saja. Fakta ini seakan-akan memberi tantangan kepada kita, sebuah pertanyaan untuk dijawab, betulkah Tuhan sayang kepada manusia? Bagaimana mungkin, entitas yang bernilai nol hendak menyayangi manusia? Membenci pun tak juga, karena nol itu netral.
Lalu dari mana datangnya bahagia dan penderitaan manusia? Jika kembali kepada transaksi penambahan atau pengurangan berbagai angka-angka dengan angka nol, jelas sekali nilai yang dihasilkan adalah murni berasal dari angka-angka itu sendiri. Satu-satunya cara agar angka-angka lain bisa bersatu dalam nilai nol adalah, ya menjadi nol. Nol ditambah nol atau nol dikurangi nol adalah nol.
Saat kita besujud untuk berdoa, sering kali tanpa kita sadari, masih sering bertransaksi dengan-Nya untuk memperoleh berbagai nilai-nilai positif, tentu saja tidak mau yang negatif. Maka secara imajiner, dalam sujud, bahkan dalam doa-doa yang lebih terbuka ada berbagai permohonan nilai positif yang kita ajukan.
Bukankah jika dari sifat angka-angka, ini justru menjauhkan kita dengan angka nol? Jika demikian, walau untuk sesaat, manusia perlu ke titik nol terlebih dahulu untuk dapat bersenyawa dengan nol yang agung. Pada titik nol ini, faktanya kita dapat melihat dengan netral entitas diri kita sendiri. Netral adalah Tuhan.
Angka-angka, telah sejak lama menyimpan misteri yang asik untuk diungkap dan disibak. Pun untuk bermain-main dengan misteri Tuhan. Namun, sebetulnya pada setiap elemen, fenomena biologis atau kultural, selalu tersimpan misteri tentang Tuhan. Dan rasanya misteri-misteri ini takkan pernah berakhir karena Tuhan sesungguhnya tidak ada, namun ada. [T]
_____
BACA KOLOM DOKTER YANG LAIN DARI PUTU ARYA NUGRAHA