Tak usah belajar lagi! Barangkali kau membayangkan begini: “Aku berkata bahwa aku ingin belajar karena menghendaki perkembangan dan orang yang berkata, “Belajar aja kerjamu,” dengan nada sinis, sebaiknya dijauhi.” Di Teater Kalangan, kau akan mendengar istilah ini berkali-kali, tentu sambil tertawa-tawa! Tertawa-tawa!
Kau mungkin akan sebal jika mendengarnya atau berharap orang itu segera kehilangan mulutnya atau diam-diam, setiap malam kau mengirim doa paling buruk untuknya. Mungkin juga, pelahan-lahan kau akan paham, tapi kau sering berkata padaku tentang orang yang berkata begini: “Aku kan masih belajar,” yang sedikit tidak, kau terjemahkan sebagai permakluman; orang itu ingin meringankan tanggung jawabnya sendiri. Lalu, kau bingung ketika mendengar kalimat bertentangan dengan jargon di awal itu: “Kau tak belajar-belajar!”
Nah… “Mana yang benar?” kau berbisik dalam hati.
Lama-kelamaan kau tahu maksud kata itu, semacam ajakan untuk memikul tanggung jawab kerjamu. Kau lalu ingat dengan kiasan klise, “Belajarlah seumur hidup” tanpa perlu lagi mengatakannya. Anggaplah kita paham.
Ruang-ruang kesenian, di satu sisi, begitu luang memberi ruang kemungkinan, tapi di sisi lain ia menjelma jebakan Betman yang membuatmu terombang-ambing karena saking luasnya dan kau akan ingat kata-katamu kala mencoba cicip-cicip kegiatan Kalangan: “tak ada seni yang buruk” dan kau tiba-tiba ingat, pernah memberi ceramah itu pada orang yang menyanyikan lagu Indonesia Raya dengan nada yang paling sumbang. Sekarang, kau berkata: kita telah menjadi latah!
Untuk mengatakan bahwa kau telah latah pun rupanya perlu melewati beberapa obrolan. Meskipun, kau sudah tahu kata itu sejak lama.
Seperti yang kau katakan padaku, kesenian adalah ruang yang luang, tapi kau juga mengingatkanku pada satu hal yang lebih penting untuk kuingat. “Kita bukan setan!” katamu lantas. Ah, aku tak tahan mendengar umpatan itu. Tanganku ingin segera menampar mulutmu tapi kau telah menamparku duluan dengan kalimat lanjutan: “Kakimu tidak terbang, jikapun demikian, kau perlu menginjak tanah terlebih dahulu. Kau perlu pijakan, perlu pegangan, sebagaimana bayi yang meraba-raba lantai terlebih dahulu untuk kemudian perlahan belajar berdiri.”
“Bagaimana jika kita mengisahkan percakapan di jalan itu terlebih dahulu?” kataku.
Wajahmu tiba-tiba memerah seolah tak ingin mengingat hal itu lagi, tapi dengan berat dagumu mengangguk, dan sebaiknya kukisahkan saja di sini:
Ketika itu, kau melihat seorang wanita di pinggir jalan, di bawah lampu remang, dan mengandaikan hal itu ada di atas pentas. Kau ingin mengangkat adegan itu karena “bagus”, yang tak pernah kita tahu alasannya, kenapa adegan itu kau sebut bagus dan bukan jelek? Aku juga ingin mengingatkanmu tentang jalanan macet, kekerasan pada warga oleh aturan tertentu, dan sebagainya: untuk ditulis atau dipentaskan. Ah, kadang masa lalu memang memalukan, meskipun kini kita tak pernah benar-benar kenal diri untuk mengucap bahwa kita telah beranjak pada hal baru atau masih sama saja; hanya berjarak atau telah melangkah. Entahlah.
Tapi, kini kita telah diguncang bukan? Kau pasti mengingat itu, kita sering membicarakannya dalam percakapan yang membuat kita bimbang. Kau belum tahu hal yang kau kerjakan, apakah sudah layak bernama atau tidak, tapi kau sendiri tak tahu siapa yang memberi layak tidaknya kerjamu itu, dan kini ketika kau melangkah beberapa tapak saja, kau telah mendengar kabar baru, sebuah cara kerja yang membuatmu bingung, kebingungan yang membuat kita ada pada persimpangan.
“Aha…” katamu dengan dada sedikit terangkat seperti Thomas Alva Edison menemukan pijar cahaya yang kini kita kenal sebagai bola lampu. “Kita tak lebih tinggi dari pekerjaan lain. Kita mesti berada pada pinggiran.” Entah benar kau berada pada pinggir, atau hanya ingin merumuskan diri yang tak bisa kau ucapkan itu.
Rupanya, kau baru mendapat bahasa. Kau mesti bertanya, apa perbedaan kita dengan bayi yang baru bisa mengucap “ayah” atau “papa” atau “mama” atau “ibu”. Maka, kau semakin goyah. Adakah kau sudah mencapai yang kau inginkan, atau kau hanya mengalir mengikuti arus, dan aku bertanya satu hal lagi, yang tak perlu kau lempar jawabannya pada siapa pun, “Apakah ada pada satu jalur itu lebih baik dari jalur lain?” Kini, kau hanya berharap Teater Kalangan menjadi tempat aman untuk bercakap-cakap, untuk bertanya-tanya, untuk merumuskan cara kerja yang selama ini ada pada keluasan yang tak bisa kau tentukan titik tengahnya.
Akhirnya, kau mulai dari hal yang paling dekat, menuju alamat paling jauh yang tak perlu kita bicarakan. Kau ingin tahu tentang keluarga, tokoh, dan bahasa. Kau akan merasa paham, dan jika betul dugaanku, maka kau tak betul-betul paham. Tampaknya kau masuk pada belantara lapang lagi, tapi kau berharap ini berbeda. Kau tahu, aku akan mengajakmu masuk pada keseharianku. Dalam waktu bersamaan, aku mencium masakan teman, mendengar musik, melihat instastory. Semua itu bekerja dalam waktu yang sama. Dan, kerjamu pun mungkin seperti itu: berusaha membaca keluarga, tokoh, dan bahasa.[T]