Oleh: Ida Idewa Nyoman Merta Semara Bawa
Sastra sebagai sebuah karya selalu memberikan kesan yang imajinatif dan mampu menyihir keadaan emosi sang pembaca, disamping keindahan karya sastra itu sendiri. Yang tidak kalah pentingnya adalah ajaran-ajaran, nilai serta pesan moral yang terkandung di dalamnya. Sastra adalah cerminan dari kehidupan masyarakat dan juga menjadi pedoman bagi masyarakat dalam bertindak. Buah dari hasil pola pikir dan perenungan serta pandangan-pandangan terhadap segala fenomena yang terjadi di sekitarnya menjadi ilham terciptanya sebuah karya sastra.
Perjalanan waktu yang begitu dinamis menyebabkan karya sastra mengalami perkembangan yang sangat pesat, ditandai oleh munculnya pujangga-pujangga kesusastraan baru yang tentunya berkontribusi dalam lahirnya aliran sastra baru di Indonesia. Tidak terkecuali di Bali dari masa sebelum kemerdekaan RI hingga sesudah tahun 1945, banyak penulis-penulis atau disebut pangawi sastra Bali yang mewarnai dunia bersastra di Bali. Peran dari para pujangga atatu pengawi di Bali ini memberikan dampak yang sangat signifikan.
Karya sastra yang diciptakan oleh pujangga-pujangga di masa sekarang dipengaruhi oleh sastra-sastra Barat. Namun bukan berarti kaidah-kaidah atau tradisi sastra daerah itu hilang begitu saja.¹ Seringkali keduanya dipadukan menjadi satu dalam sebuah bentuk karya sastra.
Salah satu bentuk keterpaduan itu adalah adanya unsur tradisi lisan dalam bentuk karya sastra modern. Adanya unsur tradisi lisan yang masih melekat dalam karya sastra modern mengindikasikan masih kuatnya pengaruh budaya lokal terhadap keberlangsungan hidup karya sastra itu. Karena dari unsur tradisi lisan itulah beberapa karya-karya besar yang dihasilkan oleh sastrawan-sastrawan besar seperti, Linus Suryadi AG, W.S Rendra, dan Sutardji Calzoum Bachri dll, sangat dicintai dan dinikmati oleh kalangan luas.²
Di Bali sendiri tidak sedikit pujangga-pujangga yang memasukkan unsur-unsur budaya lisan dalam karya sastra ciptaan mereka. Membuktikan kecintaan mereka yang begitu mendalam terhadap kearifan lokal daerah. Bentuk kebudayaan lisan ini disampaikan melalui ujaran secara turun-temurun, dari generasi ke generasi. Bali sebagai pewaris sastra memang kaya akan budaya lisan, karena sejak dahulu leluhur orang Bali sangat pandai dalam bertutur. Budaya lisan yang disampaikan berupa satua, legenda, peribahasa atau basita paribasa dan lain-lain. Kadang budaya lisan dituliskan dalam bentuk teks yang disalin ke dalam daun lontar oleh para pendahulu masyarakat Bali. Sehingga, menyebabkan Bali tidak terkenal dari segi budaya lisan saja namun dari segi budaya tulis, dibuktikan oleh adanya berbagai teks-teks lontar yang masih dipelihara oleh generasi penerus hingga saat ini. Hal ini membuktikan bahwa Bali dari sejak dahulu kala sudah mempunyai budaya tulis-menulis.³
Budaya menulis yang dilakukan oleh para pendahulu di Bali tentunya memberikan spirit atau jiwa semangat dan menginspirasi para penulis yang ada di Bali. Meskipun media untuk menulis yang digunakan sekarang bukanlah dalam bentuk lontar, melainkan kertas sampai ke media elektronik, namun tetap tidak menghilangkan spirit dari leluhurnya. Menyebabkan masih berlakunya cara-cara lama dalam menulis di Bali.
Cinta dan Metafisika dalam Cerita Keris Pengantén
Salah satu keunikan yang seringkali terkandung dalam budaya menulis di Bali adalah hal yang menyangkut tentang cinta sampai kepada hal yang berbau metafisika. Kedua-keduanya bahkan sering ditampilkan dalam sebuah karya sastra. Satua sebagai salah satunya contohnya, bisa dilacak dalam satua Jayaprana dan Layonsari. Dalam cerita tersebut menceritakan bagaimana hubungan cinta dan kesetian dari Jayaprana dan Layonsari, sampai kepada firasat-firasat buruk serta mimpi-mimpi tentang kematian dari Jayaprana yang oleh Layonsari menyebabkan dirinya sangat khawatir. Hingga pada kematian Jayaprana yang mana dari jasadnya menebarkan aroma harum semerbak sebagai bukti ketulusan dan cinta yang abadi.⁴ Selain itu juga, dalam teks Rukmini Tatwa yang berisikan ajaran yang disampaikan oleh Dewi Saci kepada Dewi Rukmini tentang bagaimana memikat hati seorang suami agar tidak berpaling dan mencari wanita lain.
Kemanggulan unsur cinta dan metafisika dalam dunia sastra dan tulisan di Bali memberikan keunikan tersendiri dan memberikan kesan atau sesuatu yang imposible (sulit dipercaya). Dan tentunya amat sulit diterka secara logis. Namun kasus tersebut memang nyata adanya, yang mengilhami beberapa pujangga dalam menulis cerita pendek. Seperti dalam cerpen yang berjudul Keris Pengantén yang ditulis Pande Putu Alit Antara seorang sastrawan sekaligus pendidik dari Klungkung, Semarapura. Mengisahkan bagaimana kedua insan bisa disatukan oleh karena sebilah keris warisan leluhur yang dipertemukan dengan saungnya. Cerita diawali oleh seorang pemuda yang bernama I Gede Sastra Wijaya yang sedari kecil senang akan hal-hal yang berbau sastra dan juga budaya. Sejak dari bangku sekolah SD sampai SMA pemuda tersebut memiliki kegemaran dalam bersastra seperti ayahandanya. Ayahandanya terkenal sebagai seorang sastrawan ulung dan pandai dalam segala hal yang berbau manuskrip. Sehingga, membuat darah sastrawan itu mengalir langsung dalam tubuh pemuda itu.
Namun, sungguh malang nasibnya pada usia yang masih muda pemuda itu harus ditinggalkan oleh sosok ayah yang sangat mencintainya. Dan menjelang akhir hayatnya sang ayah memberi pesan bahwa ia harus menjaga sebilah keris warisan leluhurnya di sebuah gedong penyungsungan agar ia pandai dalam bersastra. Selain itu, yang tak kalah penting adalah jikalau ia telah berhasil menemukan saungnya maka niscaya ia akan bertemu dengan pasangannya yang sejati serta mampu memberikan kebahagian pada dirinya dan ibunya kelak.
Sepanjang waktu berjalan setelah kematian sang ayah adalah masa-masa sulit yang dialami oleh I Gede Sastra Wijaya. Pertama adalah ketika menjalin hubungan dengan Kadek Sridewi berakhir kandas karena hanya sebuah rumah sederhana yang ditemapati oleh I Gede Sastra Wijaya dan Ibunya membuat si wanita berpaling. Kedua hubungannya dengan Luh Manik Sari yang berasal dari satu klan yang sama. Namun tragis, Luh Manik Sari meninggal akibat kecelakaan di jalan bypass ketika akan berkunjung ke rumah Gede Sastra Wijaya. Yang membuat hati I Gede Sastra Wijaya kian teriris.
Akan tetapi berkat wejangan dari ibunya I Gede Sastra Wijaya bangkit lagi dari kemurungannya. Selang beberapa lama, hal yang paling epik dan menakjubkan terjadi ketika ada seorang gadis Ni Kadek Wulan Dewi yang datang ke kediaman I Gede Sastra Wijaya beserta kedua orang tuanya. Orang tua sang gadis pun mengadu bahwa penyakit yang diderita oleh anakanya tidak kunjung sembuh. Akan tetapi, orang tua dari sang gadis pun menambahkan pernah mendapat petunjuk sari seseorang agar datang ke kediaman Guru Wayan Teja yang tiada lain adalah ayah dari I Gede Sastra Wijaya. Meminta air suci dari sebuah keris sebagai sarana menghilangkan penyakit sang gadis yang telah diderita selama sebulan dan tentunya tidak bisa ditangani secara medis.
Seketika I Gede Sastra Wijaya ingat dengan petuah dari mendiang ayahnya akan keberadaan saung yang akan menjadi pelengkap bagi keris pusaka warisan leluhurnya.
Spontan I Gede Sastra Wijaya meminta saung yang dibawa oleh kedua orang tua Kadek Wulan Dewi, sang gadis yang menederita penyakit niskala. Orang tua sang gadis pun menyanggupi dengan memberikan saung keris yang diminta. Singkat cerita setelah I Gede Sastra Wijaya usai memohon tirta wangsuh dari keris keramatnya dan percikkanlah tirta suci itu kepada Kadek Wulan Dewi. Yang terjadi adalah sungguh luar biasa Kadek Wulan Dewi seketika sembuh dari gering atau penyakit yang dideritanya. Dan seketika pada saat itu juga I Gede Sastra Wijaya ingat akan mimpinya yang ditimpa oleh bulan juga kebenaran dari kata-kata ibu dan ayahnya. Pada akhirnya baik I Gede Sastra Wijaya maupun Kadek Wulan Dewi sama-sama ditusuk panah asmara yang menyebabkan keduan saling mencintai satu sama lain. Hingga sampai pada jenjang pernikahan keduanya mengalami kebahagian. Tentang kisah cinta dan bersatunya antara I Gede Sastra Wijaya dengan Kadek Wulan Dewi oleh karena keris yang berhasil bertemu dengan saungnya adalah bukti bagaimana hal-hal yang berkaitan dengan metafisik berpengaruh kepada hidup manusia terutama dalam hal asmara atau cinta. Metafisika adalah bagian dari warna kehidupan masyarakat Bali yang dilatarbelakangi oleh konsep Rwa Bhinneda.
Ditinjau dari aspek religius keris mewakili unsur kelaki-lakian atau phallus dan purusa dalam istilah agama Hindu. Sedangkan, saungnya mewakili unsur kewanitaan atau vagina dan yoni dalam istilah agama Hindu. Di dalam konsep agama Hindu dijelaskan bahwa unsur purusa atau kelaki-lakian dan unsur pradana atau yoni adalah dua hal yang tidak terpisahkan keduanya ibarat langit dan bumi. Keduanya adalah karana atau penyebab darpada kelahiran dan keberlangsungan hidup juga pemeliharaan.⁵ Keberadaan laki-laki dan wanita adalah bentuk keseimbangan dunia dan juga perwujudan dari keharmonisan.
Akhir Kata
Antara metafisika dan cinta dengan segala misteri dan keganjilan selalu memberikan kesan yang mengejutkan bagi yang mendengarkan. Manusia sebagai makhluk yang religius tidak akan pernah bisa dipisahkan oleh hal-hal yang di luar akal sehat.
Seperti pada kisah cinta I Gede Sastra Wijaya dengan Kadek Wulan Dewi yang disatukan oleh sebilah keris yang telah dilengkapi oleh sarungnya. Tentunya merupakan suatu hal yang imposible atau sulit dipercaya oleh berpikir secara rasional. Namun, tidak menolak kenyataan bahwa hal-hal yang berbau metafisika. Karena masyarakat Bali sebagai masyarakat yang kental akan hal-hal yang berbau niskala sebagai bentuk kekaguman dan spirit orang Bali. Pada dasarnya manusia akan selalu berdampingan dan hal tersebut.
______
¹Bagus Kurniawan, “Aspek-Aspek Kelisanan Dalam Prosa Liris Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi AG”, (Solo: Universitas Sebelas Maret, Oktober 2014), 15.
² Bagus Kurniawan, “Aspek-Aspek Kelisanan Dalam Prosa Liris Pengakuan Pariyem Karya Linus Suryadi AG”, (Solo: Universitas Sebelas Maret, Oktober 2014), 15.
³A.A Gde Alit Geria, “Lontar: Tradisi Hidup Dan Lestari Di Bali”, (Denpasar: IKIP PGRI Bali), 1.
⁴https://disdukcapil.bulelengkab.go.i
⁵https://phdi.or.id
Daftar Pustaka
- Kurniawan, Bagus. 2014. Aspek-Aspek Kelisanan Dalam Prosa Liris Pengakuan Pariyem. Solo: Universitas Sebelas Maret.
- Alit Geria, A.A Gede. 2010. Lontar: Tradisi Hidup Dan Lestari Di Bali. Denpasar: IKIP PGRI Bali.